Rumah Tepi Lautan

1004 Words
Hujan rintik-rintik mengetuk lembut jendela mobil Genesis GV80 yang terparkir di sebuah jalan kecil yang gelap, menghadap ke laut. Di dalam, kehangatan dari penghangat kursi dan aroma samar parfum Bvlgari menciptakan sebuah kepompong kemewahan yang terisolasi dari dunia luar. Wanita yang duduk di kursi pengemudi baru saja hendak menutup telepon dari suaminya. Meski sedikit percakapan harus berlanjut. “Tentu saja aku merindukanmu,” katanya beberapa saat yang lalu, suaranya semanis madu, dipoles dengan kebohongan yang sudah sangat terlatih. “Tidak, aku hanya sedang bersantai di spa, butuh sedikit waktu untuk sendiri. Kau tahu, memanjakan diri.” Ia mendengarkan pria di seberang sana berbicara tentang perjalanannya ke sebuah kota, tentang pertemuan yang akan datang. Ia memainkan perannya dengan sempurna, menjadi istri yang suportif dan penuh perhatian. Seperti biasa, tanpa cela sedikit pun. Walau rasa bosan menggenang. Ia lelah hanha mendengar satu sisi. “Jaga dirimu baik-baik, ya, Oppa. Jangan terlalu lelah. Aku akan menunggumu pulang.” Setelah panggilan itu berakhir, ia meletakkan ponselnya di kursi penumpang. Topeng istri yang sempurna itu luntur, digantikan oleh ekspresi yang rumit—campuran antara rasa bersalah yang sekilas, namun didominasi oleh sebuah kerinduan yang gelisah dan tak sabar. Ia menyandarkan kepalanya sejenak ke sandaran kursi, memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. Ia tidak sedang berada di spa. Ia berada sangat jauh dari dunianya di Gangnam. Ia menyalakan mesin mobil, dan lampu depan yang tajam membelah kegelapan, menyorot jalanan basah yang berkelok di sepanjang pantai. Ia mengemudi sekitar lima menit lagi, menjauh dari jalan utama, menuju sebuah area yang dipenuhi pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi. Di sana, tersembunyi dari pandangan, berdiri sebuah rumah. Rumah yang sangat indah. Sangat tenang. Sesuatu yang tak akan pernah ia temukan. Ini bukan sebuah mansion chaebol. Rumah itu adalah sebuah karya seni arsitektur modern—perpaduan antara beton ekspos yang dingin, panel-panel kaca yang luas, dan kayu reklamasi yang hangat. Rumah itu seolah menyatu dengan alam di sekelilingnya, dengan suara ombak dari pantai di dekatnya menjadi musik latarnya yang abadi. Ia memarkir mobilnya di bawah sebuah carport. Sebelum turun, ia menatap cermin riasnya, memastikan penampilannya—Park Ha-yoon—sudah lenyap. Ia melepas anting-anting mutiaranya, menyimpannya di dalam tas. Ia juga mengusap sedikit lipstiknya hingga warnanya lebih pudar. Di sini, ia tidak perlu menjadi Park Ha-yoon yang sempurna. Ia berjalan cepat di tengah gerimis, menuju pintu depan yang terbuat dari kayu solid. Tanpa ragu, jari-jarinya yang lentik menekan serangkaian angka pada papan kunci digital di samping pintu. Bunyi klik pelan dari kunci yang terbuka terdengar, sebuah suara yang terasa seperti sebuah sambutan selamat datang yang rahasia. Saat ia melangkah masuk, aroma yang menyambutnya begitu berbeda dari rumahnya sendiri. Bukan wangi bunga lili yang mahal atau pembersih udara otomatis. Di sini, udaranya berbau seperti kanvas, cat minyak, terpentin, dan diselingi oleh aroma pekat dari kopi yang baru diseduh serta udara laut yang asin. Ini adalah sebuah tempat perlindungan. Sebuah dunia yang nyata. Ia meletakkan tas Hermès-nya di atas kursi tanpa peduli, seolah benda itu tidak ada harganya. Ia melepas syal sutranya, membiarkannya jatuh di lantai. Langkahnya tergesa-gesa saat ia berjalan lebih dalam, melewati ruang tamu yang dipenuhi kanvas-kanvas besar yang bersandar di dinding—beberapa sudah terisi dengan lukisan abstrak yang penuh warna, beberapa lainnya masih kosong dan menunggu. Ia menemukannya di dapur berkonsep terbuka yang menghadap langsung ke laut melalui dinding kaca. Pria itu berdiri memunggunginya. Ia hanya mengenakan kaus hitam pudar dan celana kargo, sangat kontras dengan setelan jas yang biasa dikenakan oleh pria-pria di dunianya. Ia sedang fokus, dengan gerakan yang lambat dan terukur, menuangkan air panas di atas bubuk kopi dalam sebuah dripper V60. Sebuah ritual yang artisanal dan penuh ketenangan. Wanita itu, Park Ha-yoon, tidak memanggil namanya. Ia mendekat tanpa suara, lalu melingkarkan lengannya di pinggang pria itu dari belakang. Ia menyandarkan pipinya di punggung pria itu yang terasa hangat dan kokoh. Ia memejamkan mata, menghirup aroma pria itu—campuran antara kopi, cat, dan dirinya sendiri. Pria itu tidak terkejut. Ia berhenti menuangkan air, meletakkan teko di sampingnya. Tangannya yang besar dan kuat menutupi tangan Ha-yoon yang melingkar di perutnya, menggenggamnya erat. Untuk sesaat, mereka hanya berdiri diam seperti itu, mendengarkan suara hujan dan ombak di luar. Lalu, pria itu berbalik di dalam pelukannya. Kang Tae-hyun. Wajahnya memiliki ketampanan yang lebih liar dan bebas dibandingkan kakaknya, Kang Woo-sung. Matanya yang dalam menatap Ha-yoon dengan intensitas yang selalu berhasil membuat napasnya tertahan. Ada noda cat biru kecil di tulang pipinya yang tidak ia sadari. “Ha-yoon-ah,” bisiknya, suaranya serak, seolah sudah terlalu lama tidak berbicara. Ia tidak menjawab dengan kata-kata. Ia menjawab dengan menangkupkan kedua tangannya di wajah Tae-hyun dan mempertemukan bibir mereka. Ciuman itu tidak lembut atau ragu-ragu. Ciuman itu lapar, putus asa, sebuah ledakan dari semua kerinduan yang telah mereka tahan. Ini adalah ciuman yang menuntut, mengambil, dan menyerah pada saat yang bersamaan. Ha-yoon bisa merasakan rasa kopi di bibir Tae-hyun, sementara tangan pria itu kini menangkup bagian belakang kepalanya, jari-jarinya terselip di rambutnya yang halus, menariknya lebih dekat seolah ingin meleburkan diri mereka menjadi satu. Saat mereka akhirnya melepaskan diri untuk mengambil napas, dahi mereka masih saling menempel. “Aku kira kau tidak akan datang,” bisik Tae-hyun, napasnya hangat di wajah Ha-yoon. “Aku selalu datang,” jawab Ha-yoon. Tanpa berkata-kata lagi, Tae-hyun membungkuk, satu tangannya menyelinap ke bawah lutut Ha-yoon, dan dengan satu gerakan mudah, ia mengangkatnya. Ha-yoon memekik pelan, kedua kakinya secara refleks melingkari pinggang pria itu. Tae-hyun mendudukkannya di atas meja bar dapur yang terbuat dari granit hitam yang dingin. Permukaan meja yang dingin itu terasa kontras dengan panas yang membara di dalam tubuh Ha-yoon. Kopi yang sedang diseduh itu kini terlupakan. Tae-hyun berdiri di antara kedua kakinya, kembali menciumnya dengan gairah yang semakin dalam. Tangannya yang bebas mulai bergerak dari pinggang Ha-yoon, naik perlahan ke atas. Rok pensilnya yang rapi, yang ia kenakan untuk rapat dewan yayasan sore tadi, kini sudah naik ke atas pahanya, memperlihatkan kulitnya yang mulus. Mereka siap berciuman lagi, siap untuk melupakan dunia di luar rumah ini—melupakan keluarga dan semua kebohongan yang harus mereka jalani. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD