Saskia tidak bisa tidur.
Ia sudah mencoba segalanya. Menghitung domba, meditasi pernapasan, bahkan membaca ulang draf presentasi teknis yang membosankan dari proyek lamanya. Nihil. Otaknya menolak untuk diam. Ia berbaring telentang di atas ranjang king-size yang dingin di kamar hotelnya di Jakarta, menatap langit-langit yang kosong. Di luar, suara klakson dan deru lalu lintas malam yang tak pernah mati seharusnya bisa menjadi lagu pengantar tidur yang familier, tapi malam ini, suara-suara itu justru terasa seperti memperkuat keheningan yang memekakkan di dalam kepalanya.
Sudah berjam-jam sejak ia dan Salma menyelesaikan persiapan terakhir di galeri. Pekerjaan gila selama dua puluh empat jam itu seharusnya membuatnya pingsan karena kelelahan. Tapi adrenalin yang tadinya membuatnya tetap berdiri tegak kini telah surut, meninggalkan sebuah kekosongan yang dingin dan gelisah. Besok. Besok malam acara itu akan berlangsung. Besok malam ia akan mendapatkan uang yang ia butuhkan untuk membeli tiket ke Seoul. Besok malam ia akan selangkah lebih dekat pada Bima.
Seharusnya ia merasa lega. Seharusnya ia fokus pada tujuan itu.
Tapi satu nama terus berputar di benaknya seperti piringan rusak. Sebuah nama yang diucapkan Salma dengan santai, namun menghantamnya dengan kekuatan sebuah badai.
Kwon Jin-hyuk.
Nama yang telah ia segel rapat-rapat di dalam sebuah kotak Pandora di dasar hatinya. Malam ini, segel itu telah pecah. Dan semua kenangan, baik yang indah maupun yang mengerikan, menyeruak keluar, menuntut untuk diingat.
Ia memejamkan mata, dan seketika ia tidak lagi berada di Jakarta. Ia kembali ke London, lima tahun yang lalu.
London di musim gugur adalah dunia yang terbuat dari emas dan tembaga. Udara terasa tajam dan bersih, dan daun-daun mapel berjatuhan seperti hujan api di taman-taman kota. Bagi Saskia, yang saat itu sedang mengambil gelar Masternya, London adalah sebuah kebebasan. Dan di tengah kebebasan itu, ia menemukan Kwon Jin-hyuk.
Ia ingat pertemuan pertama mereka di sebuah debat mahasiswa. Ia, sang mahasiswi seni yang penuh semangat, menyanggah argumen Jin-hyuk tentang efisiensi pasar dengan sebuah argumen yang penuh dengan filosofi dan sentimen manusia. Jin-hyuk, sang mahasiswa bisnis yang logis dan dingin, menatapnya seolah ia adalah sebuah spesimen aneh yang baru saja mendarat dari planet lain. Tapi di matanya yang tajam, Saskia melihat kilatan rasa penasaran.
Hubungan mereka terjalin dari sana. Sebuah hubungan yang aneh dan tak terduga. Ia menyeret Jin-hyuk keluar dari perpustakaan dan zona nyamannya, membawanya ke galeri-galeri seni independen yang aneh, pasar loak di Portobello Road, dan konser musik indie di Camden. Sebagai balasannya, Jin-hyuk mencoba menanamkan sedikit keteraturan dalam hidupnya yang kacau, membantunya menyusun jadwal belajar dan bahkan sesekali memasak untuknya di apartemennya yang rapi dan minimalis—sebuah oasis ketenangan di tengah badai Saskia.
Sebagai seseorang yang memeluk agama Islam, meski ya, ia juga jarang sholat, Saskia tahu gaya pacaran mereka mungkin memang agak berlebihan. Mereka sangat mesra. Ciuman-ciuman panjang di bawah gerimis London, bergandengan tangan di sepanjang South Bank, berpelukan di sofa apartemen Jin-hyuk sambil menonton film klasik hingga larut malam. Bagi Jin-hyuk, yang dibesarkan di Seoul dalam lingkungan yang modern dan sekuler, semua itu adalah hal yang wajar. Sebuah ekspresi alami dari perasaan yang dalam.
Dan perasaan mereka memang sangat dalam. Saskia mencintai pria itu dengan cara yang membuatnya takut. Ia mencintai otaknya yang brilian, senyumnya yang langka namun begitu tulus, dan caranya menatap Saskia seolah ia adalah satu-satunya teka-teki di dunia yang ingin ia pecahkan.
Tapi selalu ada sebuah garis. Sebuah batas tak terlihat yang Saskia jaga dengan sekuat tenaga. Batas yang memisahkan kemesraan dan dosa. Batas yang Jin-hyuk, dengan logikanya yang lurus, tidak pernah bisa mengerti.
Kenangan buruk yang membuat hubungan mereka akhirnya berakhir muncul dengan begitu jelas, seolah baru terjadi kemarin.
Malam itu adalah malam peringatan satu tahun hubungan mereka. Jin-hyuk telah mempersiapkan segalanya dengan sempurna di apartemennya. Ia memasak steak dengan tangannya sendiri, menyalakan lilin, dan memutar musik jazz lembut. Suasananya begitu romantis hingga terasa menyakitkan.
