Hantu Masa Lalu

1053 Words
Saskia tidak bisa tidur. Setelah malam yang panjang disiksa oleh kenangan, ia akhirnya menyerah pada fajar dan memaksa dirinya bangun dengan bantuan tiga cangkir kopi hitam pekat. Kini, di kamarnya yang berantakan di sebuah hotel di Jakarta, ia menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya adalah sebuah kanvas kelelahan. Lingkaran hitam di bawah matanya begitu gelap hingga riasan setebal apa pun sepertinya tidak akan mampu menyembunyikannya. Pekerjaan gila selama dua puluh empat jam terakhir seharusnya membuatnya pingsan karena letih. Tapi adrenalin dan kafein masih memompa darahnya, menjaganya tetap berdiri tegak, meski di dalam ia merasa seperti akan hancur berkeping-keping. Pikirannya terus berpacu, sebuah siklus tanpa akhir antara kekhawatiran akan kondisi Bima di Seoul dan kecemasan akan acara yang akan berlangsung beberapa jam lagi. Ia ingat satu hal. Sebuah mantra yang terus ia ulang-ulang di dalam kepalanya. Yang perlu kau lakukan hanyalah menghindari lelaki itu selama acara berlangsung, bukan? Sederhana. Logis. Galeri itu luas. Akan ada ratusan tamu penting. Ia akan sibuk di belakang panggung, memastikan setiap detail berjalan sempurna. Ia adalah sang sutradara, sang dalang yang tak terlihat. Kwon Jin-hyuk hanya akan menjadi salah satu tamu VVIP. Mereka tidak perlu bertemu. Mereka tidak akan bertemu. Ia hanya perlu fokus pada tujuannya: menjalankan acara ini dengan sempurna, mendapatkan bayarannya, dan membeli tiket penerbangan pertama ke Seoul. Ini hanya pekerjaan. Bima adalah tujuannya. Jin-hyuk hanyalah sebuah rintangan yang harus ia lewati dalam diam. Dengan helaan napas panjang, ia mulai bersiap. Proses ini bukan lagi tentang tampil cantik, tapi tentang membangun sebuah benteng pertahanan. Ia memilih sebuah gaun off-shoulder berwarna hijau zamrud yang simpel namun elegan—warna yang cukup berani untuk menunjukkan statusnya sebagai direktur kreatif, namun cukup gelap untuk membantunya berbaur. Ia mulai merias wajahnya dengan presisi seorang seniman yang sedang merestorasi lukisan. Setiap lapisan concealer adalah upaya untuk menyembunyikan malam tanpa tidurnya. Setiap goresan eyeliner adalah untuk menajamkan tatapannya yang lelah. Dan lipstik merah tua yang ia pilih adalah topeng keberaniannya. Saat ia selesai, wanita yang menatapnya dari cermin bukanlah Saskia yang sedang patah hati dan ketakutan. Ia adalah seorang profesional yang tenang, berkuasa, dan siap bekerja. Sebuah kebohongan yang indah. Ia mengambil clutch-nya, memeriksa isinya: ponsel, power bank, dan setumpuk kartu nama. Saat ia hendak melangkah keluar, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Dr. Lee Seo-jin. “Tidak ada perubahan signifikan pagi ini, Nona Putri. Tekanan intrakranialnya stabil. Tim kami terus memantaunya. Tetaplah kuat.” Saskia memejamkan mata sejenak, menggenggam ponselnya erat-erat. Tetaplah kuat, Bima. Kakak akan segera ke sana. Pesan itu adalah cambuk terakhir yang ia butuhkan. Dengan punggung yang lebih tegak, ia melangkah keluar dari kamarnya, siap menghadapi malam terpanjang dalam hidupnya. Sementara itu, di suite kepresidenan di Hotel Four Seasons Jakarta, Kwon Jin-hyuk sedang bersiap tanpa tahu apa yang akan terjadi. Tidak ada drama. Tidak ada kecemasan. Baginya, malam ini hanyalah satu lagi agenda dalam jadwalnya yang padat. Sekretaris Cha Sung-jin sedang membantunya mengenakan kancing manset bertatahkan batu onyx di kemeja putihnya. Setelan jas dari Brioni berwarna arang tergantung rapi di dekatnya, sudah menunggu. “Semua petinggi dari Grup Hansol akan hadir, Daepyo-nim,” kata Cha sambil memberikan laporan terakhir. “Han Hwejang-nim dan istrinya, tentu saja. Lalu kedua putra mereka yang memegang divisi properti dan kimia. Dan tentu saja, putri mereka, Nona Han Chae-rin.” “Bagaimana dengan latar belakangnya?” tanya Jin-hyuk, matanya menatap lurus ke cermin, memeriksa simpul dasinya. “Lulusan Wharton, sama seperti Anda. Fokus di bidang pemasaran barang mewah. Hobinya berkuda dan mengoleksi seni kontemporer. Menurut informan saya, ia sangat cerdas, ambisius, dan sedikit… agresif. Ia yang mendorong ayahnya untuk menyetujui potensi kemitraan dengan K-Beverages.” Jin-hyuk mengangguk kecil. Setidaknya, gadis ini terdengar lebih seperti seorang mitra bisnis daripada boneka porselen. Ini mungkin akan menjadi percakapan yang lebih efisien. Ia bahkan tak sedikit pun memikirkan Saskia. Ingatan di jembatan Hangang beberapa hari yang lalu adalah sebuah anomali, sebuah glitch dalam sistemnya yang sudah berhasil ia tekan dan arsipkan. Malam ini, ia adalah CEO Kwon Jin-hyuk, calon pewaris Grup K, yang sedang dalam sebuah misi bisnis. Fokusnya hanya menyelesaikan urusan dengan perempuan yang akan ia temui hari ini. Menganalisisnya, menilai potensi sinerginya, dan memutuskan apakah “merger” ini layak untuk dilakukan. Hanya sebatas itu. “Kita berangkat lima belas menit lagi,” kata Jin-hyuk. “Baik, Daepyo-nim. Mobil sudah siap di bawah.” Saat Cha hendak keluar, Jin-hyuk bertanya, “Bagaimana kabar sahabatku, Woo-sung?” Cha sedikit terkejut. Jarang sekali bosnya menanyakan kabar personal seseorang. “Presiden Kang baik-baik saja, Daepyo-nim. Menurut jadwalnya, ia juga baru saja menyelesaikan urusan bisnisnya di Jakarta dan akan kembali ke Seoul besok.” Jin-hyuk hanya bergumam pelan. Pertemuannya dengan Woo-sung di bandara terasa aneh. Sahabatnya itu tampak lebih ceria dari biasanya, seolah sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi itu bukan urusannya. Urusannya malam ini adalah Han Chae-rin. Perjalanan mereka menuju galeri seni terasa singkat. Jin-hyuk menghabiskan waktu dengan membaca ulang profil para dewan direksi Hansol Group. Ia mempersiapkan diri seperti seorang jenderal yang sedang mempelajari peta wilayah musuh. Tidak ada ruang untuk kesalahan. Tidak ada ruang untuk kejutan. Saat mobilnya berhenti di depan lobi galeri yang megah, kilatan lampu kamera dari para wartawan langsung menyambutnya. Ia melangkah keluar dari mobil, wajahnya kembali menjadi topeng es yang sempurna. Ia mengancingkan jasnya, memberikan senyum tipis yang sopan namun berjarak pada kerumunan, lalu berjalan masuk ke dalam. Di dalam, di belakang panggung, Saskia mendengar keriuhan di luar. Jantungnya berdebar kencang. “Para tamu VVIP sudah mulai berdatangan,” kata Salma di sampingnya, suaranya terdengar tegang. Saskia mengangguk, matanya fokus pada monitor yang menampilkan rekaman CCTV dari pintu masuk. Ia melihat beberapa wajah yang ia kenali dari majalah bisnis. Lalu, ia melihatnya. Kwon Jin-hyuk. Ia tampak persis sama seperti lima tahun yang lalu, namun juga sangat berbeda. Lebih dewasa, lebih dingin, lebih berkuasa. Ia berjalan dengan aura yang membuat orang-orang di sekitarnya seolah menyingkir secara alami. Napas Saskia tercekat. Mantra yang sudah ia siapkan seharian—hindari dia, ini hanya pekerjaan—tiba-tiba terasa begitu rapuh. “Mbak Sas?” panggil Salma. “Itu dia tamu kehormatan kita. CEO dari K-Beverages.” Saskia menelan ludah, berusaha keras menjaga suaranya agar tetap stabil. “Aku lihat,” katanya. “Pastikan semua berjalan sesuai rencana.” Ia berbalik dari monitor, memunggungi bayangan masa lalunya. Pertunjukan akan segera dimulai. Dan ia, sang sutradara, harus memastikan panggung ini menjadi panggung yang paling sempurna untuk pria yang telah menghancurkan hatinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD