Chapter 8 : Desa

1121 Words
Angin berembus kencang, menerbangkan dedaunan kering. Gadis berambut perak panjang dan tubuh pendek itu masih jatuh berlutut di tanah. Kenzie tidak sanggup melihat betapa depresinya gadis tersebut usai menyaksikan pertarungan sadis beberapa waktu lalu. Kenzie segera berbalik, hendak pergi meninggalkan gadis itu karena merasa bersalah. “Maaf ..., tidak seharusnya kau melihat itu semua.” Kenzie pun perlahan melangkah pergi. Akan tetapi, si gadis berlari dan memeluknya dari belakang. “Aku takut ...,” ucap si gadis, lirih. “Kau sudah bisa pergi sekarang, atau aku akan mengantarmu kembali ke desamu,” kata Kenzie sembari mulai melepaskan pelukan si gadis. Namun, gadis itu menggelengkan kepala. “Aku dipilih untuk melayani Raja Evil. Aku tidak mau!” Dia semakin mempererat pelukannya pada Kenzie. Mau tak mau, Kenzie harus mengambil keputusan. Ia mengembuskan napas panjang, lalu menjawab dengan lembut, “Baiklah, jadi ke mana kau hendak pergi?” “Ti ... tidak bisakah Tuan menjagaku dari para siluman itu?” Wajah si gadis seketika memerah, begitu pula dengan Kenzie. “A, aku rasa lebih baik kau mencari orang lain saja,” Kenzie berkata dengan sedikit rasa bersalah. “Setelah ini aku akan diburu dan tidak mustahil kau akan melihat kejadian yang lebih kejam dari yang baru saja kaulihat.” “Bukan masalah, selama aku bisa pergi dari cengkraman Raja Evil.” “Tapi aku tidak bisa menjamin keselamatanmu sedikit pun, karena aku tidak yakin dengan keselamatan diriku sendiri. Akan jauh lebih baik jika kau bersama orang yang lebih kuat dari aku ....” “Jadi Tuan tak ingin aku ikut bersama Tuan?” Si gadis pun melepaskan pelukannya, berbalik dan berlari menuju jurang. “Kalau begitu, jauh lebih baik aku mati sebab aku tidak mempunyai tempat untuk pulang lagi.” “Tunggu!” Kenzie segera bereaksi, tangannya berhasil meraih tangan si gadis sebelum melompat ke jurang. Sekuat tenaga Kenzie menariknya, ia memeluk erat gadis tersebut, lalu berbisik, “Kenapa kau melakukan ini?” “Aku sudah tak memiliki tempat untuk pulang ....” Air mata si gadis menetes. “Haah ....” Melihat ini, Kenzie mengembuskan napas panjang, kemudian mengambil keputusan. “Baiklah, aku akan menjagamu. Aku akan menjadi tempatmu untuk pulang selama aku sanggup. Tapi, perjalananku tidaklah mudah seperti kau bayangkan.” “Sungguh?” “Mana mungkin aku membiarkan seorang gadis bunuh diri tepat di depanku. Jika seandainya kau memiliki tempat pulang yang lain, kau boleh meninggalkanku kapan pun.” “Hm ....” “Siapa namamu?” “Aku Kyra.” Si gadis menjawab pelan. Kenzie melepaskan pelukannya, memasukkan pedang di tangan kanannya ke dalam kalung penyimpanan, lalu tersenyum sambil mengelap air mata Kyra. “Jangan menangis, aku akan melindungimu.” Ia menyentuh pipi Kyra dengan lembut, membuat wajah gadis itu sedikit memerah. “Aku Kenzie. Kau boleh memanggilku apa pun.” “Aaaaa ....” Segera Kyra berbalik, menutup wajahnya yang sudah merah seperti tomat dengan kedua tangan. Sepertinya ia melihat Kenzie jauh lebih tampan ketika tersenyum. “Jangan menggodaku.” “Ha?” Kenzie memiringkan kepala, tidak mengerti apa yang Kyra bicarakan. “Apa maksudmu?” “Berhenti berpura-pura tidak tahu! Dasar bodoh, bodoh, bodoh!” Kyra terus berteriak sambil menutup wajahnya agar tak terlihat oleh Kenzie. Tentu saja Kenzie menggaruk wajah keheranan, tidak mengerti apa yang tengah dibicarakan oleh Kyra. Padahal ia hanya mengusap air mata gadis itu dengan lembut, tetapi kenapa reaksinya seperti ini? Kenzie tak habis pikir, kenapa bisa seperti ini? *** Tidak mau membuang waktu terlalu banyak, akhirnya Kenzie membawa Kyra berjalan menuju ke arah barat. Ia sesungguhnya tak tahu harus ke mana, tetapi ia memutuskan untuk berjalan mengikuti instingnya saja. Siapa tahu ia menemukan sesuatu yang bagus selama perjalanan ini. Kendati sebenarnya tujuan Kenzie adalah mengumpulkan serpihan Pedang Excalibur, sesuai perintah Al. Namun, ia tidak terburu-buru menyelesaikannya. Lagipula, Al tak memberinya batas waktu kapan harus sudah dapat mengumpulkannya. Selain itu, Kenzie tidak mengetahui ke mana saja serpihan Pedang Excalibur berada. Maka, jika bisa, ia harus mengumpulkan informasi dari berbagai tempat sebelum bergerak. Akan tetapi, sekarang wajahnya sudah pasti diketahui, membuatnya sulit bergerak. Sambil berjalan santai menyusuri hutan, sesekali Kenzie mengambil beberapa buah-buahan dan memakannya sambil berjalan bersama Kyra. Mereka berdua hanya diam, tak mengobrol. Kyra sejak tadi menundukkan kepala, membuat Kenzie susah memulai sebuah percakapan. Lama waktu berlalu, kini mereka berdua berhenti sejenak di bawah sebatang pohon rindang. Ketika Kyra tengah menyesuaikan tarikan napas, Kenzie memerhatikan sekitar, waspada jikalau ada bahaya yang mengintai. “Sepertinya aman. Kita bisa istirahat di sini selama beberapa waktu, semoga kau tidak mengeluh karena kita ada di dalam hutan,” kata Kenzie yang dibalas Kyra hanya dengan anggukan kecil. Melihat betapa murungnya gadis itu, Kenzie tetap diam. Ia pikir, pastilah Kyra masih trauma mengingat kejadian beberapa waktu lalu. Dan, Kenzie tidak memiliki ide apa pun untuk menghiburnya. “Haah ....” Kenzie menghela napas panjang, lalu kembali mengalihkan pandangan ke sekitar. Setelah beristirahat, keduanya kembali memulai perjalanan menuju ke arah barat. Entah mengapa Kenzie merasa kalau ada sesuatu jika ia terus berjalan ke barat. Ia bahkan dibuat tak bisa mengabaikan instingnya ini. Berjalan selama beberapa saat, akhirnya mereka sampai di pinggir sebuah desa yang sudah tak berpenghuni. Kenzie dan Kyra berhenti berjalan, bersembunyi di antara semak-semak. Kenzie dengan saksama mengamati desa kosong tersebut, dan firasatnya mengatakan hal buruk akan terjadi. Kendati begitu, karena rasa penasaran yang tinggi, Kenzie memutuskan masuk ke dalam desa. “Ikuti aku, kita akan melihat desa ini dari dekat. Jika kau takut, kau bisa menunggu di sini saja,” kata Kenzie, pelan, tidak mengalihkan pandangannya dari desa. “Tidak, aku akan ikut denganmu ...,” jawab Kyra. “Baiklah, terserah padamu.” Dengan langkah pelan penuh kehati-hatian, mereka masuk ke desa. Bangunan seperti rumah telah banyak yang rubuh atau berlumut di sini, Kenzie tak tahu sejak kapan desa ini ditinggalkan hingga dapat sekumuh ini. Terlihat oleh mata, beberapa tulang berserakan di tanah. Seketika Kyra menggenggam erat tangan kanan Kenzie, membuat Kenzie sedikit tersentak. “Aku takut ...,” ucap Kyra, pelan, masih menundukkan kepala. “Tenanglah, tidak ada apa-apa, masih ada aku di sini, jadi jangan takut.” Kenzie masuk semakin jauh ke dalam desa. Tiba-tiba Kenzie berhenti, melihat sebuah rumah yang masih berdiri kokoh, tetapi dindingnya dipenuhi oleh lumut. Tanpa ragu, Kenzie masuk ke dalam rumah itu, diikuti oleh Kyra yang hanya diam. “Sepertinya hanya ini rumah yang masih berdiri dengan kokoh. Tapi, di sini kosong, tak ada apa pun selain sebuah guci yang hancur setengah.” Diperdaya oleh rasa penasaran, Kenzie kini memeriksa rumah dengan ruang tamu luas dan beberapa kamar tidur serta kamar mandi juga dapur. “Pasti ini adalah rumah di mana para siluman tinggal.” Mengamati lebih lama, Kenzie tidak menemukan apa pun lagi selain sebuah lukisan tua yang sudah usang hingga tak dapat dimengerti itu lukisan apa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD