The Blood Contract

The Blood Contract

book_age16+
30
FOLLOW
1K
READ
billionaire
dark
love-triangle
contract marriage
HE
love after marriage
opposites attract
second chance
friends to lovers
arrogant
goodgirl
mafia
doctor
heir/heiress
drama
tragedy
sweet
bxg
city
office/work place
small town
cheating
lies
love at the first sight
seductive
like
intro-logo
Blurb

Demi nyawa adiknya, Saskia harus menerima tawaran iblis: Kwon Jin-hyuk. Mantan kekasihnya itu terancam kehilangan takhta berdarah jika tidak menikah. Perjanjian darah menjadi satu-satunya jalan keluar. Aturannya sederhana: Jin-hyuk mendapatkan kekuasaan, dan Saskia harus bertahan hidup di sisinya. Di antara intrik dan pengkhianatan, mereka dipaksa memainkan peran sebagai pasangan sempurna. Namun, garis antara benci dan obsesi mulai kabur, terlebih saat seorang dokter baik hati menawarkan jalan keluar—kehangatan yang kontras dengan dunia gelap yang menjebaknya. Dapatkah cinta lahir dari keputusasaan? Atau akankah kontrak ini menghancurkan mereka dalam takdir yang paling mematikan?

chap-preview
Free preview
Sial, telat!
"Sial, telat!" Umpatan itu meluncur tanpa suara dari bibir Bima Aditya Putra saat matanya yang masih setengah terpejam menangkap angka digital di jam weker: 08:47. Jantungnya serasa melompat ke tenggorokan. Janjinya dengan Profesor Min adalah pukul sembilan. Tepat. Tidak kurang, tidak lebih. Profesor pembimbing tesisnya itu terkenal sangat membenci keterlambatan. Dengan gerakan panik, ia menyibak selimutnya. Kamar studio mungilnya di distrik Sinchon, Seoul, tampak seperti baru saja diterjang angin topan-buku-buku berserakan, mangkuk ramyeon bekas semalam masih tergeletak di meja, dan jaket tebalnya teronggok di lantai. Semalam ia terlalu asyik bertukar pesan dengan Saskia, kakaknya, sampai lupa waktu. Ponselnya di atas nakas berkedip, menandakan ada pesan masuk. Dari "Kak Sas ♥️". "Bim, good luck buat ketemu Prof. Min hari ini! Bikin dia terkesan! Kakak juga mau perang hari ini, doain ya! Love you!" Rasa bersalah langsung menyergap Bima. Ia bahkan tidak sempat mengangkat panggilan video dari kakaknya semalam karena sibuk merapikan materi presentasinya. Sambil menyambar handuk, ia mengetik balasan secepat kilat: "Pasti didoain! Kakak juga semangat! Maaf semalem ketiduran, nanti aku telpon ya!" Lima menit kemudian, ia sudah berlari keluar dari pintu apartemennya. Sarapan jelas tidak ada dalam kamus. Aroma sup kimchi dari restoran di lantai bawah yang biasanya menggoda, kini ia abaikan. Pikirannya hanya terfokus pada satu hal: mencapai gedung fakultas dalam waktu kurang dari lima belas menit. Mustahil jika berjalan kaki. Ia memutuskan untuk mengambil jalan pintas, memotong lewat gang-gang sempit yang dipenuhi mural warna-warni. Napasnya mulai memburu, udara musim semi yang dingin terasa membakar paru-parunya. Ia terus berlari, bahunya beberapa kali menyenggol pejalan kaki lain sambil membungkukkan badan dan menggumamkan permintaan maaf dalam bahasa Korea yang terbata-bata. Ia akhirnya tiba di jalan raya utama. Dari seberang jalan, gedung fakultasnya yang megah sudah terlihat. Lampu penyeberangan untuk pejalan kaki berwarna merah, diiringi hitungan mundur digital: 10... 9... 8... "Ayolah... ayolah..." gumam Bima, kakinya sudah tidak sabar untuk melompat dari trotoar. Saat angka menunjukkan '3', ia membuat keputusan sepersekian detik. Ia bisa berhasil. Ia harus berhasil. Dengan mengabaikan peraturan, ia mulai berlari menyeberang. Dari arah kirinya, sebuah motor pengangkut barang melaju kencang, berusaha mengejar sisa-sisa lampu hijau. Kotak-kotak paket berwarna cokelat ditumpuk tinggi di bagian belakang, sedikit menghalangi pandangan si pengendara. Si pengendara juga sedang terburu-buru, dikejar target pengiriman. Dua orang yang sama-sama sedang tergesa. Dua dunia yang akan bertabrakan dalam sebuah takdir yang kejam. Bima mendengar deru mesin motor yang parau itu terlambat sepersekian detik. Ia menoleh. Matanya tidak melihat wajah si pengendara, hanya tumpukan kotak cokelat yang seolah tumbuh menjadi dinding raksasa yang siap menelannya. Ia sempat mendengar teriakan kaget dari orang-orang di sekitarnya. Lalu, sebuah hantaman keras di sisi tubuhnya. Rasa sakit yang tajam dan menyilaukan. Dunianya berputar. Aspal yang dingin terasa menggores pipinya, dan aroma kopi Americano yang tumpah dari genggamannya menjadi hal terakhir yang tercium oleh indranya. Sebelum kegelapan menariknya sepenuhnya, satu wajah terlintas di benaknya. Wajah kakaknya yang tersenyum. *** Ruang Gawat Darurat Pusat Medis Asan adalah sebuah kawah yang terus-menerus bergolak, sebuah ekosistem kekacauan yang dikendalikan oleh protokol dan adrenalin. Udara di dalamnya adalah koktail yang memualkan: bau tajam antiseptik yang menusuk hidung, aroma samar darah yang seperti besi, dan di bawah itu semua, tercium aroma ketakutan yang asam dan tak berbentuk. Simfoni mesin-mesin penyelamat hidup-detak ritmis monitor EKG, desis mekanis ventilator, dan alarm-alarm melengking yang menandakan krisis-adalah musik latar yang tak pernah berhenti. Namun, saat pintu otomatis ruang trauma terbelah dengan kasar dan brankar yang membawa Bima didorong masuk, orkestra neraka itu seolah menemukan soloisnya. Level kekacauan itu meningkat, menemukan titik fokus baru yang tragis. "Laki-laki, sekitar dua puluh tahun, korban tabrak lari! GCS tujuh, tekanan darah terjun bebas, sembilan puluh per lima puluh! Saturasi oksigen delapan puluh lima dan terus menurun!" seru seorang perawat pria, suaranya serak dan tegang, seragam birunya sudah ternoda bercak darah yang bukan miliknya. Tim medis-segerombolan malaikat bersayap lelah-langsung mengerubunginya. Mereka bergerak seperti satu organisme yang sama, sebuah tarian darurat yang telah mereka latih ribuan kali. Gunting trauma dengan bunyi krak yang memuakkan membelah jaket tebal dan kaus Bima, memperlihatkan d**a pucat yang dihiasi lebam-lebam biru keunguan. Tangan-tangan bersarung tangan lateks menempelkan elektroda di kulitnya yang dingin, dan di monitor atas kepala, garis hijau bergerigi yang menandakan detak jantungnya tampak lemah dan tak beraturan. "Tidak ada denyut karotis! Dia V-fib!" teriak dokter residen yang paling dekat dengan kepala Bima. Tanpa menunggu perintah, perawat lain sudah menyiapkan defibrilator. "Dua ratus joule! Clear!" Tubuh Bima terangkat sedikit dari brankar saat sengatan listrik menghantam dadanya. Asap tipis mengepul dari kulitnya. Semua mata tertuju pada monitor. Garis yang kacau itu sempat lurus sesaat-sebuah momen keheningan total yang membuat darah semua orang membeku-sebelum kembali berdetak dalam ritme sinus yang lemah. Mereka berhasil menariknya kembali dari ambang kematian, setidaknya untuk saat ini. "Kita dapat denyutnya kembali!" seru seseorang, diiringi helaan napas lega yang kolektif. Namun, kepala tim, seorang dokter paruh baya bernama Dr. Choi, tidak ikut merayakan kemenangan kecil itu. Matanya terpaku pada kepala Bima. "Pupil anisokor, yang kanan melebar dan tidak bereaksi terhadap cahaya. Ada otorea, pendarahan aktif dari telinga kanan. Jantungnya mungkin sudah kembali, tapi otaknya sedang sekarat! Ini trauma kepala berat!" suaranya menggelegar, memotong euforia sesaat. "Sialan! Panggil Dr. Lee dari bedah saraf, sekarang! Katakan ini code blue untuk otaknya! Kita hanya punya beberapa menit!" Beberapa menit yang terasa seperti jam kemudian, di tengah hiruk pikuk persiapan intubasi dan pemasangan jalur infus sentral, pintu geser otomatis ruang trauma kembali terbuka. Kali ini, tidak ada yang terburu-buru. Seorang pria jangkung dengan postur tenang yang nyaris arogan memasuki ruangan. Kehadirannya seolah memancarkan medan gaya tak terlihat, sebuah pusat ketenangan yang begitu kuat hingga badai di sekelilingnya seolah mereda. Para perawat dan dokter residen yang panik, tanpa sadar menegakkan punggung mereka. Bisikan-bisikan terdengar di antara mereka, campuran antara kekaguman dan rasa takut. "Dr. Lee sudah datang." Di nametag yang tersemat rapi di jas putihnya yang bersih tanpa cela, tertulis: Dr. Lee Seo-jin, Spesialis Bedah Saraf. Wajahnya seperti dipahat dari pualam oleh seorang maestro-garis rahang yang tegas, hidung yang mancung, dan bibir yang seolah tak pernah tersenyum. Namun, yang paling menawan sekaligus menakutkan adalah matanya. Matanya memancarkan ketajaman analitis seorang ilmuwan dan empati tersembunyi seorang filsuf. Ia adalah seorang pria yang terbiasa menatap langsung ke dalam otak manusia, tempat di mana pikiran, mimpi, dan jiwa bersemayam. Tanpa banyak bicara, ia mengambil alih komando. Gerakannya efisien, setiap langkahnya memiliki tujuan. Ia mengambil senter kecil dari tangan seorang perawat, membuka kelopak mata Bima satu per satu dengan sentuhan yang anehnya terasa lembut. Ia lalu menatap tajam pada layar monitor di dinding yang menampilkan hasil CT scan darurat, matanya menyapu gambar-gambar hitam-putih itu seolah sedang membaca sebuah naskah kuno. Di dalam benaknya, sebuah pemandangan yang mengerikan terbentuk. Ia melihat peta rumit dari otak pemuda itu, sebuah galaksi neuron dan sinapsis yang menakjubkan. Dan di atas peta itu, sebuah noda hitam pekat tampak sedang mekar seperti bunga kematian-hematoma subdural yang masif. Darah itu menekan lobus temporal dengan kejam, menghancurkan jaringan otak yang lembut, memadamkan kenangan dan fungsi satu per satu. Ini bukan lagi sekadar cedera, ini adalah perang di dalam tengkorak, dan ia kalah cepat. "Edema serebral masif," gumamnya, suaranya rendah dan tenang, namun bagi mereka yang terlatih, nada itu mengandung urgensi tertinggi. "Tekanan intrakranialnya pasti sudah melewati batas." Ia mengalihkan pandangannya dari layar ke wajah pucat di atas brankar. Pasiennya masih sangat muda. Mungkin baru saja merayakan ulang tahun kedua puluhnya. Wajah khas Asia Tenggara, wajah yang seharusnya sedang tersenyum di foto liburan atau tertidur di perpustakaan. Bukan di sini. Bukan seperti ini. Hati Seo-jin, yang biasanya terkunci rapat di balik benteng profesionalisme, terasa sedikit teriris. Bertahun-tahun menjadi ahli bedah saraf telah mengajarinya untuk melihat pasien sebagai sebuah teka-teki biologis yang harus dipecahkan. Tapi sesekali, kemanusiaan menerobos masuk tanpa permisi. Ia melihat bukan hanya pasien, tapi sebuah kehidupan-sebuah novel yang terancam tamat di bab-bab pertamanya. "Siapkan ruang operasi tiga. Kita lakukan kraniotomi darurat untuk mengurangi tekanan," perintahnya pada tim, suaranya kembali menjadi instrumen baja yang tajam. Lalu ia menoleh pada perawat senior yang berdiri di sisinya dengan buku catatan di tangan. "Sudah menemukan identitasnya?" "Sudah, Dok. Namanya Bima Aditya Putra, mahasiswa dari Indonesia. Ini ponselnya, kami menemukan kontak darurat di dalamnya." Dr. Lee Seo-jin mengulurkan tangannya. Ia menerima ponsel itu. Benda itu terasa dingin di tangannya yang terbiasa memegang instrumen bedah yang hangat karena sterilisasi. Permukaan layarnya retak seperti jaring laba-laba, sebuah metafora yang menyakitkan untuk tengkorak pemiliknya. Namun, layarnya masih menyala. Latar belakangnya adalah sebuah foto yang begitu penuh kehidupan hingga terasa seperti sebuah penghinaan terhadap kematian yang mengintai di ruangan ini. Foto itu adalah potret kebahagiaan murni. Pasiennya, Bima, sedang tertawa lepas, matanya menyipit, memeluk erat seorang wanita muda yang juga tersenyum sangat cerah. Senyum wanita itu-sebuah supernova sukacita yang memamerkan lesung pipit-seolah bisa menerangi seluruh ruangan yang suram itu. Latar belakangnya adalah terminal keberangkatan bandara. Sebuah foto perpisahan yang optimis, sebuah janji untuk bertemu lagi. Seo-jin menelan ludah. Ia melihat nama kontak darurat yang tersimpan di paling atas daftar panggilan. Bukan nama formal. Bukan "Ibu" atau "Ayah". Hanya tiga kata dan sebuah simbol yang terasa begitu personal dan intim: "Kak Sas ♥️". Simbol hati merah kecil itu. Sebuah ikon digital sederhana yang mewakili dunia yang tak terhingga: panggilan video hingga larut malam, omelan penuh kasih sayang, lelucon internal, dan sebuah ikatan yang tak terpatahkan. Sebuah dunia yang sebentar lagi akan ia hancurkan. "Hubungi walinya," kata Dr. Lee Seo-jin, dan kali ini suaranya terdengar sedikit serak, kehilangan nada bajanya sejenak. Ia menatap wajah perawat dan staf administrasi di dekatnya. "Siapapun 'Kak Sas' ini... dunianya akan segera berakhir. Jelaskan situasinya kritis. Sangat kritis. Jangan berikan harapan palsu, tapi sampaikan dengan hati-hati. Minta mereka datang sesegera mungkin." Ia mengembalikan ponsel itu seolah benda itu membakar tangannya. Ia berbalik, dan dalam sekejap, transformasinya selesai. Pria yang barusan merasakan sejumput empati telah lenyap. Yang tersisa hanyalah Dr. Lee, sang ahli bedah. Pikirannya sudah berada di ruang operasi, membayangkan setiap pembuluh darah, setiap jaringan, setiap milimeter tulang yang harus ia bor. Langkahnya cepat dan mantap, meninggalkan jejak kekacauan di belakangnya untuk ia selesaikan di atas meja operasi. Di belakangnya, seorang staf administrasi memegang ponsel itu. Ia menatap nama "Kak Sas ♥️" dengan ragu dan penuh simpati. Ia menarik napas dalam-dalam, mempersiapkan diri untuk menjadi pembawa berita paling buruk, lalu menekan nomor internasional yang tertera di bawahnya. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
185.8K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
26.9K
bc

TERNODA

read
197.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
232.4K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.3K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
22.5K
bc

My Secret Little Wife

read
131.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook