THE WORST

2279 Words
PART 10 – THE WORST “Huh? Gia sakit?” Jezz memastikan lagi pendengarannya lewat ponsel yang sedang dipegangnya. Matanya melirik ke arah Nicholas yang sedang merapikan koper miliknya untuk yang terakhir kali. “Sekarang kalian ada di mana?” tanyanya. “Di apartemen Gia, ini anak susah sekali di ajak ke rumah sakit. Padahal demamnya tinggi,” adu Gabrielle dari ujung line sana dengan suara pelan. “Berapa derajat demamnya?” “Entahlah, yang pasti tanganku hampir terbakar kalau menyentuhnya.” “Jangan berlebihan Gaby.” “Aku serius Jezz! Aku takut kami tidak bisa berangkat sore ini….” “Ya sudah aku akan coba lihat ke sana, kalau perlu kita panggil dokter saja ke apartemen Gia,” saran Jezz. “Aku sudah mencobanya kemarin untuk mendatangkan dokter, tapi Gia malah mengusirnya! Gila kan?” Mata Jezz membesar ke arah Nicholas. Namun, dia tidak bisa menahan senyumnya membayangkan Georgia mengusir seorang dokter yang berniat memeriksanya. “Aku akan coba membujuknya Gaby. Tunggu aku ya….” Jezz menutup pembicaraannya sambil kembali menatap Nicholas yang memperhatikannya sejak tadi. “Ada apa?” Dia—Nicholas bertanya. “Gia sakit,” jawab Jezz. “Sakit apa?” “Ya itulah, gadis itu tidak mau dibawa ke rumah sakit atau pun diperiksa oleh dokter yang datang… aku mau ke sana untuk melihatnya, kamu ikut atau….” “Aku ikut….” Jezz Bob agak terkejut juga dengan sikap Nicholas yang tiba-tiba berubah mau ikut ke apartemen Georgia—padahal sebelumnya dia selalu menolak. Namun diam-diam Jezz gembira dengan perubahan sikap Nicholas pada gadis bernama Georgia Jenskin itu. Karena biar bagaimanapun orang-orang di luar snaa mengenal mereka berdua sebagai pasangan kekasih. Namun, karena jarang terlihat bersama maka timbul berbagai dugaan tentang hubungan mereka yang pada kenyataannya memang adalah hanyalah setingan belaka. Nicholas mengendarai sendiri mobilnya lebih cepat dari yang biasanya. Jezz tidak mau berkomentar sampai dia lihat sendiri saat pria itu memarkirkan mobilnya dan mematikannya dengan cepat. Lalu pria itu membiarkan Jezz Bob berjalan di depannya untuk menunjukkan jalan menuju apartemen Gia. Gabrielle sempat terkejut ketika membukakan pintu dan mendapati bahwa Jezz tidak sendirian, melainkan bersama Nicholas. “Nicholas?” Pria yang disapa tidak menjawab, tetapi langsung menyeruak masuk ke dalam apartemen Georgia sebelum Gabrielle mempersilakan masuk. Gabrielle dan Jezz saling melemparkan pandangan dengan mimik terkesima. Namun, yang pasti mereka sama-sama tersenyum tipis melihat ekspresi Nicholas yang terlihat sangat cemas. Nicholas tidak tahu yang mana kamar Georgia, dia hanya menuju ke sebuah kamar yang pintunya terbuka. Dengan hanya sedikit mendorong pintu tersebut dia mendapati seorang wanita yang sedang tertidur miring di bawah selimut tebal berwarna putih sampai ke dadanya. Wanita berambut cokelat itu tertidur dengan kedua tangannya berada di bawah bantal. Nicholas mendekat dan memandang mata Georgia yang sedang terpejam. Lalu dia bergerak spontas dengan merendahkan tubuhnya dan membawa tangannya untuk menyentuh dahi kekasih setingannya itu dengan hati-hati. Namun, ternyata sentuhannya membuat Georgia terbangun. Bola mata gadis itu bergerak-gerak seolah mendeteksi wajahnya dan Nicholas baru menyadari bahwa manik cokelat terang milik Georgia itu ternyata begitu memukau. Georgia mengerjapkan matanya berulang kali, lalu mengusapnya lagi untuk memastikan bahwa yang dilihatnya saat ini bukanlah mimpi. Seorang Nicholas Brewer berada di dalam kamarnya adalah suatu yang langka. “N-Nicho—las??” Suara seraknya mengawali sapaannya pada pria itu, “kenapa kamu ada di sini??” Nicholas menahan bahu Georgia yang bergerak hendak bangkit dari posisi berbaringnya, “Kamu tidak perlu bangun,” katanya membuat Georgia tetap bergeming pada posisinya semula. “Dan kamu harus diperiksa dokter, demam kamu tinggi Gi…,” ujar Nicholas sambil mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya. “Huh?” Hanya itu yang keluar dari mulut Georgia sambil memandangi Gabrielle dan Jezz yang juga sudah berada di dalam kamar. Mereka mengangguk bersamaan setuju dengan keputusan Nicholas yang sedang menelepon seorang dokter untuk memeriksa Georgia. “Gaby, tolong kamu ambilkan handuk kecil dan semangkuk air hangat,” pinta Nicholas setelah dia selesai bertelepon. Pandangannya beralih lagi pada Georgia setelah melihat Gabrielle berlari keluar kamar untuk mengambil apa yang dia minta barusan. Nicholas duduk di tepi tempat tidur Georgia dan kembali tangannya menyentuh dahi wanita itu, “kenapa kamu tidak mau diperiksa dokter, Gi?” tanyanya. “Karena kalau dari kemarin aku mau diperiksa dokter dan sembuh, kamu tidak akan datang ke sini?” Nicholas berdecak sambil menggelengkan kepalanya. Sedangkan Jezz tidak bisa menahan senyumnya melengkung di bibirnya. Gabrielle datang dengan mangkuk air hangat dan sehelai handuk kecil yang sangat tipis dan memberikannya pada Nicholas. Dengan cekatan laki-laki itu mencelupkan handuk tersebut ke dalam mangkuk berisi air hangat dan memerasnya, lalu melipat kecil dan meletakkannya di atas dahi Georgia. “Ini untuk meredakan demamnya, setidaknya sampai dokter datang,” katanya. Sepuluh menit kemudian dokter yang ditunggu datang dan memeriksa Georgia. Pria berkacamata yang ternyata kenalan Nicholas itu menuliskan resep untuk memulihkan kondisi Georgia. “Aku memberikan parasetamol untuk menurunkan panasnya dan vitamin untuk Gia, Nich. Georgia baik-baik saja, dia hanya kelelahan dan kurang asupan makanan, apa dia sedang diet?” tanyanya pada Nicholas. Nicholas mengerutkan alisnya sembari mengangkat bahunya, “Kurasa tidak… entahlah,” jawabnya. “Gia sudah mempunyai tubuh yang ideal, sebaiknya larang dia untuk berdiet, Nich. Kau kan pacarnya, bilang saja bahwa tidak ada yang perlu diubah dari tubuhnya….” Nicholas menelan ludahnya sambil mengucapkan terima kasih dan menggiring dokter tersebut keluar dari apartemen Georgia. Nicholas menghela napas lega setelah dia menutup pintunya.   “Bisa tolong tebuskan resep ini di apotik terdekat Jezz?” tanya Nicholas pada saat Jezz menghampiri. “Aku saja!” sambar Gabrielle. “Ya sudah aku dan Gabrielle yang akan membelinya, kamu tunggu di sini dan jaga Gia, oke?” sahut Jezz cepat dan menarik Gabrielle keluar dari apartemen Georgia. Nicholas belum sempat menjawab apa pun saat pintu sudah tertutup dan dua orang bersekongkol itu juga sudah menghilang. Matanya melihat pada pintu kamar yang masih terbuka karena dia merasa ada pergerakan di sana. Dan benar saja, Georgia sudah berdiri di sana dengan menyandarkan sebelah bahunya pada kusen pintu kamar. Mata Nicholas membesar dan menghampiri Georgia, “Kenapa kamu bangun?” “Mau memastikan kalau kamu memang benar-benar ada di apartemenku,” jawab gadis itu. “Gia… nanti sore kita sudah harus ada di bandara untuk terbang ke Italy. Kalau kamu tidak menuruti apa kata dokter, bisa jadi kamu tidak bisa berangkat hari ini dan aku yakin itu akan membuat Rick sangat kecewa.” “Aku sudah merasa lebih baik,” lontar Georgia sambil berjalan menuju ke sofa dan diikuti oleh tatapan Nicholas yang geram. Nicholas mendekati Georgia dan menyentuh lagi dahinya dengan punggung tangannya. Pria ini seenaknya saja menyentuhkan tangannya pada dahi Georgia di saat jantung gadis itu berdetak tanpa irama yang jelas. Georgia menelan ludahnya ketika melihat Nicholas ikut duduk bersamanya di satu sofa panjang miliknya—tapi pria itu agak menjauh setelah melepaskan tangannya dari dahi Georgia. “Kenapa kamu ada di sini Nich?” tanyanya tiba-tiba. “Aku tidak mau pekerjaanku tertunda karena harus menunggu kamu sembuh dari sakit,” jawab Nicholas cepat dan cukup masuk akal. Georgia menghela napasnya sambil menelan ludah. “Ya, aku sudah menduga jawaban itu yang akan keluar dari mulut kamu, tapi dengan kamu berada di apartemen aku sekarang… aku jadi tahu bahwa ada sedikit harapan kalau hubungan setingan kita akan menjadi nyata.” “Jangan berkhayal Gia,” tegur Nicholas mengingatkan. “Jangan melarang orang lain untuk berkhayal Nich. Bisa jadi itu adalah satu-satunya harapan yang bisa membuat seseorang itu bertahan hidup.” Nicholas menatap Georgia putus asa. Pria itu tidak tahu lagi harus berbicara dalam Bahasa yang bagaimana agar Georgia mengerti bahwa apa yang dia lakukan sekarang hanyalah karena hubungan pekerjaan saja. “Aku melakukannya demi pekerjaan kita, itu saja,” akunya. “Iya… mau demi apa pun aku tidak peduli Nich. Yang penting aku senang kamu ada di sini sekarang.” Nicholas menghela napas bersamaan dengan suara ponsel yang menggema. Dia tahu itu bukanlah suara ponselnya melainkan suara dari yang lainnya. Ketika sekilas dia melihat ke arah Georgia, wanita itu menunjuk sofa di depan Nicholas—di sanalah ponsel yang berbunyi tersebut. Pria itu beranjak untuk mengambil ponsel milik Georgia yang berbunyi. Nicholas menelan ludahnya ketika matanya sekilas menangkap nama yang berkedip pada layar ponsel tersebut. ‘MARCEL’ Georgia menyambut ponsel yang disodorkan padanya dan langsung menjawab panggilan dari Marcel—dengan suara keras (mode loud speaker). “Halo Gia,” sapa suara di ujung sana. “Marcel….” “Kamu baik-baik saja kan? Gaby bilang kamu sakit??” Suaranya terdengar sangat cemas. Georgia melirik ke arah Nicholas untuk melihat reaksinya. Tapi sepertinya pria itu terlihat biasa saja, tidak peduli ada pria lain yang sangat mencemaskan dirinya. “Aku baik-baik saja Cel. Terima kasih,” jawab Georgia. “Kamu mau makan apa? Aku akan belikan,” ujar Marcel. Nicholas melihat ke arah Georgia dengan tatapan geram. “Terima kasih Marcel, tapi kebetulan Nicholas ada di sini dan sudah membelikan makanan untukku…,” jawab Georgia sambil melihat ke arah Nicholas yang seolah puas dengan jawabannya. “Oh begitu, baiklah. Tapi jangan ragu untuk meneleponku jika kamu membutuhkan sesuatu Gia. Jadwal kamu berangkat ke Roma, tetap sore ini kan? Seandainya kita bisa berangkat bersama….” “Iya Cel. Kami sore ini berangkat. Kita bertemu di sana yaa.” “Baiklah Gia, aku senang kalau kamu ternyata baik-baik saja dan Nicholas ada di sana. By the way, kamu sudah membawa jaket dan baju tebal kan Gia? Di Italy sekarang sedang musim dingin.” Marcel lagi-lagi dengan sikap sok perhatiannya. Georgia menahan senyumnya ketika melihat Nicholas yang memandang ke arahnya sekali lagi dengan tatapan geram. Mungkinkah pria itu cemburu pada Marcel? Batinnya berharap. “Iya Marceel… pakaian tebalku sudah masuk semua, jaket yang kamu belikan juga sudah masuk dalam koperku, terima kasih ya,” jawab Georgia sengaja menambahkan perihal jaket pemberian Marcel. Terdengar suara tawa ringan di ujung telepon, “Aku senang jaketku bisa menemani kamu lebih awal di tengah dinginnya Italy, Gia,” katanya terdengar begitu romantis. Dada Nicholas semakin meradang mendengarkan pembicaraan mereka berdua. Dia bangkit berdiri dan pergi ke arah pintu yang kebetulan berbunyi. Jezz masuk sambil memberikan satu buah kantong kecil berisi obat dan vitamin untuk Georgia. Pada saat yang sama juga Georgia menyudahi pembicaraannya dengan Marcel dan menutup ponselnya. Beberapa detik kemudian Gabrielle masuk dengan membawa makanan untuk Georgia. Dia juga memberikannya pada Nicholas, “Ini sup jamur kesukaan Gia….” Nicholas mengangguk dan pergi ke arah Georgia tengah merebahkan punggungnya di sofa, “Makan ini Gia… lalu minum ini,” ujarnya dingin sambil menyodorkan dua buah kantong pada Georgia. Wanita itu menerimanya sambil mengernyitkan dahi, “Apa ini?” “Itu makanan dan vitamin untuk memulihkan kondisi kamu,” jawab Nicholas. “Aku harus pergi sekarang, tapi aku tidak mau dengar kalau kamu tidak menghabiskan sup itu,” ujar Nicholas sambil menunjuk kantong kertas yanga ada di tangan Georgia. Lalu dengan gusar Georgia malah meletakkan kedua kantong kertas tersebut di atas meja. “Kalau kamu mau pergi, maka tidak usah pedulikan aku akan makan atau tidak!” Mata Nicholas membesar. “Maksud kamu?” “Aku mau makan hanya kalau kamu ada di sini,” ujar Georgia dengan wajah serius. Nicholas menghela napasnya, sedang Jezz dan Gabrielle menahan napasnya melihat ketegangan yang ada di antara keduanya.  Jezz mengangguk pelan ketika sekilas tatapan mata Nicholas mengarah padanya dan membuat pria itu kembali duduk di sofa sambil mengeluarkan sup dari kantongnya dan menyajikannya untuk Georgia. Sehingga pada akhirnya Georgia pun memakan sup favoritnya dengan lahap. Dasar Gia, dumal Gabrielle dalam hatinya. Walau dia sendiri kurang setuju dengan sikap sahabatnya itu, tapi dalam hatinya dia merasakan kebahagiaan yang saat ini sedang dirasakan Georgia. Walau batinnya juga berteriak mengingatkan bahwa kebahagiaan ini hanyalah semu belaka. *** Mereka berempat sudah berada di bandara. Lin sudah mengutus seseorang untuk mengurus semua kegiatan sebelum boarding pesawat. Banyak pasang mata yang memperhatikan Nicholas dan Georgia ketika mereka berjalan berdampingan menuju ke antrian check in counter. Maklum saja mereka adalah aktris dan aktor terkenal di Canada. Apalagi saat ini berita tentang mereka berdua juga sedang hangat-hangatnya. Walau Georgia banyak pembenci, tapi dia juga memiliki penggemar yang sangat menyukai hubungan percintaannya dengan Nicholas—yang dinilai sebagai aktor dengan image yang sangat baik dan mereka berharap hubungan ini bisa merubah image buruk yang melekat pada Georgia selama ini. Jezz dan Gabrielle memeriksakan semua tas mereka yang akan masuk ke dalam bagasi pesawat, termasuk juga milik Nicholas dan Georgia. Utusan Lin lalu memberikan semua bagasi tag-nya kepada Jezz sebagai bukti untuk mengambil bagasi mereka nanti di bandara tujuan. Setelah memeriksa semuanya, boarding pass yang sudah sesuai dengan tujuannya, kemudian baggage tag-nya juga sudah lengkap, maka utusan Lin itu menunjukkan gate keberangkatan mereka sambil berpamitan dan mengucapkan selamat jalan pada mereka berempat. Beberapa orang memanggil nama Georgia dan Nicholas ketika mereka melewatinya. Georgia, yang saat itu menggunakan sweater berwarna hitam ketat sampai menutupi lehernya, berpadu dengan celana katun berwarna abu-abu panjang sampai ke mata kaki—memang terlihat sangat menawan dan menarik perhatian, ditambah sepatu booth berwarna hitam yang hanya menutup sampai mata kakinya saja. Rambutnya yang cokelat digulung ke atas untuk memamerkan lehernya yang jenjang. Kondisinya sudah terlihat sangat baik-baik saja, apalagi sekarang tangannya berada dalam genggaman Nicholas. Georgia semakin percaya diri melangkah di tengah-tengah keramaian orang banyak  yang sebagian mungkin adalah penggemar dirinya dan Nicholas. Nicholas, yang saat itu juga terlihat sangat tampan dalam balutan kaus putih ditumpuk dengan jaket berwarna abu-abu dan celana hitam semata kaki—terpaksa harus menggandeng Georgia yang kesulitan menghindari para penggemar demi berfoto dengannya. Dan dia baru melepaskan tangan Georgia ketika petugas gate memeriksa boarding pass  mereka masing masing. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD