Beberapa menit setelah mobil Kwon Jin-hyuk yang elegan meluncur pergi dari lobi utama galeri, sebuah sedan Mercedes-Maybach lain berhenti di titik yang sama. Pintu mobil terbuka, dan yang melangkah keluar adalah Kang Woo-sung. Berbeda dengan Jin-hyuk yang disambut oleh kilatan kamera pers, kedatangan Woo-sung lebih tenang, lebih terselubung. Ia tidak di sini sebagai tamu kehormatan utama; ia di sini sebagai pengamat, seorang pemain catur yang sedang mempelajari papan permainan.
Ia berjalan memasuki galeri dengan senyum santai di wajahnya, menyapa beberapa wajah yang ia kenali dengan anggukan kepala yang sopan. Baginya, acara seperti ini adalah habitat alaminya sekaligus penjara yang paling membosankan. Udara di dalam terasa pekat dengan campuran parfum mahal, ambisi yang tak terucapkan, dan senyum palsu. Ia bisa melihat Jin-hyuk dari kejauhan, sudah dikelilingi oleh para petinggi Grup Hansol, termasuk Han Chae-rin yang anggun.
“Di sana dia, Sang Pangeran Es sedang dipamerkan,” batin Woo-sung geli. “Semoga gadis itu beruntung.”
Ia tidak punya niat untuk mengganggu sahabatnya. Misinya malam ini berbeda. Daehan Group, perusahaan perhotelan milik keluarganya, sedang mencari galeri seni di Jakarta untuk dijadikan mitra eksklusif program VVIP mereka. Malam ini adalah kesempatan untuk menilai segalanya: kualitas karya seni yang dipamerkan, kaliber tamu yang datang, dan yang terpenting, kompetensi manajemen acara.
Sambil memegang segelas sampanye yang hampir tidak ia sentuh, Woo-sung mulai berkeliling. Matanya yang terlatih memindai ruangan, bukan untuk menikmati seni, tapi untuk menganalisis. Ia mengamati bagaimana alur tamu diatur, bagaimana para pramusaji bergerak, bagaimana pencahayaan menyorot patung-patung perunggu di sudut ruangan. Semuanya berjalan mulus, nyaris sempurna. Mengesankan.
Dan saat itulah ia melihatnya.
Di tengah kerumunan, berdiri seorang wanita yang tampak seperti pusat ketenangan di tengah badai. Ia mengenakan hijab berwarna dusty rose, dipadukan dengan sebuah blazer putih yang dipotong sempurna. Ia tidak sedang bercengkerama atau tertawa seperti tamu lainnya. Ia sedang bekerja, berbicara dengan sopan namun tegas kepada seorang tamu pria paruh baya yang tampak sedikit mabuk dan banyak menuntut. Wanita itu menangani situasi dengan keanggunan dan senyum sabar yang tidak goyah sedikit pun.
Woo-sung berhenti. Ada sesuatu yang familier pada wanita itu. Posturnya yang percaya diri, caranya membawa diri, dan tentu saja, penampilannya yang menurutnya cukup menarik dan menonjol dengan cara yang elegan. Di mana ia pernah melihatnya?
Lalu ia ingat.
Satu bulan yang lalu. Seoul.
Lobi utama The Shilla Hotel, milik grupnya, berkilauan di bawah cahaya lampu kristal. Malam itu, Daehan Group menjadi tuan rumah acara serupa: sebuah lelang seni untuk amal. Woo-sung, sebagai pewaris, tentu saja hadir sebagai tuan rumah.
Ia ingat saat ia sedang memberikan tur singkat kepada beberapa mitra bisnis dari Indonesia yang diundang oleh ayahnya. Salah satunya adalah delegasi dari Grup Hansol yang datang untuk “belajar” dan menjajaki kerja sama. Di antara rombongan pria-pria paruh baya yang hanya mengangguk-angguk sopan, ada satu wanita muda yang berbeda.
Wanita itu tidak banyak bicara, tapi ia terus-menerus mengamati dan mencatat di sebuah buku catatan kecil. Saat yang lain sibuk mengambil foto dengan karya seni, ia justru mengamati alur kerja para staf. Woo-sung, yang merasa sedikit penasaran, menghampirinya.
“Menarik sekali melihat acara ini dari sudut pandang teknis, bukan?” sapanya saat itu dengan bahasa Inggris yang fasih.
Wanita itu sedikit terkejut, namun ia tersenyum sopan. “Sangat menarik, Tuan Kang. Eksekusi acara Anda tanpa cela. Saya belajar banyak.”
Ia ingat saat wanita itu tidak sengaja menjatuhkan pulpennya. Mereka berdua sama-sama membungkuk untuk mengambilnya, dan ujung jari mereka sempat bersentuhan sekilas. Sebuah momen kecil yang tidak berarti, namun Woo-sung ingat ia sempat terkesan oleh tatapan mata wanita itu—tajam, cerdas, dan penuh rasa ingin tahu. Saat itu, ia sempat membaca nama di kartu pengenalnya: Salma Anindita, Manajer Proyek Junior.
Ingatan itu membuat Woo-sung tersenyum. Jadi, gadis yang bulan lalu masih menjadi “murid” yang mengamati, kini menjadi salah satu orang yang bertanggung jawab atas acara sebesar ini. Sebuah lompatan karier yang impresif. Rasa penasaran yang dulu hanya sekilas, kini tumbuh menjadi kekaguman.
Ia melihat Salma akhirnya berhasil menenangkan tamu yang sulit itu dan mengarahkannya dengan sopan ke area bar. Kini Salma berdiri sendirian sejenak, memijat pelipisnya dengan ekspresi lelah sebelum kembali memasang senyum profesionalnya.
Inilah kesempatannya.
Dengan senyum menawan yang sudah ia siapkan, Woo-sung mulai berjalan melintasi kerumunan, menuju ke arah Salma. Ia sudah menyusun kalimat pembukanya di kepala. Sesuatu yang kasual namun mengesankan. “Dunia ini kecil, bukan, Nona Salma? Sepertinya acara di Seoul kemarin memberikan inspirasi yang bagus.”
Ia tinggal beberapa langkah lagi. Salma belum menyadari kehadirannya, masih sibuk berbicara di walkie-talkie-nya.
Tiba-tiba, sebuah tangan besar menepuk punggungnya dengan keras.
“Kang Woo-sung! Astaga, ini benar-benar kau!”
Woo-sung menoleh, senyumnya sedikit goyah. Di sampingnya kini berdiri Tuan Tanaka, seorang investor dari Jepang yang sangat cerewet dan tidak bisa diabaikan begitu saja.
“Tanaka-san! Suatu kehormatan bisa bertemu Anda di sini,” balas Woo-sung, secara otomatis beralih ke mode bisnis yang ramah.
“Aku baru saja kembali dari Jeju. Lapangan golf milikmu di sana luar biasa!” racau Tuan Tanaka. “Kapan kita bisa bermain bersama lagi? Oh ya, aku juga ingin mengenalkanmu pada mitrabisnis baruku…”
Woo-sung terseret ke dalam percakapan. Ia mencoba tetap sopan, mengangguk dan tersenyum di saat yang tepat, namun matanya terus mencoba melirik ke arah Salma. Tapi sudah terlambat. Salma sudah berbalik dan berjalan cepat ke arah lain, kembali ditelan oleh kesibukan acara. Sosoknya yang anggun menghilang di balik sebuah patung perunggu raksasa.
Lima menit kemudian, setelah berhasil melepaskan diri dari Tuan Tanaka, Woo-sung mengedarkan pandangannya lagi. Ia mencoba mencari wanita berhijab dengan blazer putih itu, tapi ia tidak bisa menemukannya. Seolah momen itu hanyalah sebuah ilusi.
Untuk sesaat, ia merasakan sejumput kekecewaan yang aneh, sebuah perasaan yang sudah lama tidak ia rasakan. Tapi dunia chaebol tidak memberikan ruang untuk perasaan semacam itu. Tangan lain sudah terjulur untuk menjabat tangannya, kartu nama lain disodorkan padanya, dan senyum bisnisnya kembali terpasang. Mode yang biasa ia lakukan.
Momen itu telah hilang. Kang Woo-sung kembali fokus pada misinya malam itu, dan ingatan tentang wanita cerdas dengan tatapan mata yang tajam itu perlahan memudar, kembali menjadi kebisingan latar di tengah gemerlapnya pesta.
***