Kang Woo-sung berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Tuan Tanaka dengan janji samar untuk bermain golf bersama di Jeju, sebuah janji yang mungkin akan ia delegasikan pada salah satu manajernya. Ia kembali memindai ruangan, mencari sosok anggun berhijab dusty rose itu, namun galeri yang tadinya terasa seperti papan catur kini terasa seperti lautan tak bertepi. Salma telah lenyap, ditelan oleh arus tamu dan kesibukan.
Untuk sesaat, Woo-sung merasakan dorongan untuk menyerah. Misinya malam ini sudah selesai. Ia sudah melihat apa yang perlu ia lihat, menilai apa yang perlu ia nilai. Daehan Group bisa dengan mudah mengirim tim untuk menghubungi penyelenggara acara ini besok. Namun, sejumput kekecewaan aneh yang ia rasakan sebelumnya kini telah bermetamorfosis menjadi sesuatu yang lebih keras kepala: rasa penasaran yang menggelitik.
Ia meraih segelas air putih dari nampan yang lewat, menolak sampanye. Ia butuh pikiran yang jernih. Di dunianya yang penuh dengan wanita-wanita yang didesain untuk menyenangkan-para pewaris yang dilatih dalam seni percakapan ringan, para sosialita yang fasih dalam bahasa sanjungan-Salma Anindita adalah sebuah anomali. Ia tidak berusaha menyenangkan siapa pun. Ia bekerja. Ia memegang kendali atas kekacauan yang terorganisir ini dengan ketenangan seorang jenderal. Bahkan sentuhan singkat jemari mereka sebulan yang lalu di Seoul, sebuah insiden kecil yang seharusnya terlupakan, kini terasa berbeda dalam ingatannya. Ada semacam energi, sebuah kejutan statis yang tak terduga.
"Misi diperpanjang," gumamnya pada diri sendiri dengan senyum tipis. Permainan catur malam ini memiliki bidak baru yang menarik, dan ia tidak akan pulang sebelum memahami gerakannya.
Ia mulai bergerak dengan tujuan baru, bukan lagi sebagai pengamat pasif, tetapi sebagai pencari aktif. Ia menyusuri tepi ruangan utama, matanya dengan tajam memindai setiap wajah, setiap kelompok kecil. Ia harus melewati beberapa ranjau darat sosial. Tiga orang wanita muda, putri-putri dari mitra bisnis ayahnya, melihatnya dan langsung mendekat dengan senyum yang terlalu bersemangat.
"Woo-sung-ssi! Kami tidak tahu kau ada di Jakarta!" sapa salah satunya, matanya berbinar.
"Sebuah perjalanan bisnis singkat," jawab Woo-sung dengan pesonanya yang otomatis. Ia membiarkan mereka mengoceh selama beberapa menit tentang butik-butik baru di Gangnam dan musim liburan mendatang, sambil terus mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Ia melihat Han Chae-rin, kini berdiri sendirian di dekat sebuah lukisan abstrak besar, tampak sedikit tersesat. Di mana Jin-hyuk? Aneh sekali sahabatnya itu meninggalkan calon 'pasangannya' sendirian. Mungkin Sang Pangeran Es sudah mencapai batas toleransinya dan melarikan diri. Woo-sung tidak menyalahkannya.
Ia berhasil melepaskan diri dari ketiga wanita itu dengan alasan harus menyapa seorang kolega lama. Pencariannya berlanjut. Ia bergerak menuju area panggung utama, tempat di mana beberapa pidato singkat akan disampaikan nanti. Logikanya berkata, komandan acara pasti akan berada di dekat pusat kendali.
Benar saja. Dari kejauhan, ia melihatnya. Salma sedang berdiri di dekat panel kontrol audio-visual, dikelilingi oleh tim teknis. Ia tidak lagi mengenakan blazernya; kini ia hanya mengenakan kemeja sutra di bawahnya, lengannya sedikit digulung, memperlihatkan gerakannya yang efisien. Ia menunjuk ke layar, memberikan instruksi dengan suara pelan namun tegas yang entah bagaimana bisa menembus kebisingan. Ia adalah pusat dari alam semestanya sendiri, dan semua orang di sekitarnya berputar mengikutinya. Kekaguman Woo-sung tumbuh. Ini bukan sekadar pekerjaan bagi wanita itu; ini adalah sebuah pertunjukan orkestra, dan ia adalah sang konduktor.
Woo-sung menunggu, bersandar di pilar, mengamati. Ia tidak mau mendekat dan terlihat seperti tamu VVIP manja yang mengganggu staf yang sedang bekerja. Ia harus menunggu momen yang tepat. Kesempatan itu datang ketika tim teknis tampaknya sudah menerima semua instruksi mereka dan bubar ke posisi masing-masing. Salma kini berdiri sendirian sejenak, menatap panggung dengan ekspresi terkonsentrasi.
Inilah saatnya. Woo-sung meluruskan dasinya dan mulai berjalan ke arahnya. Ia sudah menyiapkan kalimat pembuka yang baru, yang lebih baik.
Tiba-tiba, seorang pria berjas berlari kecil menghampiri Salma, wajahnya panik. "Salma-ssi, ada masalah. Proyektor untuk presentasi video utama berkedip. Dan Tuan Duta Besar meminta daftar lengkap semua seniman yang karyanya dipajang, dicetak, sekarang juga."
Woo-sung berhenti. Ia melihat ekspresi lelah di wajah Salma yang tadinya terkonsentrasi kini menegang. Tapi itu hanya berlangsung sedetik. Detik berikutnya, ia kembali tenang. "Bawa aku ke ruang kontrol. Dan kau," katanya pada staf lain, "hubungi tim kurator, minta mereka kirimkan daftar mentahnya ke tabletku dalam dua menit. Aku akan mengedit dan mengirimkannya ke printer dari sana. Bergerak."
Ia berbalik dan berjalan cepat, kembali menjadi angin puyuh efisiensi. Momen itu hilang lagi. Woo-sung menghela napas, setengah geli, setengah frustrasi. Mendekati wanita ini ternyata lebih sulit daripada menegosiasikan kesepakatan hotel bernilai jutaan dolar.
Ia sadar pendekatan langsung tidak akan berhasil. Ia sedang mencoba masuk ke benteng pertahanan saat benteng itu sedang dalam kondisi siaga tertinggi. Ia butuh strategi baru. Ia bukan seorang prajurit infanteri; ia adalah seorang pemain catur. Ia tidak perlu mendobrak gerbang jika ia bisa membuat sang ratu keluar untuk menemuinya.
Sebuah ide mulai terbentuk di benaknya. Sebuah ide yang elegan, profesional, dan hampir mustahil untuk ditolak.
Ia mengubah arah, berjalan dengan tenang menuju meja resepsionis utama yang terletak di dekat pintu masuk. Ia mendekati seorang wanita paruh baya yang tampaknya adalah manajer galeri.
"Selamat malam," sapa Woo-sung dengan senyumnya yang paling menawan. "Saya harus mengatakan, ini adalah salah satu acara privat yang paling terorganisir dengan baik yang pernah saya hadiri di Jakarta. Sungguh luar biasa."
Wanita itu, yang tadinya tampak lelah, langsung berseri-seri. "Terima kasih banyak, Tuan...?"
"Kang Woo-sung dari Daehan Group," katanya sambil menyerahkan kartu namanya.
Mata wanita itu melebar saat membaca nama dan jabatan di kartu itu. "Presiden Kang! Suatu kehormatan besar. Kami sangat senang Anda menikmati acara ini."
"Sangat," tegas Woo-sung. "Faktanya, saya begitu terkesan sehingga saya ingin menjajaki kemungkinan kerja sama. Divisi VVIP kami di Hotel The Shilla sedang mencari mitra galeri eksklusif di Jakarta. Dan terus terang, level eksekusi yang saya lihat malam ini adalah standar yang kami cari."
Ini adalah umpan yang sempurna. Wajah manajer galeri itu kini menunjukkan ekspresi kegembiraan yang tak terkendali. Ini bukan sekadar pujian; ini adalah peluang bisnis raksasa.
"Oleh karena itu," lanjut Woo-sung, "saya sangat ingin berbicara langsung dengan orang yang bertanggung jawab atas kesuksesan malam ini. Sang event director. Saya ingin mengucapkan selamat secara pribadi dan mungkin menjadwalkan pertemuan awal. Apakah mungkin untuk mengatur pertemuan singkat dengannya setelah program utama selesai?"
Manajer galeri itu mengangguk dengan antusias. "Tentu saja, Tuan Kang! Tentu saja! Direktur kami adalah Nona Salma Anindita. Saya akan segera menyampaikan pesan Anda. Ia pasti akan sangat senang."
"Terima kasih," kata Woo-sung, merasa puas. Ia telah menempatkan bidak caturnya. Sekarang, ia hanya perlu menunggu.
Ia menemukan sebuah sofa beludru di sudut yang lebih tenang, dekat pintu kaca besar yang mengarah ke taman. Dari sana, ia bisa mengamati seluruh ruangan. Ia melihat pidato-pidato singkat dimulai. Ia melihat para tamu bertepuk tangan. Waktu terasa berjalan lambat.
Saat itulah ia melihat sesuatu yang aneh. Pintu taman yang tadinya tertutup, kini sedikit terbuka. Dan dari celah itu, ia melihat sahabatnya, Kwon Jin-hyuk, melangkah masuk kembali ke dalam galeri. Ekspresi wajah Jin-hyuk bukanlah ekspresi bosan atau lega. Wajahnya gelap, tegang, dan matanya menyala dengan intensitas yang sudah lama tidak Woo-sung lihat. Sesuatu telah terjadi di luar sana. Sesuatu yang mengusik ketenangan Sang Pangeran Es. Sebelum Woo-sung sempat memikirkannya lebih jauh, Jin-hyuk sudah berbaur kembali dengan kerumunan dan menghilang.
Beberapa menit kemudian, manajer galeri yang tadi ia ajak bicara menghampirinya. "Tuan Kang, Nona Salma akan segera menemui Anda. Ia hanya perlu memastikan para tamu VVIP sudah mendapatkan mobil mereka."
Woo-sung berdiri, merapikan jasnya. Jantungnya berdebar sedikit, sebuah sensasi yang geli ia akui. Akhirnya, setelah hampir satu jam bermanuver, sang ratu akan datang ke papannya.
Ia melihat Salma berjalan ke arahnya dari seberang ruangan. Dari dekat, ia bisa melihat jejak kelelahan di sekitar matanya, namun posturnya tetap sempurna. Ia berhenti di hadapan Woo-sung, memberikan sedikit anggukan hormat.
"Tuan Kang Woo-sung," sapanya, suaranya tenang dan profesional, meski terdengar sedikit serak. "Saya Salma Anindita. Ibu Rina mengatakan Anda ingin berbicara dengan saya?"
Woo-sung tersenyum lebar, senyum tulus pertamanya malam itu. "Nona Salma," balasnya. "Dunia ini kecil, bukan? Sepertinya acara di Seoul bulan lalu memberikan inspirasi yang bagus. Saya sangat terkesan, dan saya rasa kita punya banyak hal untuk dibicarakan."
***