“Aku serius denganmu, Saskia,” kata Jin-hyuk di tengah makan malam, matanya yang biasanya dingin kini tampak hangat di bawah cahaya lilin. “Setelah kita lulus, aku ingin kau ikut denganku ke Seoul.”
Jantung Saskia berdebar kencang. Seoul. Masa depan. Bersama Jin-hyuk. Itulah mimpi terliarnya.
Setelah makan malam, saat mereka sedang berdansa pelan di tengah ruang tamu, Jin-hyuk menciumnya. Ciuman itu berbeda dari biasanya. Lebih dalam, lebih menuntut, penuh dengan janji dan hasrat yang tak terucapkan. Tangannya mulai menjelajah punggung Saskia, menariknya lebih dekat hingga tidak ada jarak di antara mereka.
Dan saat itulah Saskia merasakannya. Pergeseran niat. Momen di mana Jin-hyuk siap untuk melintasi garis batas yang selama ini ia jaga. Baginya, itu adalah sebuah puncak dari cinta mereka. Hubungan intim suami-istri pun adalah wajar untuk dilakukan di mata Jin-hyuk sebagai dua orang dewasa yang saling mencintai dan berkomitmen.
Saskia langsung menegang. Ia mendorong pelan d**a Jin-hyuk. “Jin-hyuk Oppa, jangan.”
Ekspresi Jin-hyuk berubah dari gairah menjadi kebingungan. “Kenapa?” bisiknya, masih mencoba mencium leher Saskia. “Aku mencintaimu, Sas. Kau juga mencintaiku, kan?”
“Aku mencintaimu, tapi kita tidak bisa,” kata Saskia, suaranya mulai bergetar.
Jin-hyuk menarik diri, menatapnya dengan tatapan terluka dan tidak mengerti. “Tidak bisa? Apa maksudmu tidak bisa? Apakah kau tidak menginginkanku?”
Di sinilah semuanya berantakan. Saskia, yang panik dan emosional, tidak bisa menyampaikannya dengan lebih tenang. Ia merasa disudutkan. Ia merasa keyakinannya sedang diuji.
“Bukan begitu!” jawabnya, nadanya sedikit lebih tinggi dari yang ia maksudkan. “Ini salah! Bagi agamaku, bagi budayaku, hal seperti ini hanya untuk suami-istri!”
Jin-hyuk mengerutkan kening. “Agama? Budaya? Kita sudah bersama selama setahun, Saskia. Kita tidur di sofa yang sama. Apa bedanya? Ini tidak logis.”
“Tentu saja beda!” seru Saskia, kini frustrasi. “Ini soal prinsip! Soal keyakinan! Sesuatu yang mungkin tidak kau mengerti karena kau dibesarkan di Korea Selatan!”
Kata-kata itu keluar begitu saja, tajam dan menuduh. Ia melihat kilat rasa sakit di mata Jin-hyuk. Logika adalah perisai Jin-hyuk, dan Saskia baru saja menyerang logikanya dengan sesuatu yang abstrak dan emosional.
“Jadi, kau mengatakan keyakinanmu lebih penting daripada aku? Daripada kita?” tanya Jin-hyuk dingin, topeng esnya mulai kembali terpasang. “Kau mengatakan bahwa cinta kita harus dibatasi oleh aturan-aturan kuno?”
“Itu bukan aturan kuno, itu identitasku!” balas Saskia, air matanya mulai menggenang. “Kenapa kau tidak bisa menghargainya?”
“Bagaimana aku bisa menghargai sesuatu yang tidak kau jelaskan dengan benar?” kata Jin-hyuk, suaranya kini sama dinginnya dengan es. “Yang aku lihat hanyalah kau yang mendorongku pergi tanpa alasan yang jelas.”
Mereka hanya saling melukai. Ia tidak bisa menjelaskan keyakinannya yang berakar kuat sebagai orang Aceh tanpa terdengar seperti menghakimi. Dan Jin-hyuk tidak bisa memahami sesuatu yang tidak bisa diukur oleh data atau logika. Malam itu berakhir dengan pintu apartemen yang dibanting dan hati yang hancur. Mereka tidak pernah benar-benar berbicara lagi setelah itu.
Saskia membuka matanya. Air mata hangat mengalir di pelipisnya, membasahi bantal hotel yang dingin.
Sekarang, setelah lima tahun berlalu, ia bisa melihat tragedi itu dengan lebih jernih. Mereka hanyalah dua anak muda dari dua dunia yang berbeda, yang terlalu sombong dan terlalu takut untuk benar-benar mencoba mengerti satu sama lain. Padahal, mungkin saja Jin-hyuk akan mengerti. Jika saja ia bisa menjelaskannya dengan lebih tenang. Jika saja ia tidak membiarkan emosi dan rasa takutnya mengambil alih.
Sebuah penyesalan yang pahit terasa di dadanya.
Ia melirik jam di ponselnya. Pukul 04:30 pagi. Fajar akan segera tiba. Fajar dari hari di mana ia harus bertemu kembali dengan pria itu. Pria yang menjadi cinta terbesarnya sekaligus patah hati terdalamnya. Dan ia harus menatapnya, tersenyum, dan membantunya merayakan sebuah malam yang sempurna bersama wanita lain.
Saskia menarik napas dalam-dalam, menguatkan hatinya. Ia tidak punya pilihan. Demi Bima, ia akan melewati neraka ini.
***