Ratu Lantai 43

1246 Words
Panggilan pertama tersambung, berdering dengan nada tunggu internasional yang panjang dan sepi. Di sebuah bilik kantor yang steril di Pusat Medis Asan, Seoul, seorang wanita bernama Choi Min-ah menahan napasnya. Jari-jarinya mengetuk pelan permukaan mejanya yang dingin. Sebagai staf administrasi di bagian hubungan internasional, menelepon keluarga pasien di luar negeri adalah bagian dari pekerjaannya. Namun, itu tidak pernah menjadi lebih mudah. Setiap panggilan adalah sebuah lemparan dadu dengan takdir, sebuah pesan yang ia kirimkan ke seberang lautan yang ia tahu akan menciptakan riak kehancuran. Panggilan ini tidak diangkat. Min-ah menghela napas, menatap catatan dari tim medis: Kondisi Kritis. Trauma Kepala Berat. Ia menunggu tepat satu menit, sesuai protokol, lalu menekan tombol panggil sekali lagi. Di Jakarta, di sebuah dunia yang sama sekali berbeda, panggilan itu akan tiba sebagai gangguan kecil yang tak berarti. Di Jakarta, di puncak sebuah menara kaca yang menusuk langit kelabu, Saskia Kirana Putri sedang menyihir ruang rapat yang dingin menjadi panggung teaternya. Udara di lantai empat puluh dua itu terasa tipis dan mahal, dipenuhi aroma kopi dan ambisi. Di luar jendela, gedung-gedung pencakar langit lainnya berdiri seperti barisan raksasa yang bisu, menjadi saksi pertarungan yang sedang terjadi di dalam. “…dan inilah yang membedakan kita. Kompetitor menjual kopi. Kita, Bapak-bapak, kita akan menjual sebuah pengalaman. Sebuah cerita dalam setiap cangkir,” ucap Saskia, matanya berbinar penuh semangat. Ia membentangkan sebuah gulungan kain batik Gayo dengan motif awan di atas meja mahoni, warnanya yang hangat seolah menyuntikkan kehidupan ke dalam ruangan yang didominasi warna abu-abu dan perak. Pak Tirtayasa, sang pemilik perusahaan yang usianya sudah melewati enam puluh, tampak terpesona. Matanya yang biasanya tajam dan penuh perhitungan, kini melunak, seolah terbawa ke dalam dongeng yang ditenun Saskia. Namun, tidak semua orang di ruangan itu terbuai. “Permisi, Bu Saskia.” Sebuah suara yang datar dan tajam memotong alur narasi Saskia. Sumbernya adalah Budi, direktur keuangan perusahaan itu—seorang pria berusia empat puluhan dengan kacamata tanpa bingkai dan ekspresi yang seolah diciptakan untuk menganalisis spreadsheet. “Itu semua ide yang sangat puitis. Tapi di mana datanya? Apa proyeksi ROI-nya? Bagaimana kita bisa mengukur ‘nostalgia’ dalam KPI kuartal berikutnya?” Ketegangan langsung terasa di ruangan itu. Rina, sahabat sekaligus mitra bisnis Saskia, sedikit menegang di kursinya. Inilah dia, sang naga yang harus mereka taklukkan. Saskia tidak gentar. Ia malah tersenyum, senyum "cegil"-nya yang khas—campuran antara percaya diri dan sedikit kenakatan. “Pertanyaan yang sangat bagus, Pak Budi. Izinkan saya menjawabnya dengan sebuah pertanyaan lain.” Ia berjalan ke arah jendela kaca, menatap hamparan kota di bawahnya. “Bapak tahu kenapa merek-merek mewah bisa menjual tas seharga mobil? Atau jam tangan seharga apartemen? Bukan karena kualitas kulit atau kerumitan mesinnya saja. Tapi karena cerita di baliknya. Karena status. Karena perasaan yang didapatkan si pemilik.” Ia berbalik, matanya kini menatap lurus ke arah Budi. “Perasaan itu tidak bisa diukur dengan KPI, Pak. Tapi dampaknya bisa. Dampaknya adalah loyalitas merek yang absolut. Dampaknya adalah word-of-mouth marketing yang tidak bisa dibeli dengan uang. Angka-angka yang Bapak cari—ROI, profit margin—itu semua adalah akibat, bukan sebab. Sebabnya adalah cerita yang kita bangun hari ini.” Pak Budi tampak ingin menyela, namun Pak Tirtayasa mengangkat tangannya, sebuah isyarat untuk membiarkan Saskia melanjutkan. Angin kemenangan mulai berpihak pada Saskia. Ia bisa merasakannya. Dengan semangat yang kembali menyala, ia meraih propertinya yang lain. “Konsep utama kampanye digital kita saya sebut: ‘Secangkir Cerita dari Rumah’. Kita tidak akan menggunakan influencer glamor. Kita akan…” Bzzz… Bzzz… Getaran pelan namun insistens terasa dari sudut meja. Ponsel Saskia, yang ia letakkan dengan layar menghadap ke bawah, bergetar. Ia meliriknya sekilas. Sebuah nomor internasional dari Korea Selatan. Korea? Siapa yang aku kenal di Korea selain Bima? Ah, paling juga telemarketer asuransi, batinnya kesal. Gangguan ini datang di saat yang paling tidak tepat. Ia mengabaikannya, menarik napas, dan kembali memasang senyum profesionalnya, melanjutkan penjelasannya dengan energi yang lebih besar untuk menutupi gangguan kecil itu. “…kita akan berkolaborasi dengan para penulis dan penyair mikro di media sosial. Mereka akan membuat karya berdasarkan kiriman cerita ‘secangkir kopi pertama’ dari para pengikut kita. Kita ciptakan user-generated content yang otentik dan menyentuh.” Ia berhasil merebut kembali perhatian seluruh ruangan. Bahkan Pak Budi kini tampak menyimak, walau dengan dahi masih berkerut. Saskia tahu ia berada di puncak permainannya. Ia adalah seorang konduktor, dan para klien ini adalah orkestra yang patuh pada tongkatnya. Bzzz… Bzzz… BZZZZ… Ponselnya bergetar lagi. Kali ini lebih panjang dan lebih keras, seolah berteriak minta perhatian. Semua orang di meja itu pasti bisa merasakannya. Rina meliriknya dari ujung meja dengan tatapan cemas. Saskia merasakan pipinya mulai memanas karena malu dan jengkel. Sambil terus menjelaskan tentang algoritma media sosial dan engagement rate, tangannya secara tak kentara meraih ponsel itu di bawah meja dan menekan tombol senyap dengan sedikit kasar. Gangguan itu berhenti. Sekarang, tidak ada apa pun yang bisa menghalanginya. Ia mengakhiri presentasinya dengan sebuah kalimat penutup yang kuat, merangkum semua visi dan strateginya menjadi sebuah janji yang tak terbantahkan. Keheningan yang mengikuti terasa berbeda dari sebelumnya. Ini bukan keheningan karena kebingungan, tapi keheningan karena kekaguman. Pak Tirtayasa berdiri. Ia tidak hanya mengulurkan tangan, tapi ia bertepuk tangan. Pelan pada awalnya, lalu semakin mantap. Satu per satu direktur lainnya ikut berdiri dan memberikan aplaus. Bahkan Pak Budi, sang naga, ikut bertepuk tangan dengan senyum tipis yang terpaksa namun tulus. “Luar biasa, Bu Saskia,” kata Pak Tirtayasa, suaranya tulus. “Visi Anda adalah apa yang perusahaan ini butuhkan. Kita sepakat. Proyek ini milik Anda.” Dua puluh menit kemudian, Saskia dan Rina melompat-lompat kecil di dalam lift kaca yang meluncur turun. “KITA BERHASIL!” jerit Saskia tertahan, memeluk Rina dengan erat hingga sahabatnya itu terbatuk-batuk. “Gila, Sas! Muka Pak Budi tadi priceless banget! Kayak abis nelen obat pait!” tawa Rina terbahak-bahak. “Tapi presentasi lo tadi… itu level dewa. Gue merinding dengernya.” “Sudah kubilang, kan? Hati, bukan angka!” balas Saskia sambil mengibaskan rambutnya dengan gaya seorang diva. Mereka keluar dari lift, berjalan melintasi lobi marmer yang megah dengan langkah seorang penakluk. Saskia merasa seperti ratu dunia. Ia sudah membayangkan apa yang akan ia lakukan dengan bonus proyek ini. Mungkin ia bisa mulai mencari ruko kecil untuk galeri seninya. Mungkin ia bisa mengirimkan Bima uang saku tambahan yang lebih besar bulan depan agar adiknya itu bisa jalan-jalan di akhir pekan. Saat itulah ponselnya di dalam tas bergetar lagi. Kali ini getarannya terasa berbeda, lebih panjang. Dengan santai, ia merogoh tasnya. Nomor Korea yang sama. “Ini orang nekat banget, sih,” gumamnya pada Rina sambil menunjukkan layar ponselnya. “Dari tadi nelponin mulu. Mau nawarin K-Pop merch kali, ya?” Rina tertawa. “Angkat aja. Isengin sekalian.” Dengan senyum jahil di wajahnya, masih dalam euforia kemenangan, Saskia menggeser tombol hijau dan menempelkan ponsel ke telinganya. “Halo, selamat siang,” sapanya dengan nada yang dibuat-buat ceria. “Maaf, saya tidak tertarik untuk menambah kartu kredit atau pinjaman online saat ini, terima kasih.” Keheningan sejenak di seberang sana. Lalu, suara seorang wanita terdengar, formal dan hati-hati, berbicara dalam bahasa Inggris dengan aksen Korea. “Apakah saya berbicara dengan Nona Saskia Kirana Putri, wali dari Tuan Bima Aditya Putra?” Senyum di wajah Saskia langsung membeku. Jantungnya yang tadinya berdebar karena kemenangan, kini berdebar karena alasan yang sama sekali berbeda. Suara tawa dan hiruk pikuk lobi di sekelilingnya seolah meredam menjadi dengungan jauh. “Ya… saya sendiri,” jawabnya, suaranya tiba-tiba terasa serak. “Ada apa dengan adik saya?” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD