PART 9 – A SENSE OF LOVE
“Apa benar kemarin Anda bertengkar dengan Key Leigh, mantan kekasih Nicholas, Gia?”
“Siapa yang bilang begitu?” Georgia balik bertanya.
“Ada yang bilang, kalau Key datang ke lokasi syuting kamu dan Nicholas, lalu terjadi pertengkaran itu?”
“Tidak ada pertengkaran, yang ada hanya penegasan, bahwa Key Leigh itu adalah masa lalu Nicholas… itu saja,” sahut Georgia sambil masuk ke dalam mobilnya yang sudah dikemudikan Gabrielle, manajer sekaligus sahabatnya. “Sudah ya, terima kasih.”
Georgia mengembuskan napasnya panjang ketika ia sudah duduk nyaman di dalam mobilnya. Gabrielle membawa mobilnya pergi dari kerumunan para pencari berita tersebut. Da menolehkan kepalanya pada Georgia, “Aku pikir ini adalah hari keberuntunganmu Gia, bukan begitu?”
Mata Georgia menyipit menatap sahabatnya, senyumnya mengembang tipis dan rona pipinya memerah. Kepalanya menunduk sambil tangannya menyentuh bagian di mana jantungnya berada. “Kupikir juga begitu, karena jantungku masih berdegup keras ketika mengingat kembali moment itu Gaby,” ungkapnya.
“Atau aku harus memanggilmu Mrs. Tyler?” goda Gabrielle semakin menjadi melihat sahabatnya malah tersenyum malu-malu.
“Itulah kenapa aku lebih suka berakting daripada realita, Gaby….”
“Ck, tetap saja itu kehidupan yang semu, Gia. Aku tidak mau kamu bangun dari mimpi dalam keadaan sakit. Menurutku Nicholas mungkin tidak sesempurna yang diberitakan,” lontar Gabrielle.
“Tidak ada manusia yang sempurna, Gaby. Nicholas pasti punya kekurangan, sama sepertiku….”
“Haduh, susah kalau orang sudah dibutakan oleh cinta,” sela Gabrille, “padahal cinta yang bertepuk sebelah tangan.”
Georgia mengembuskan napasnya berat. Matanya memandang keluar jendela mobil sambil berpikir, bisakah kehidupan dalam akting tadi antara dirinya dan Nicholas menjadi kenyataan? Bisakah dia merasakan lagi bibir Nicholas sebagai Georgia?
“Tapi scene hari ini—adegan di mana Tyler merasa cemburu dengan kedekatan kamu dan Edward….” Gabrielle menoleh sekilas pada Georgia. “Aku melihat lama-lama karakter Tyler mirip juga dengan Nicholas,” lontarnya.
Kepala Georgia manggut-manggut sambil memajukan bibirnya, sementara tangannya sibuk mengikat rambutnya yang panjang di atas kepalanya. “Maksud kamu, bukan hanya Tyler yang cemburu, Nicholas juga?” tanyanya seolah dua pria itu adalah orang yang berbeda.
Gabrielle mengangguk tanpa menjawab, karena dia sibuk membelokkan kemudi mobilnya untuk berputar arah.
“Mereka karakter yang berbeda, Gaby. Tyler adalah pria ketus tapi berhati lembut dan hangat. Tapi sebaliknya, Nicholas itu pria yang terlihat hangat tapi ternyata sangat dingin, ehm… mungkin hanya padaku,” ralat Georgia.
Dia merogoh tasnya untuk mengambil ponselnya yang berbunyi. Ternyata hanya sebuah pesan email masuk untuknya.
Dear Gia,
Bagaimana syutingnya?
X.
“Siapa?” tanya Gabrielle saat melihat sahabatnya itu langsung sibuk menekan-nekan layar ponsel untuk membalas notifikasi yang masuk barusan.
“Huh?” Kepala Georgia menoleh sekilas ke arah Gabrielle, “bukan siapa-siapa… hanya teman lama yang mengirimkan email,” sahutnya.
“Owh… oke.”
Georgia menarik napas lega karena Gabrielle tidak bertanya lebih jauh lagi. Karena Dia memang masih merahasiakan tentang Mr. X ini dari siapa pun, termasuk Gabrielle.
Dear Mr. X,
Syuting berjalan lancar, terima kasih banyak.
Gia.
Dear Gia,
Syukurlah, aku senang mendengarnya. Apa kau cocok dengan Rick, Jane dan Nicholas?
X.
Batin Georgia bertanya-tanya heran, Mr. X ini memang pria yang sangat perhatian sepertinya, sehingga dia bisa bertanya hal detail yang bisa mempengaruhi suasana hati Georgia.
Dear Mr. X,
Ya, mereka semua sangat baik, dan aku merasa cocok bekerja bersama mereka. Terima kasih.
Gia.
Balasan berikutnya masuk lagi.
Dear Gia,
Bagus. Dan semoga hubunganmu dengan Nicholas juga berjalan lancar.
X.
What? Tiba-tiba hati Georgia merasa tidak enak dengan isi email terakhir pria itu. Mr. X ini pasti mengetahui berita tentang hubungannya dengan Nicholas dari media atau televisi.
Dear Mr. X,
Kami masih saling mengenal satu sama lain. Tapi terima kasih atas perhatiannya Mr. X.
Gia.
Hanya itu yang bisa ditulis Georgia sebagai balasan kepada Mr. X. Namun, dalam hati dia tahu dengan pasti bahwa pria di seberang sana itu sudah mengetahui bahwa hubungannya dengan Nicholas hanyalah untuk kebutuhan promosi film mereka.
Setelah itu tidak ada lagi balasan email yang masuk ke ponsel Georgia.
***
Georgia merasa ini adalah hari keberuntungannya lagi ketika Rick dan Jane meminta dia dan Nicholas mengulang adegan pernikahan. Rick membutuhkannya untuk dijadikan pilihan adegan mana yang akan dipakainya nanti.
“ACTION!!”
Berdua, Evangeline dan Tyler berdiri dengan saling berhadapan, mengucap janji sehidup semati. Nicholas sebenarnya tidak ingin memandang mata Georgia, karena entah mengapa hal itu bisa membuyarkan konsentrasinya. Namun, manik mata berwarna cokelat itu terus saja bergerak-gerak seolah sedang menyelami kedalaman mata perak milik Nicholas. Evangeline sedikit membenahi bagian belakang pakaian pengantinnya yang menjuntai panjang di belakangnya, sehingga tatapannya sedikit terlepas dari memandang Tyler. Akan tetapi hal itu hanya berlangsung beberapa detik saja, karena Tyler kembali mendapati bola mata indah Evangeline mengunci tatapannya.
“CUT!!” Rick memotong adegannya. “Nich! Rileks sedikit!” tegurnya.
Nicholas tersenyum kecut sambil mengangguk. Ini memang tidak seperti biasanya, dia seperti aktor amatir di depan Georgia saat ini.
“Kamu kenapa?” tanya Georgia sambil menunjuk wajah Nicholas.
“Kenapa memangnya?”
“Kamu terlihat tegang dari tadi,” cetus Georgia.
Kedua alis Nicholas berkerut. “Tidak ada, aku hanya sedang berpikir hal lain. Maaf kalau aku mengacaukan syuting hari ini,” sanggahnya.
“Aku tidak bilang kalau kamu mengacaukan syuting hari ini.”
“Tetap saja kita harus mengulang-ulang adegan karena aku….”
“Aku berharap itu terjadi terus….” Georgia melemparkan senyum liciknya.
Nicholas pun berdecak pelan sembari bersiap melakukan adegan lagi karena suara Rick yang lantang terdengar, “AAAND… ACTION!!”
Tangan Tyler langsung menangkup wajah Evangeline dan menariknya, lalu dengan cepat dia mendaratkan bibirnya pada bibir Evangeline yang berwarna peach itu. Mulut Evangeline membuka dengan sendirinya dan menyambut bibir Tyler yang hangat. Ketika Tyler bermaksud untuk menyudahi aksinya, sebaliknya Georgia malah semakin memperdalam ciumannya dan Tyler tidak kuasa menolaknya.
“CUT!” potong Rick, “sekali lagi, please!” perintahnya, “tolong Nich jangan tampilkan wajah seolah-olah kamu terkejut dengan ciuman balasan Georgia, aku ingin kamu malah semakin membalasnya juga… sekali lagi oke!”
Mata Nicholas membesar melebihi biji kelereng. Namun, sebaliknya batin Georgia malah jumpalitan kesenangan. Dia mengulum bibirnya ke dalam dan mendapatkan tatapan gusar dari lawan mainnya. Untung saja dia tadi sudah menyemprotkan pengharum mulut (mouth spray) sebelum pengambilan gambar ini. “Jangan macam-macam Gia.” Nicholas memberi peringatan keras.
***
Syuting berikutnya terjadi di halaman parkir kampus, di mana diceritakan Tyler mendatangi Evangeline lagi di kampusnya. Adegan ini terjadi sebelum Tyler dan Evangeline menikah. “Aku mau bicara Eva,” ujar Tyler.
“Terakhir kali kamu datang bukan untuk bicara Ty,” sahut Evangeline sambil menyalakan alarm mobilnya.
“Oke fine, s-sorry untuk waktu itu,” katanya.
Evangeline mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam mobil, dia menatap mata perak milik Tyler dengan intens. Gadis itu berniat memberikan kesempatan untuk Tyler bicara karena dia sudah susah payah untuk meminta maaf. Evangeline yakin kata sorry itu pasti jarang digunakan Tyler. “Apa yang kamu mau bicarakan?”
Tyler menghela napasnya panjang, “Aku ingin tahu apa yang terjadi kalau kamu menolak pernikahan ini?” tanya Tyler.
Evangeline menelan ludahnya, kepalanya menggeleng, “Aku tidak tahu. Hanya saja aku tidak mau mengecewakan Paman Romm dengan menolak permintaannya,” jawabnya.
“Mungkin kamu bisa bilang kalau kamu masih ingin melanjutkan sekolah, belum bisa menikah….” lontar Tyler. “Kurasa itu tidak akan membuat Papa kecewa.”
“Aku bisa tetap kuliah walau sudah menikah,” balas Evangeline.
Rahang Tyler mengeras, “Jadi kamu tetap bersikeras untuk menikah denganku? Pria yang tidak kamu kenal?” tanya Tyler. “Kamu tidak tahu seperti apa sifatku, bagaimana karakterku dan lain sebagainya….”
Evangeline sekali lagi mengarahkan pandangannya pada sepasang mata perak milik Tyler, “Ya, aku tetap mau menikah denganmu, demi Paman Romm dan Ayahku.” sahutnya tanpa terlihat keraguan menyelimuti perasaannya. “Aku memang tidak tahu sifat dan karaktermu, tapi aku percaya pada Paman Romm. Dia adalah pria yang baik, jadi aku yakin keturunannya pasti mewarisi sifat baiknya,” ujarnya.
Tyler berdecak. “Aku tidak tahu hatimu terbuat dari apa.” Dia menghela napas, “tapi baiklah, aku janji akan mempertimbangkan lagi mengenai hal ini. Hanya saja aku tidak bisa menjanjikan bahwa aku akan menjadi suami yang baik,” tegasnya telak.
“Aku memang tidak mengharapkan apa pun dari kamu Tyler. Tujuanku hanya satu, membuat Paman Romm tenang dan bahagia karena dia melihatmu menikah denganku, itu saja,” tegas Evangeline.
Ada yang mengiris hati Tyler saat Evangeline berucap seperti itu. Kalau Evangeline yang bukan anak dai Romm Dominic saja begitu peduli dengan kebahagiaan orang tua satu-satunya itu, kenapa dia tidak?
“Kamu benar-benar wanita keras kepala ternyata!” gusar Tyler sambil mencekal tangan Evangeline.
“Eva!”
Keduanya menoleh ke belakang dan mendapati Edward Rods, teman satu kampus Evangeline—sedang berjalan ke arah mereka. Evangeline mengangkat tangannya dan melambai pada Edward. Tyler mengerutkan keningnya ketika melihat keduanya saling beradu pipi satu sama lainnya.
“Tyler, kenalkan, ini sahabatku—Edward.” Evangeline melihat ke arah Tyler, lalu kembali pada Edward, “Edward, ini Tyler—ehm….”
“Calon suaminya,” sela Tyler cepat.
Senyum di wajah Edward berubah dan dia memandang ke arah Evangeline, “Calon suami?”
Evangeline menghela napasnya dan mengangguk pelan, “Dia benar Ed, maaf aku belum sempat menceritakannya padamu…,” ungkapnya dengan ekspresi merasa bersalah.
“Kenapa harus minta maaf?” sambar Tyler tidak suka.
Dahi Evangeline dan Edward berkerut memandang Tyler.
“CUT!”
Rick berjalan menuju talent-nya. “Nich, ada apa denganmu hari ini?” tanyanya,
“Bisakah kita break sebentar saja Rick?” tanya Nicholas yang langsung pergi meninggalkan lokasi setelah Rick memberikan anggukan kepala tanda setuju.
***
Adegan di dalam mobil—sebelum pernikahan, Nicholas dan Georgia sudah duduk di dalam mobil yang diangkut di atas truk towing (gendong) dengan beberapa kru film berada di depan mobil termasuk tim kamera dan penata cahaya.
Mobil truk bergerak pderlahan dan Nicholas mulai berakting seolah-olah dialah yang mengendarai mobil tersebut.
“OKE, CAMERA ROLL ON ya! AAND… ACTION!”
“Seberapa dekat kamu dan Edward?” tanya Tyler.
“Sangat dekat….”
“Tapi kamu akan menikah.”
“Lalu?”
Kening Tyler mengerut sambil menatap calon istrinya di sebelahnya. “Bagaimana kalau aku tidak suka kamu terlalu dekat dengannya?”
“Kamu mau bilang kalau kamu cemburu pada Edward?”
“Tidak ada kata cemburu dalam kamusku,” tandas Tyler sambil memalingkan wajahnya dari Evangeline.
“Kalau begitu, tidak perlu untuk tidak suka terhadap kedekatanku dengan Edward. Karena kami hanya berteman.”
“Aku hanya menjaga nama baikku,” tukas Tyler.
“Aku akan menjaga nama baikmu sebaik mungkin Mr. Tyler. Jangan cemaskan itu.”
Tyler mengangguk sembari menghela napasnya panjang.
Mobil Tyler sudah berhenti di depan rumah Evangeline. Dia menoleh ke arah wanita yang duduk di sebelahnya dan mendapatinya sedang kesulitan membuka sabuk pengamannya. Dia mendengkus pelan, lalu mendekatkan tubuhnya pada Evangeline demi meraih tali pengaman di sisi kanan kursi. Pada saat itulah Evangeline menoleh dan wajah mereka berada pada jarak yang sangat dekat, mungkin hanya sekitar tiga atau empat senti meter saja.
Bukan hanya jantung Evangeline yang berdetak lebih cepat, batin Georgia juga melompat setinggi langit ketika dia bisa menghirup aroma Nicholas dari jarak sedekat itu. Irama jantungnya berpacu dalam tempo yang lebih cepat karena mendapati wajah pria yang diidolakannya itu sangat dekat dengannya. Sebagai Evangeline, dia hanya harus menahan napasnya dan terlihat gugup—bingung harus melakukan apa. Namun, jiwanya sebagai Georgia merasa dia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang datang kepadanya. Maka dengan gerakan cepat Georgia mendaratkan bibirnya di pipi Nicholas dan membuat pria tersebut agak terkejut dengan improvisasi Georgia yang melenceng dari skenario.
“CUT!”
Mata Nicholas membesar menatap Georgia. “Jangan pernah lakukan itu lagi, Gia!” tukasnya, “jangan juga gunakan alasan improvisasi atas tindakan kamu tadi. Karena Evangeline bukanlah dirimu!”
Georgia menelan ludahnya sambil memejamkan mata menerima makian Nicholas. Dia memang bersalah, tapi tidak seharusnya Nicholas memakinya seperti tadi. Dia mengikuti pria itu turun dari mobil.
Rick mendatangi Nicholas yang sudah melangkah menjauh pergi dari tempat syuting. “Oh ayolah Nich, itu kan hanya improvisasi kecil yang tidak pada tempatnya, tidak harus dibesar-besarkan seperti itu…,” ujarnya, “lagipula ini bahan bagus untuk menguatkan hubungan kalian di luar film ini, bukan begitu?”
Terdengar Nicholas berdecak sebal. Dia juga terlihat sedang mendumal pada Jez Bob, manajernya.
“Aku minta maaf Rick,” ucap Georgia ketika dia juga mendekati Rick yang sudah ditinggal pergi oleh Nicholas.
“Improvisasimu bagus, hanya saja tidak pada tempatnya. Karena tindakan itu akan membuat ceritanya melenceng dari scenario, Gia,” ujar Rick bijak.
Georgia mengangguk paham. “Aku tahu….”
“Di sinilah kualitas aktingmu dipertaruhkan, Gia. Karena karakter Evangeline berbeda denganmu….”
“Ya… sorry Rick. Aku tidak akan mengulanginya lagi,” ucap Georgia sambil menghela napasnya.
Rick geleng-geleng kepala melihat Nicholas yang marah berlebihan hanya karena Georgia mencium pipinya saja. Sebaliknya Jane malah terlihat senyum-senyum melihat adegan yang baru saja terjadi.
“Sepertinya kisah nyata Georgia dan Nicholas malah lebih menarik dari cerita filmnya, Rick,” ujarnya sambil terkekeh.
“Ha—kau benar-benar senang kalau hate to love itu benar-benar terjadi pada kedua aktor itu kan?”
“Kurasa Georgia adalah wanita yang tidak takut menunjukkan perasaannya pada Nicholas—aku bisa melihat kalau perasaannya pada Nicholas itu tidak hanya sekadar akting atau sandiwara atau setingan yang kita buat. Perasaannya real, Rick… dan itu menarik… sangat menarik,” cetus Jane sambil tersenyum penuh arti.
“Benar-benar bertolak belakang dengan perannya sebagai Evangeline dalam ceritamu, kan?”
“Tapi dia bisa menahan dirinya sejauh ini sejak berdekatan dengan Nicholas yang selalu bersikap ketus padanya, Rick,” sahut Jane, “kalau artis lain mungkin sudah menyerah menghadapi lawan main yang dingin seperti Nicholas.”
“Nicholas tidak bersikap seperti itu pada artis lainnya, kurasa....”
“Ya… kurasa itu karena Nicholas juga merasakan hal lain pada Georgia. Hanya saja pria itu pandai menyembunyikan perasaannya.” Jane mengungkapkan teorinya. “Kira-kira bagaimana tanggapan mereka kalau peran ‘Laura—mantan kekasih Tyler’ digantikan oleh Angel Staineld??”
Mata Rick membesar menanggapi pertanyaan Jane Spalding.
***
“HUBUNGAN GEORGIA JENSKIN DAN NICHOLAS BREWER TERANCAM BUBAR.” Gabriel meletakkan tabletnya dengan gusar di atas meja sambil geleng-geleng kepala. Dia tidak mengerti bagaimana media ini mendapatkan berita mengenai perkembangan hubungan asmara sahabatnya itu. Padahal selama ini dia dan Georgia tidak pernah merasa di wawancara oleh media tersebut. Gabrielle berjalan mendekati Georgia, “kamu tidak makan Gia?” tanyanya karena melihat makanan yang dia pesan tadi tidak disentuh sedikitpun oleh artisnya itu.
Georgia hanya menggeleng malas. “Tidak,” jawabnya singkat.
Gabrielle menatap sahabatnya itu dengan pandangan curiga, tidak seperti biasanya Georgia menolak makanan kesukaannya. Dia menyentuh dahi Georgia dengan tangannya, “Ya ampun Gia! Kamu demam ya?” Wanita itu berdiri dengan ekspresi panik dan seperti orang kebingungan. Tentu saja dia panik, karena besok pagi semua tim produksi film akan berangkat ke Rome, Italy untuk syuting film FIRST LOVE ini—dan sekarang artisnya sedang demam. “Kita harus ke rumah sakit Gia!”
“Tidak usah, aku baik-baik saja, Gaby,” sahut Georgia tetap bergeming di tempatnya.
“Bagaimana bisa kamu bilang kalau kamu itu baik-baik saja, sedangkan tubuh kamu panas seperti itu? Duh… di mana sih kamu simpan thermometer kamu itu Gia?” tanya Gabrielle gusar sambil membuka semua laci yang ada di ruangan tersebut.
“Sudah aku buang,” cetus Georgia santai.
“Huh? Kamu buang?!”
“Karena aku tahu kamu akan menggunakan alat itu kalau aku seperti ini, lalu kamu akan makin stress setelah melihat angka di thermometer itu dan menularkan stress kamu padaku. Itulah kenapa aku membuangnya!” jawab Georgia sambil merubah posisinya menjadi duduk. “Lihat, aku tidak apa-apa kan?”
Gabrielle memandang sahabatnya itu dengan geram. Untung saja suara nyaring pada ponselnya mengurungkan niat dia untuk melemparkan bantal besar ke arah wanita yang sedang demam itu. “Hallo…,” sapanya.
“Gabrielle, aku mau memberitahu perubahan jadwal untuk keberangkatan besok, kalian berempat—Gia, kamu, Nicholas dan Jezz pindah ke jam penerbangan sore hari pukul 6.40 PM dengan estimasi tiba di Roma esok harinya pukul 11.55 AM. Nanti ada kru yang akan menjemput kalian di bandara Leonardo Da Vinci, Roma,” ujar suara di seberang sana.
“Oh baiklah, kamu akan email tiketnya kan?”
“Sudah saya lakukan barusan.”
“Ok, terima kasih, Lin,” ucap Gabrielle.
Mata Gabrielle mengarah pada Georgia, dalam hati dia berdoa semoga besok sore sahabatnya itu benar-benar sudah pulih. Dia menghampiri lagi tempat duduk di sebelah Georgia, tangannya kembali memegang dahi wanita itu. “Ya ampun Tuhan! Kamu benar-benar seperti oven panggang Gia!” jeritnya berlebihan. “Kita harus ke rumah sakit sekarang juga! Tolong jangan keras kepala, kita harus berangkat besok ke Roma, kamu tidak mau aku laporkan kalau kamu sakit kan?” ancamnya.
Tatapan tajam Georgia terarah pada manajernya itu, “Jangan coba-coba Gaby! Ini kesempatanku bermesraan lagi dengan Nicholas,” jawabnya.
“Hih! Nicholas lagi—Nicholas lagi! Cowok itu sama tidak peduli sama kamu! Buktinya sudah hampir tiga bulan ini dia benar-benar tidak memandang kamu sedikitpun! Apalagi setelah kejadian ‘improvised excuse’ itu. Sebagai pacar bohongannya pun tidak!”
“Ssssh, dia akan jadi pacar sungguhanku nanti, percayalah…,” cetus Georgia sambil kembali merebahkan tubuhnya di sofa.
“GIAA! Setidaknya makan makanan kamu kalau kamu tidak mau ke rumah sakit!”
“Demi Tuhan kamu bisa tutup mulut sebentar saja tidak sih? Tubuhku bisa bisa meledak kepanasan kalau kamu bicara terus seperti itu….”
“Errggh… dasar keras kepala!”
***