Pertemuan Mata

1326 Words
Kwon Jin-hyuk membenci udara di ruangan ini. Terlalu banyak oksigen yang terbuang untuk basa-basi. Ia berdiri di samping Tuan Han, pimpinan Grup Hansol, dengan segelas sampanye di tangan yang terasa seperti properti panggung. Di sisinya, Han Chae-rin, putri Tuan Han, tersenyum dengan keanggunan yang terlatih. Ia cantik, cerdas, dan berasal dari keluarga yang tepat. Di atas kertas, ia adalah pasangan yang sempurna. Bagi Jin-hyuk, ia adalah representasi dari jeruji penjara berlapis emas yang disiapkan keluarganya. “Visimu untuk ekspansi pasar K-Beverages di Asia Tenggara sangat brilian, Jin-hyuk-ssi,” puji Tuan Han, suaranya mengandung nada persetujuan yang jelas. “Putriku, Chae-rin, baru saja menyelesaikan studinya di bidang manajemen merek. Mungkin kalian berdua bisa bertukar pikiran nanti.” Sebuah jebakan yang halus. Jin-hyuk tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya. “Tentu, Tuan Han. Saya selalu terbuka untuk ide-ide baru.” Ia melirik Chae-rin, yang pipinya sedikit merona. Gadis itu menatapnya dengan kekaguman yang naif, seolah melihat pangeran dari dongeng, bukan serigala yang sedang menghitung hari sebelum kehilangan kerajaannya. Perhatiannya terpecah. Di balik punggung Tuan Han, ia melihat sahabatnya, Kang Woo-sung, sedang menyeringai dari seberang ruangan. Jin-hyuk memberikan anggukan kepala yang nyaris tak terlihat. Ia tahu persis apa yang dipikirkan Woo-sung. Hiburan sirkus chaebol tahunan. Jin-hyuk merasa muak. Ia butuh udara, atau setidaknya ilusi dari ruang gerak. “Permisi,” ucapnya dengan sopan. “Saya ingin melihat-lihat karya seni yang dipamerkan lebih dekat.” Tuan Han mengangguk maklum, sementara Chae-rin tampak sedikit kecewa. Jin-hyuk melangkah pergi, mengabaikan tatapan mata yang mengikutinya. Ia tidak peduli pada patung atau lukisan. Matanya yang tajam secara otomatis memindai aspek lain: efisiensi. Ia memperhatikan bagaimana para staf bergerak dengan presisi yang senyap, bagaimana setiap gelas kosong segera diangkat, bagaimana setiap kebutuhan tamu seolah sudah diantisipasi. Sempurna. Terlalu sempurna. Efisiensi seperti ini membutuhkan seorang komandan lapangan yang brilian dan obsesif. Saat ia berjalan melewati sebuah pos staf yang tersembunyi di dekat koridor servis, ia menangkap sebuah suara dari walkie-talkie yang dipegang salah satu penjaga. Suara seorang wanita, memberikan instruksi dalam bahasa Inggris dengan aksen Indonesia yang khas. "Tim pencahayaan di sektor C, turunkan intensitas tiga persen. Terlalu silau. Tim katering, pastikan canapé di area VIP diisi ulang dalam lima menit. Bergerak." Suara itu tajam, penuh kendali, dan sangat familier. Suara yang dulu sering ia dengar saat wanita itu sedang berdebat sengit tentang sebuah konsep iklan atau saat berbisik di telinganya di tengah malam. Jin-hyuk berhenti. Jantungnya, organ yang biasanya hanya berfungsi sebagai pemompa darah yang efisien, berdetak sedikit lebih cepat. Ia menoleh ke arah sumber suara—pusat komando tak terlihat dari acara ini. Dan saat itulah ia melihatnya. Bukan wajahnya, tapi kilasan warna yang mencolok di tengah lautan setelan hitam dan gaun malam berwarna aman. Sebuah gaun hijau zamrud yang memeluk lekuk tubuh dengan sempurna, memperlihatkan punggung dan bahu yang jenjang. Warna itu. Warna yang pernah dipakai Saskia saat mereka merayakan hari jadi pertama mereka di sebuah restoran di Namsan, mengatakan bahwa warna itu mengingatkannya pada hutan hujan di negaranya. Wanita itu sedang membelakanginya, berbicara dengan beberapa staf. Posturnya yang tegak, cara ia menunjuk sebuah denah di tablet, energi berwibawa yang memancar darinya—semuanya adalah gema dari masa lalu. Tidak mungkin, batinnya. Akal logisnya menjerit menolak kemungkinan itu. Saskia Kirana Putri adalah seorang direktur kreatif papan atas. Ia tidak mungkin berada di sini, bekerja di belakang layar seperti ini. Ini pasti hanya kelelahan, atau angan-angan gila yang dipicu oleh suara yang mirip. Seolah merasakan tatapannya, wanita itu menoleh sedikit. Selama sepersekian detik, di antara kerumunan, profil wajahnya terlihat. Garis rahangnya yang tegas, hidungnya yang mancung, dan bibir yang kini terpoles lipstik merah tua. Jin-hyuk melihat kepanikan murni melintas di wajah wanita itu saat menyadari siapa yang sedang menatapnya, sebelum ia berbalik dengan cepat dan menghilang di balik kerumunan. Itu dia. Saskia. Dunia di sekitar Jin-hyuk seakan menjadi sunyi. Suara denting gelas dan tawa palsu memudar menjadi kebisingan latar. Tuan Han, Chae-rin, wasiat kakeknya—semua lenyap. Yang tersisa hanyalah insting predator yang baru saja melihat mangsanya. Kenapa ia berlari? Kenapa ia bersembunyi? Permainan dimulai. Jin-hyuk mulai bergerak, langkahnya tenang dan terukur, kontras dengan badai yang berkecamuk di dalam dirinya. Ia harus melintasi lautan manusia yang seolah berkonspirasi untuk menghalanginya. “Jin-hyuk-ssi, perkenalkan, ini Tuan Kim dari Lotte…” Seseorang mencoba menghentikannya. Jin-hyuk menjabat tangan itu dengan erat, tersenyum dingin, dan melepaskannya sebelum Tuan Kim sempat menyelesaikan kalimatnya. Matanya terus mencari kilasan gaun hijau zamrud itu. Saskia lincah. Ia menyelinap di antara kelompok tamu, menggunakan patung sebagai tameng, dan berpura-pura sibuk memberikan arahan. Ia tahu setiap sudut galeri ini; ini adalah wilayahnya. Tapi Jin-hyuk tahu cara berburu. Ia melihat Saskia berbelok ke sebuah koridor yang lebih sepi, menuju area pameran privat. Jin-hyuk mengambil rute yang berbeda, memotong melalui kerumunan di dekat panggung utama, mengabaikan panggilan namanya dari beberapa orang. Ia tahu tata letak galeri ini, ia sudah mempelajarinya sebelum datang. Koridor itu memiliki satu pintu keluar lain, menuju taman belakang. Ia mempercepat langkahnya, jantungnya berdebar bukan karena lelah, tapi karena adrenalin. Lima tahun. Lima tahun ia membangun benteng es di sekeliling hatinya setelah Saskia pergi. Dan kini, wanita itu ada di sini, hanya beberapa meter darinya, dan ia lari seolah Jin-hyuk adalah iblis itu sendiri. Mungkin memang benar. Ia tiba di pintu taman beberapa detik sebelum Saskia. Alih-alih keluar, ia menunggu di balik sebuah pilar marmer besar, tersembunyi dalam bayang-bayang. Ia mendengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa di lantai marmer. Pintu di depannya terbuka. Saskia melangkah keluar ke udara malam yang sejuk, punggungnya menghadap Jin-hyuk. Ia bersandar di pagar pembatas, gaun hijaunya berkilauan samar di bawah cahaya bulan. Ia menarik napas dalam-dalam seolah baru saja lolos dari kejaran maut. Ia mengira dirinya aman. Ia salah. “Berlari tidak akan mengubah apa pun, Saskia.” Suara Jin-hyuk rendah, dingin, dan membelah keheningan malam. Saskia membeku. Seluruh tubuhnya menegang. Perlahan, sangat perlahan, ia berbalik. Wajahnya pucat, kontras dengan lipstik merahnya. Kepanikan di matanya kini bercampur dengan sesuatu yang lain: amarah dan kelelahan. “Kwon Jin-hyuk,” desisnya, namanya terdengar seperti kutukan. Jin-hyuk melangkah keluar dari bayang-bayang. Ia berdiri di hadapannya, menjulang tinggi dan mengintimidasi. Ia mengamatinya dari ujung kepala sampai ujung kaki—gaun yang berani, riasan yang sempurna, dan mata yang menyimpan badai. Wanita yang sama, namun berbeda. Lebih dewasa, lebih tangguh. “Kudengar penyelenggara acara ini sangat kompeten,” lanjut Jin-hyuk, nadanya sinis. “Tapi aku tidak tahu kalau seorang Direktur Kreatif ternama seperti Saskia Kirana Putri kini merendahkan diri menjadi manajer acara. Pukulan finansial yang berat, tampaknya?” Rahang Saskia mengeras. “Itu bukan urusanmu.” “Semua yang menyangkut dirimu menjadi urusanku saat kau berada di kota yang sama denganku,” balas Jin-hyuk, mengambil satu langkah lebih dekat. Jarak mereka kini hanya satu lengan. Ia bisa mencium aroma parfumnya, campuran melati dan sesuatu yang tajam, aroma yang menghantuinya dalam mimpi selama berbulan-bulan setelah Saskia pergi. Ia menatap bahunya yang terbuka, kulitnya tampak pucat di bawah cahaya remang. “Aku hanya bekerja di sini. Aku tidak tahu kau akan datang,” kata Saskia, suaranya bergetar sedikit meski ia berusaha keras untuk menyembunyikannya. “Sebuah kebohongan yang sangat buruk,” cibir Jin-hyuk. “Kau tahu persis siapa tamu kehormatannya. Daftar itu pasti melewati mejamu. Kau merencanakan semua ini dengan sempurna agar kita tidak bertemu, tapi kau meremehkanku. Kau selalu begitu.” Ia mengulurkan tangannya, bukan untuk menyentuhnya, tapi untuk menunjuk ke arah galeri yang berkilauan di belakang mereka. “Pertunjukan yang bagus di dalam sana. Sangat mengesankan. Tapi pertunjukan terbaik malam ini adalah saat kau mencoba menghilang di depan mataku. Katakan padaku, Saskia. Apa yang begitu menakutkan dari bertemu denganku lagi?” Saskia tidak menjawab. Ia hanya menatapnya, matanya berkilat menantang. Di sanalah Jin-hyuk melihatnya—percikan api yang dulu membuatnya jatuh cinta, dan juga percikan yang sama yang telah membakar dunia mereka hingga rata dengan tanah. Benteng es di sekeliling hatinya mulai retak, dan di baliknya, sesuatu yang jauh lebih panas dan lebih berbahaya mulai merembes keluar. Ia telah berhasil menangkap hantunya. Sekarang, pertanyaannya adalah, apa yang akan ia lakukan padanya? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD