“Ya, Tuhan----- tadi itu ngeri sekali!” gumam Laras saat duduk sendirian bersandar di sofa dalam kamar, setelah mengambilkan baju untuk Ryan dan diberikan pada Pak Sapta.
“Aku sama sekali nggak nyangka Alena marah dan menyerangku! Untung tadi ada banyak orang. Bagaimana kalau tadi aku hanya sendirian saja? Huhh-----” desahnya.
Laras menutup mata rapat-rapat dengan mimik muka penuh kengerian. Tadi, dia memang berusaha sembunyikan keterkejutan dan rasa ngeri dari siapa pun. Meskipun sebenarnya lumayan syok. Sebentar kemudian dia membuka mata dan berbicara lagi. “Tadi itu, tenaga Alena sangat kuat. Nggak kebayang jika aku sendirian saja. Pasti akan sangat kesulitan melepaskan diri. Bahkan bisa-bisa aku kalah.”
Mimik Laras berganti. Dengan cepat dia berdiri penuh percaya diri. “Oh, tidak! Kok, aku makin takut begini dengan Alena. Tidak, tidak. Aku tidak takut dengan dia. Tapi aku hanya harus waspada saja dengannya.”
Laras diam sejenak. Tapi beberapa detik kemudian, dia menarik napas dengan berat lalu diembuskan dengan keras. “Hmm, kalau dipikir-pikir yang dikatakan Ryan benar juga. Saat ini hanya dia saja yang bisa di dekat Alena. Aku dan yang lain dianggap orang berbahaya. Dan dia bisa-bisa menyerang seperti tadi.”
“Ya, sudahlah! Mau bagaimana lagi? Alena mungkin ini ujian pernikahanku dan Ryan. Kami----- Tidak, lebih tepatnya aku yang harus lebih bersabar. Semoga beberapa hari ini dia berangsur membaik.”
Laras berjalan ke meja rias. Saat akan duduk untuk membersihkan wajah, sekilas dia lihat pantulan dirinya di cermin. Ia pun urung duduk. Hatinya tergelitik memperhatikan diri sendiri yang terlihat lelah dan kusut di cermin.
Raut muka Laras berubah menjadi sinis. Lalu menyapa diri sendiri. “Hai, pengantin baru! Lihatlah dirimu sekarang! Menyedihkan sekali, bukan? Di malam kedua pernikahanmu, suamimu malah sibuk memperdulikan wanita lain. Padahal inilah waktunya kalian melakukan hal-hal romantis berdua. Bermesraan, berpelukan dan mengulang malam pertama kalian kemarin.”
Beberapa detik kemudian, wajah Laras jadi sedih. Kedua matanya berkaca-kaca. Dia mencoba memberi balasan pada dirinya yang lain. ”Hmm, ini memang menyedihkan. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku harus bersabar. Ini ujian pernikahanku.”
“Kamu memang tak punya pilihan lain, Laras. Tapi suamimu bisa punya pilihan yang lain. Cuma, masalahnya dia nggak mau saja mengambil pilihan itu. Suamimu lebih berat memikirkan Alena daripada dirimu,” tegas Laras dengan wajah jahatnya. “Apa kamu tahu yang dilakukan Ryan sekarang? Suamimu sekarang mungkin sedang berpelukan sangat erat lagi dengan Alena. Karena kejadian tadi, pasti dia takut jauh-jauh darinya. Ryan khawatir Alena akan lepas dari pengawasannya.”
“Tidak, masalah. Dia melakukannya karena alasan itu,” sahut Laras ketus mulai terpancing emosi dengan suara dirinya yang jahat.
“Hmm, tapi sampai kapan, Laras? Sampai kapan hal ini akan terus berlangsung? Bagaimana kalau hal ini akan berlangsung lama? Ini baru sehari. Kamu sudah merasakan sekarang seperti apa beratnya? Bagimana jika beberapa hari? Misalnya, seminggu, sebulan, bahakan setahun?”
“Sudah! Cukup! Hentikan! Hentikan!” Laras menjatuhkan diri ke kursi rias lalu membenamkan wajahnya ke meja agar tak melihat hasutan sisi dirinya yang jahat. Tapi sadar tangannya bergerak dan menjatuhkan botol parfum kaca ke lantai. Laras sangat terkejut dan langsung melihat ke lantai. Botol parfum itu hancur menjadi beberapa bagian.
Tanpa pikir panjang, dia turun untuk memunguti pecahan botol kaca itu, namun naas salah satu kaki Laras malah menginjaknya. “Aduh! Apes banget aku hari ini.”
Laras memejamkan mata menahan sakit dan emosi. Air matanya pun berderai. Batinnya menjerit. Lengkap sudah penderitaan hari ini. Lalu, Laras duduk kembali. Mengangkat, kemudian menekuk kaki yang terkena pecahan kaca ke atas kaki satunya. Laras meringis merasakan perih seraya mengamati telapak kaki yang terluka mengeluarkan darah hingga jatuh ke lantai. Ternyata kaca itu masih tertancap di sana. Dengan tangan sedikit gemetar dan merasa ngeri, dia tarik kaca itu dengan cepat. “Auww!” Laras kembali apes, dia salah memegang sisi kaca yang tajam.
Jari telunjuk dan jempolnya tersayat pecahan kaca tajam. Laras terisak lirih. Ia teringat Ryan. Di saat seperti ini, keberadaannya sangat dia butuhkan. Ryan dengan sigap dan cekatan akan merawat lukanya. Kedua jemarinya juga tidak akan terluka seperti ini. Laras ingin sekali menelpon meminta bantuannya. Tapi dia urung melakukan itu. Jangan-jangan Alena belum tidur dan Ryan masih menjaganya. Itu justru akan membebani perasaan Ryan. Ingin menjaga dirinya tapi tak berdaya karena menjaga Alena. Dan Laras tak ingin terjadi seperti itu. Biarlah dia obati kakinya sendirian.
Tangan kiri Laras mengambil tisu yang ada di meja rias. Kemudian membersihkan darah di jarinya. Setelah itu, dia ambil tisu bersih lagi dan melipatnya. Tisu itu dia gunakan untuk melindungi jarinya mencabut kaca di kaki. Dengan menahan napas dan menggigit bibir sendiri, Laras mencabut kaca di kakinya dengan gerakan cepat.
Laras bernapas lega. Dia segera menghapus darah di sekitar kakinya yang terluka. Kemudian, dia agak menunduk dan menarik gagang laci tak di meja rias. Laras ingat Ryan pernah menaruh kotak P3K di situ. Benar saja. Kotak itu masih tersimpan di dalamnya. Lalu dengan menahan sakit dia mulai mengoleskan alkohol pada luka di telapak kakinya yang terluka. Tahap demi tahap dia lakukan hingga semua lukanya telah tertutup plaster.
***
Laras senang sekali mendapati tumpukan kotak besar di ranjangnya saat baru keluar dari kamar mandi. Matanya terbelalak lebar memandangi beberapa tas berisi baju, sandal, sepatu tas dan beberapa perlengkapan wanita yang berharga mahal semua.
“Wah----- Ryan memang paling bisa menghibur hatiku.” Laras meraba satu persatu semua barang-barang itu dengan penuh kekaguman. Betapa senang dia membayangkan akan mengenakan semua pemberian suaminya ini. Dia ambil sebuah sebuah t-shirt warna putih dan menempelkannya di badannya sambil senyum-senyum riang.
“Laras, apa barang-barang pesananku sudah datang?” tanya Ryan saat baru masuk ke dalam kamar.
“Oh, iya ini sudah datang.” Laras memutar badannya menunjukkan t-shirt itu pada Ryan. “Ryan, aku sangat suka t-shirt ini. Terima kasih, Sayang! Aku suka semua hadiah ini,” ucap Laras dengan wajah gembira dan ceria.
Ryan menyugar rambutnya. Bingung dan tak tahu harus mengatakan apa pada istrinya. Laras begitu senang. Dan mengira barang-barang ini untuknya. “Ma--- Maaf, Laras. Barang-barang ini untuk--- Alena.”
Laras seketika membeku kaku menatap Ryan. T-shirt yang dia pegang pun tak terasa terjatuh ke lantai.
“Ma--- Maaf. A---- Aku akan membelikan lebih banyak dan lebih mahal nanti,” jelas Ryan dengan terbata takut membuat istrinya kecewa.
“Tidak, perlu. Aku masih punya baju. Kalau mau aku juga bisa beli sendiri.” Laras membalas dengan ketus dan bergegas ke kamar mandi lagi dengan sedikit pincang, membanting pintu.
Ryan mengejarnya. Menggedor-gedor pintu, mencoba memberinya penjelasan. “Alena tidak punya baju ganti, Laras. Semalam aku menawarinya untuk membeli baju online. Maafkan, aku, Laras. Tolong jangan salah paham. Aku tidak bermaksud memberikan Alena hadiah.”
“Sudahlah, Ryan. Jangan, pedulikan aku. Pergilah! Berikan baju itu pada Alena. Aku hanya ingin sendiri dulu.”
“Tapi, Laras, bukalah pintunya dulu." Ryan menunggu beberapa saat. Tak ada balasan dari Laras. "Baiklah. Kita bicarakan ini lagi, nanti. Aku mengantar baju Alena, lebih dulu.”
Sengaja, Laras tak membalas ucapan Ryan. Di dalam kamar mandi itu, dia sedang menangis lirih. Sekuat tenaga di menutup mulutnya sendiri agar tak terdengar oleh Ryan. Dia tahu, suaminya itu masih berdiri di depan pintu.