Chapter 32 : Perjuangan II

1174 Words
Melihat Ceri yang sudah tewas di hadapannya, Zidan hanya dapat mematung kaku. Air mata sudah tak dapat keluar lagi dari matanya, dan sekujur tubuhnya mematung kaku. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana, hatinya telah dihancurkan menjadi abu oleh makhluk yang sangat ia benci selama hidup, yakni siluman. Menyaksikan sendiri bagaimana makhluk yang dibenci membunuh orang yang paling disayangi, membuat Zidan tak tahu harus bereaksi seperti apa lagi. “Ekspresi wajahmu itu sedikit menghibur, anak manusia!” ucap si siluman tanpa mata sembari mengangkat kembali cambuknya ke atas. “Namun, aku akan segera membuatmu kehilangan ekspresi wajah itu, jadi bersiaplah!” Mendadak, satu pukulan kayu yang keras, melesat ke punggung si siluman, membuat siluman tersebut berpaling, melirik ke belakang. Di sana terlihat jelas Cira yang berlinang air mata, memukul si siluman sekuat tenaga. “Makhluk jelek! Pergi dari desa kami!” seru Cira, menahan dadanya yang sesak karena melihat Ceri tewas, tepat di depan matanya. Tak berselang lama, semua penduduk yang tadinya bersembunyi di tempat persembunyian, kini keluar dan berkumpul di belakang Cira. Mereka semua, baik laki-laki maupun perempuan, dewasa dan anak kecil, terlihat sangat siap untuk bertarung demi Zidan yang saat ini sedang dalam keadaan sekarat. “Kami tidak akan membiarkanmu menyentuh sehelai rambut Tuan Zidan lagi!” Mereka berteriak kencang pada siluman yang ada di depan mereka. Siluman tanpa mata yang sudah bersiap menyerang Zidan, kini berbalik badan, menghadap pada orang-orang yang bersiap melawannya. Bukannya takut, dia malah tersenyum lebar, senang saat mengetahui ekspresi para manusia itu. “Kalian semua begitu yakin dapat menyelamatkan tuan kalian, tetapi kekuatan yang kalian miliki tidaklah bisa melakukannya. Itulah mengapa, tuan kalian yang baik hati itu, sekarang malah terlihat seperti orang tanpa harapan!” “Kau!” Cira yang kesal, segera melesat ke depan, menyerang siluman itu dengan tongkat kayunya. “Kau tidak memiliki sedikit pun hak untuk mengatai Tuan Zidan! Cepat tarik kembali ucapanmu!” Tanpa mau menggubris ucapan si gadis, siluman tanpa mata dengan tenang bergerak ke sana sini, menghindari setiap pukulan tongkat kayu yang diluncurkan oleh Cira. Akan tetapi, Cira tidak mau menyerah dan terus saja menyerang, kendati tahu serangannya tidaklah berarti. “Gadis kecil, kau bahkan tidak bisa bertarung, tetapi mau melawan aku? Jangan bercanda!” Segera si siluman meluncurkan satu tendangan keras, membuat Cira jatuh terhuyung di tanah. “Hentikan ....” Zidan yang sudah tak sanggup melihat semua ini, hanya dapat bersuara pelan sembari menjulurkan tangan kanannya ke depan. “Sudah hentikan. Jangan lakukan lagi. Sudah cukup, sudah cukup ....” Mendengar suara Zidan yang begitu lirih dan sangat menginginkan ampun atas Cira, membuat siluman tanpa mata semakin melebarkan senyumannya, lalu berseru lantang, “Semuanya! Habisi para manusia ini tanpa sisa!” Semua siluman yang ada di sini, yang sudah menunggu perintah sedari tadi, langsung saja bergegas melaksanakan tugas yang diberikan. “Mari kita bantai! Tidak perlu dikasihani! Bantai! Bantai! Bantai!” Semua siluman bersorak, menghabisi setiap penduduk yang masih dapat menghirup napas kehidupan. Mata Zidan kian terbelalak lebar melihat semua kejadian mengerikan itu. Mulutnya ingin bergerak menyampaikan sesuatu, tetapi ia tak sanggup mengatakan apa pun, sebab tubuhnya sudah gemetaran. Tarikan napas pemuda itu pun kian tak beraturan lagi ketika melihat darah tercurah bagai air. Dadanya begitu sesak, bahkan pandangannya kian kabur. Perlahan, siluman tanpa mata berbalik, menghadap ke arah Zidan, sembari membawa tubuh Cira yang sudah tak sadarkan diri lagi. Siluman itu tersenyum lebar, lalu berkata, “Bukankah kau sangat sakit melihat semua ini?” Tanpa ragu sedikit pun, siluman itu mencekik leher Cira dan mendekatkan wajah Cira ke wajah Zidan. “Kalau kau memang sudah muak melihat semua ini, maka congkel kedua matamu agar kau tak perlu lagi melihat semuanya! Hahaha!” Zidan hanya terdiam, tidak sanggup melakukan apa-apa lagi kala semua orang yang ia jaga, malah dibantai habis-habisan tanpa sisa oleh para siluman. Namun, hal yang paling membuat Zidan tidak dapat bergerak lagi adalah leher Cira, diputuskan oleh siluman tanpa mata, tepat di hadapannya. Saat itu, hati Zidan benar-benar telah dihancurkan berkeping-keping, membuat ia tak lagi memiliki keinginan untuk bertahan hidup. *** Tak jauh dari desa bawah tanah, di dalam lorong panjang yang diterangi oleh cahaya dari obor. Kenzie, Kyra dan Vani berlari sekuat tenaga, mencoba untuk segera sampai ke tempat tujuan. Hati Kenzie begitu tidak tenang saat berlari, tetapi sebisa mungkin ia mencoba menenangkan dirinya. “Semuanya! Habisi para manusia ini tanpa sisa!” Sontak Kenzie terperanjat kala mendengar kalimat itu menggema di dalam lorong. Tanpa mau mengindahkan apa pun lagi, Kenzie berlari semakin cepat, meninggalkan Vani dan Kyra jauh di belakang. Melihat Kenzie yang sangat terburu-buru itu, Kyra tidak berusaha untuk membuat Kenzie memelankan langkah, karena dia sadar Kenzie sedang sangat khawatir pada para penduduk. Setelah beberapa saat, akhirnya Kenzie tiba di tempat tujuan. Seketika itu pula, langkah kakinya terhenti, matanya terbelalak lebar melihat semua penduduk yang sudah dibantai serta Zidan yang sudah tak dapat berbuat apa-apa lagi. Keadaan yang begitu buruk ini, membuat Kenzie tanpa sadar sudah menarik keluar pedangnya, tanpa ada keraguan sedikit pun. Siluman tanpa mata dan siluman lainnya, langsung menyadari kedatangan Kenzie yang begitu mendadak. Suasana pun menjadi tenang, siluman tanpa mata langsung menjauh dari Zidan, mendekati Kenzie yang baru saja tiba. Siluman itu menyadari ada sesuatu yang berbeda dari Kenzie, kendati dia memang tak dapat melihat sosok Kenzie seperti apa. “Wah, wah, wah, sepertinya kita kedatangan tamu yang tidak diundang,” ucap si siluman, santai, benar-benar meremehkan Kenzie. Tanpa mau berbasa-basi terlebih dahulu, Kenzie seketika melesat ke depan, kemudian menebaskan pedangnya secara horizontal. Sigap saja, siluman tanpa mata bereaksi, melompat ke belakang untuk menghindar, lalu meluncurkan serangan balasan menggunakan cambuk panjangnya. Kenzie dengan tenang menghindari setiap cambukan yang datang. Pemuda itu lantas melesat ke depan, mengalirkan ‘Mana’ pada batang pedangnya, lalu menebaskan pedangnya itu ke depan. Dalam sekejap, serangan berbentuk setengah lingkaran, berwarna keemasan, melesat ke depan, tepat ke arah siluman tanpa mata. Akan tetapi, si siluman dapat menangkis serangan itu menggunakan cambuk panjangnya. Serangan pertama berhasil digagalkan, Kenzie tidak putus asa, masih melesat ke depan, menyerang dari jarak dekat memakai pedangnya. Benturan antara cambuk dan pedang pun terjadi dengan sangat sengit. Tidak ada yang mau mengalah di antara mereka, sama seperti pertarungan seperti biasanya. Walau sebenarnya ada perbedaan dalam senjata, tetapi Kenzie mampu memakai pedangnya dengan efektif, sehingga siluman tanpa mata tidak dapat memaksimalkan fungsi dari cambuk yang menjadi senjatanya. Ketika senjata mereka berbenturan kembali untuk yang ke sekian kalinya, mereka berdua langsung mengambil jarak ke belakang, berdiri saling berhadap-hadapan. Kenzie sibuk mengamati gerakan siluman tanpa mata itu, sedangkan si siluman sendiri tengah memaksimalkan fungsi indera pendengarannya, sebab tahu kalau Kenzie bukan lawan yang mudah dihadapi. Tidak seperti sebelumnya, siluman tanpa mata hanya diam, tidak mau fokusnya terganggu karena terus berbicara untuk memprovokasi lawan atau sebagainya. Melihat Kenzie dan siluman tanpa mata sangat serius, siluman lain pun terdiam, menahan napas dan bahkan lupa berkedip karena menyaksikan sebuah pertarungan yang luar biasa ini. Para siluman itu tidak menyangka kalau Kenzie, manusia yang baru saja tiba di desa bawah tanah, sanggup berhadapan satu lawan satu dengan seimbang melawan siluman tanpa mata, yang sudah terkenal begitu kuat di kalangan para siluman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD