4. Pelukan Yang Bikin Hati Panas Dingin

1854 Words
. Nampan yang dia pegang bergoyang karena tubuhnya gemetar hebat. Bukan lagi ingin mengetuk pintu itu. Laras malah ingin melempar saja nampan yang sedang di tangannya langsung ke pintu. Percakapan panas antara Ryan dan Alena membuat hatinya terbakar. Di saat seperti ini, istri mana pun pasti akan panas hatinya. Walaupun tak terlihat oleh kedua matanya. Dari percakapan yang baru saja dia dengar, Laras sudah dapat menggambarkan bagaimana adegan yang terjadi di dalam kamar itu. Namun Laras masih ingin menjaga kewarasannya. Dia tak ingin gegabah mengamuk dan membuat keributan tanpa bukti yang jelas. Kini dia bingung harus mengetuk pintu atau memanggil Ryan. Padahal dia harus memberitahu Ryan kalau dirinya mengantar makanan. Sementara mulutnya enggan terbuka setelah mendengar situasi di dalam kamar. Laras takut melihat kenyataan yang mungkin menyakitkan. Bagaimana kalau yang dia dengar, akan terpampang nyata di depan matanya. Tapi berani atau tidak berani, Laras harus memanggil Ryan dan melihat kenyataan yang terjadi di dalam agar menjadi jelas. Laras menarik napas dalam-dalam. Kemudian dipanggilnya Ryan dengan suara terdengar agak kaku dan kesal. “Ryan, ini makanan untukmu dan Alena. Bukalah pintunya!” Tak lama kemudian pintu dibuka. Jantung Laras rasanya berhenti seketika. Ryan membuka pintu sedikit dan keluar tanpa memakai atasan. Emosi Laras langsung membuncah. Marah, hancur dan kecewa menguasainya. Laras memberikan nampan pada Ryan dengan kasar. Sehingga makanan yang ada di nampan itu jadi berantakan. “Oh, pas sekali. Kalian pasti membutuhkannya. Nih, makanlah!” Laras kemudian dia berlari meninggalkan tempat itu. “Laras, ada apa?” tanya Ryan bingung. Tapi sedetik kemudian dia melihat ke badannya sendiri. “Oh, sial. Pasti karena ini!” Ryan yakin Jika Laras marah karena dirinya tak memakai atasan. “Tunggu! Laras, dengarkan penjelasanku!” Kepanikan melanda Ryan. Segera setelah meletakkan nampan itu di lantai, dia kejar sang istri yang lari ke kamarnya. Sementara itu, Laras masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya dari dalam. Dia berlari dan membenamkan diri di atas ranjang sambil menangis. Tak dia hiraukan lagi suara Ryan yang terus menggedor-gedor pintu memanggilnya “Laras, buka pintunya! Laras, buka pintunya!” panggil Ryan berkali-kali. “Tolong, jangan salah sangka! Yang kamu lihat tadi tak seperti yang kamu pikirkan. Tidak terjadi apa-apa antara aku dan Alena!” jelas Ryan di luar kamar dengan suara panik. “Percayalah padaku, Laras!” Penjelasan Ryan malah semakin membakar emosi. Laras bangun dan mendekat ke pintu. Dia geram sekali karena Ryan pikir, dirinya tak mendengar percakapan antara suaminya itu dengan Alena tadi. “Siapa yang salah sangka? Aku bukan hanya melihat kamu tidak memakai baju atasan. Tapi telingaku juga mendengar dengan jelas percakapan pelukan antara kalian berdua tadi.” Laras menegaskan dengan suara tinggi dan bercucuran air mata. Ryan terdengar mengembuskan napas dengan keras. “Aaahh... “ terdengar teriakan Ryan kesal. “Mengapa pikiranmu sependek itu Laras? Kamu salah sangka, Sayang. Tadi itu Alena bajunya basah. Di kamar tidak ada ganti. Lalu aku minta dia memakai baju yang kupakai tadi saja dulu.” Ryan menatap pintu membayangkan istrinya menyimak penjelasannya. “Alena tak mau aku tinggal. Kupikir nanti aku akan mengambil baju ke sini jika dia sudah tidur saja.” Ryan mengambil napas sejenak, kemudian dia melanjutkan ucapannya, “Tapi kemudian dia menggigil kedinginan. Meskipun telah kuselimuti dengan selimutnya dan selimutku juga, Alena tetap merasa kedinginan. Lalu dia meminta aku memeluknya. Aku hanya ingin menolongnya, Laras. Dalam kondisi sedang mengalami trauma berat, Alena akan sering mengalami kedinginan. Kumohon percayalah padaku!” “Alasanmu sangat bagus dan masuk akal, Ryan,” puji Laras terdengar ketus dan sinis. “Bisa saja kamu keluar sebentar mencari bantuan. Memintaku atau Mbak Yanti mengambilkan penghangat. Banyak alat atau sesuatu yang bisa digunakan untuk membantu menghangatkan Alena. Tanpa harus memeluknya. Trauma Alena mungkin akan berlangsung lama. Apa kamu akan memeluknya terus setiap kali dia meminta dipeluk?” “Mengapa kamu tidak memahaminya, Laras? Alena membutuhkan pelukanku, untuk menghangatkan tubuhnya yang merasa kedinginan saja, bukan yang lain” jelas Ryan putus asa. “Ya. Memang itulah yang tidak bisa aku pahami, Ryan. Karena ada jalan lain yang bisa kau tempuh,” sahut Laras ketus dengan tatapan penuh kemarahan ke pintu. “Tuan.... gawat, Tuan. Pak satpam menelpon Anda. Tapi, tidak diangkat-angkat, kata dia. Syukurlah, Tuan disini,” Suara Yanti datang dengan tergopoh-gopoh dan wajah panik. “Ada apa dengan Pak Pras?” “Bukan Pak Pras, Tuan. Tapi, I... Itu! Itu, Nona Alena sekarang sedang berdiri di atas kursi di pinggir balkon kamarnya. Pak Sapta sekarang di sana membujuknya turun,” jelas Yanti. “Apa?” tanya Ryan terkejut. Tapi kemudian dia segera berlari ke kamar Alena. Yanti pun bergegas mengikutinya. Mendengar itu, Laras pun segera membuka pintu kamarnya dan menyusul mereka ke kamar Alena. Rasa bersalah dan khawatir berganti menyergapnya. Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan Alena. Pasti dia tak akan memaafkan dirinya sendiri. Tiba di sana, dia melihat Ryan, Yanti dan Pak Sapta sedang berdiri di dekat Alena yang masih berdiri dia atas kursi di pinggir balkon dengan wajah cemas. “Al, kamu mau apa? Ayo, turunlah! Ini berbahaya, kamu bisa jatuh nanti,” bujuk Ryan dengan tenang dan hati-hati. Agar Alena tak gugup atau panik lalu berbuat nekat terjun ke bawah. “Ini sudah malam, Al. Ayo kita tidur saja. Kamu butuh istirahat yang cukup. Bukankah itu tips supaya wajah kita selalu segar?” tanya Ryan senyuman lebarnya. Sambil dia mencari kesempatan untuk bisa menyelamatkannya. Alena seperti tak peduli dengan bujukan Ryan. Dia mengacuhkan semua orang di sekitarnya, yang memperhatikan dengan perasaan ketar-ketir. Tatapannya kosong ke bawah. Tak mau ambil resiko, Ryan menarik dan menangkap tubuh Alena. “Lepaskan, Ryan! Biarkan aku mati. Sudah tidak ada gunanya aku hidup. Aku sekarang kotor dan menjijikkan! Biarkan aku mati saja, Ryan!” ucap Alena putus asa dan penuh amarah sambil meronta-ronta. Ryan tak mengatakan apa pun lagi. Dibopong tubuh Alena ke dalam kamar. Laras, Pak Sapta dan Yanti mengikutinya dari belakang dengan perasaan lega. Baru Ryan menurunkan tubuhnya di ranjang, lalu duduk di sampingnya, gadis itu segera memeluk Ryan dan menangis. Semua menatap Alena dengan rasa kasihan. Turut merasakan kepedihan yang dialami Alena. “Jangan menyerah, Al! Tidak ada yang berubah! Kamu masih sama seperti dulu. Aku tidak akan pernah rela kamu mati sekarang.” “Sungguh?” tanya Alena manja masih terus merangkul Ryan. “Hmm, sungguh Al,” tegas Ryan sambil mengelus punggung Alena. Situasi inilah yang membuat Laras merasa tidak nyaman. Di satu sisi dia merasa kasihan dan merasa bersalah, karena dirinya, Alena bermaksud ingin mengakhiri hidupnya. Di sisi lain dia tak menyukai sikap Alena yang bermanja-manja dengan suaminya. Laras tak bisa membohongi dirinya sendiri. Meskipun dia sedang kesusahan sekali pun, entah kenapa Laras tak suka melihat ini. Laras jadi merasa dirinya bukan manusia yang baik. “Nah, kamu dengar sendiri kan, Al. Jangan membuat temanmu itu kecewa. Kau tahu, dia sangat peduli denganmu. Aku tak bisa membayangkan jika tadi kamu mengalami kecelakaan, Ryan pasti akan menyalahkan dirinya sendiri seumur hidup. Ini adalah bagian cerita yang harus kamu lalui, Al. Hadapilah dengan berani. Kami bersamamu.” Laras menyentuh punggung Alena pelan. Alena segera melepaskan pelukannya dari Ryan. Berbalik dan menatap tajam pada Laras yang duduk di dekatnya. Dengan wajah geram penuh amarah dia mendorong tubuh Laras hingga jatuh terlentang di atas kasur. Kemudian langsung memburunya dan menekan kedua pergelangan tangan Laras kuat-kuat. Laras meringis kesakitan. “Jangan coba menasihatiku!” kata Alena yang sudah mengungkung di atas Laras. Ryan bergerak dengan cepat menolong Laras. “Alena, lepaskan! Kamu menyakiti Laras!” suara Ryan terdengar sangat tegas dan keras. Kemudian memegangi Alena erat-erat agar tak menyerang Laras lagi. “Kamu bisa mengucapkan apa saja. Karena kamu tidak mengalami nasib seperti aku. Kamu sekarang adalah Cinderella di rumah ini! Semua orang menyayangimu,” tegas Alena dengan marah dan suara keras. Pak Sapta dan Yanti segera menolong Laras yang berusaha bangun. Laras tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dia terlihat syok. “Nyonya nggak apa-apa, ‘kan?” Yanti bertanya dengan wajah cemas. “Nyonya, bagaimana keadaan Anda?” tanya Pak Sapta. “Waduh, pergelangan tangan Anda memerah, Nyonya,” kata Yanti saat memeriksa pergelangan Laras. Laras menggeleng sambil memegangi pergelangan tangannya bergantian. “Ah, nggak apa-apa. Ini hanya memerah sedikit saja. Nanti juga akan segera hilang.” Laras tersenyum getir. “Mbak, Yanti, tolong, antar Nyonya ke kamarnya,” perintah Ryan bermaksud mengamankan istrinya. “Baik, Tuan.” “Tidak usah, Mbak. Mbak Yanti kembali tidur saja. Aku bisa ke kamar sendiri,” tolak Laras. “Baiklah, kalau begitu. Tapi, tolong ambilkan baju atasan untukku. Berikan pada Pak Sapta, biar dia yang mengantarkan kemari,” perintah Ryan lagi. Dia baru menyadari jika belum memakai tasan sejak tadi. “Baiklah, akan aku ambilkan,” jawab Laras dingin. Dilihatnya Ryan sebentar lalu berjalan keluar. *** Setelah semua pergi, Alena terlihat menunduk ketakutan sambil menggigit bibirnya sendiri dan meremas jemarinya. Melihatnya seperti itu, sebenarnya tak sampai hati Ryan untuk menegurnya. Demi kebaikan bersama dan keselamatan seisi rumah ini. Ryan harus mencobanya. Pelan-pelan Alena harus coba diberi pengertian. Jika tidak, dia bisa membahayakan Laras atau pun yang lainnya. “Kenapa kamu menyerang Laras, Al? Laras tadi mengatakan hal yang benar. Dia ingin mendukungmu. Sama seperti diriku, dia juga menyayangimu.” Lalu Ryan menggenggam tangan Alena yang gemetar. “Tenanglah, Al. Kamu jangan takut, ya! Aku tidak memarahimu sekarang.” Ryan tersenyum sambil menatap Alena dengan lembut. Alena mengangguk pelan. Diam-diam hatinya merasa sangat bahagia. Sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama dia menyukai Ryan, hingga menjadi sahabat dekatnya tak pernah mendapatkan kesempatan seperti ini. Perhatian penuh, berbicara dengan jarak yang sangat dekat. Sementara tangannya digenggam dan ditatap lembut olehnya. Rasanya sungguh menggugah jiwanya yang telah mati kemarin. Kekecewaan dan keputusasaannya kemarin ternyata bisa menghadirkan asa baru untuk hubungannya dan Ryan ke depan. Alena berharap Ryan menyadari perasaannya dan perasaan Ryan terhadapnya suatu hari nanti. Itulah keyakinan Alena. “Oh, ya, tolong kamu ingat ini, Al. Laras, Papa dan Mamaku bahkan para asisten di rumah ini tidak akan pernah ingin menyakitimu. Tolong, kamu percaya pada mereka juga, ya!” tutur Ryan dengan suara rendah lembut. Alena masih diam saja tapi mengangguk lagi. Ryan merasa lebih tenang sekarang. Lalu dia turun dari tempat tidur. Melangkah menuju meja untuk mengambil makanan yang disediakan Laras tadi. “Makanlah! Ini tadi Laras yang mengambilkan untuk kita. Jadi kamu jangan meragukan kepeduliannya padamu.” Alena menggeleng pelan. Dengan suara lirih dan lemah ditolaknya makanan itu, “Aku tidak lapar.” “Oke. Kalau kamu memang senang aku juga kelaparan.” Ryan mengangkat kedua bahunya dengan tatapan kecewa pada Alena. “Karena jika kamu tidak makan, aku juga tidak makan.” “Baiklah aku akan makan. Tapi kamu suapi aku, ya?” pinta Alena manja. “Siap, Nona,” sahut Ryan dengan tersenyum penuh semangat. Ryan kemudian menyuapi Alena. Seperti anak kecil Alena terlihat manja dan bahagia. Entah kenapa Ryan tak bisa meninggalkan Alena begitu saja. Hatinya merasa tersentuh dan turut merasakan sakit atas musibah yang dialami temannya itu. Ryan merasa punya tanggungjawab meskipun dia sadar itu bukan tanggungjawabnya. Kalau mau, dia bisa menyerahkan Alena pada orang tuanya, Elly atau profesional, seperti psikolog. Tapi, suara hatinya merasa tidak tega. Dalam kehancuran dirinya kali ini, Ryan merasa Alena hanya percaya dengannya. Alena hanya membutuhkan dirinya bukan orang lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD