Benang Merah Takdir

1253 Words
Gedung Hansol Tower di jantung distrik bisnis Jakarta adalah sebuah monolit kaca dan baja yang seolah mengikis langit. Lobi utamanya begitu luas dan mengilap hingga Saskia bisa melihat pantulan wajahnya yang lelah di lantai marmer. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha membuang citra selang-selang ICU dan menggantinya dengan topeng profesionalisme yang sudah biasa ia kenakan. Hari ini, ia bukan seorang kakak yang sedang patah hati. Ia adalah seorang Creative Director yang datang untuk sebuah pekerjaan. Setidaknya, itulah yang terus ia katakan pada dirinya sendiri. Perjalanan naik lift menuju lantai lima puluh terasa seperti sebuah transisi antar-dimensi. Pintu terbuka, memperlihatkan sebuah dunia yang sunyi, berpendingin udara, dan dihiasi dengan karya seni mahal. Seorang resepsionis mengantarnya ke sebuah ruang rapat berdinding kaca, di mana seorang wanita muda dengan hijab berwarna dusty rose yang elegan sudah menunggunya. Wanita itu berdiri dan mengulurkan tangannya dengan senyum ramah namun sedikit tegang. “Mbak Saskia Kirana Putri? Saya Salma Anindita.” Saskia menyambut jabatan tangannya. Ia langsung bisa merasakan energi wanita di hadapannya. Salma Anindita memancarkan aura kecerdasan dan ketenangan, namun Saskia, yang ahli membaca orang, bisa melihat jejak-jejak kepanikan di matanya yang sedikit kurang tidur dan cara jemarinya mengetuk pelan permukaan meja. “Terima kasih sudah memanggil saya dalam waktu sesingkat ini, Mbak Salma,” kata Saskia, langsung ke intinya. “Saya yang berterima kasih Anda bersedia datang,” jawab Salma jujur. Ia memberi isyarat agar Saskia duduk. “Saya akan langsung saja. Terus terang, Mbak Saskia, kami kewalahan.” Salma mulai menjelaskan situasinya. Event organizer utama yang mereka sewa tiba-tiba mundur dua hari yang lalu karena masalah internal, meninggalkan Salma—yang sebenarnya adalah Manajer Proyek Junior di tim CSR Hansol Group—untuk menangani salah satu acara paling prestisius tahun ini sendirian. “Saya punya tim, tentu saja,” lanjut Salma, “tapi ini adalah pameran seni privat untuk menyambut calon mitra bisnis kami dari Korea. Semua dewan direksi akan hadir. Tamu-tamunya adalah VVIP. Saya… terus terang saya merasa ini di luar jangkauan pengalaman saya.” Ia menatap Saskia dengan tatapan yang penuh harap. “Lalu tadi malam, salah satu staf saya menunjukkan email dan portofolio dari Anda. Portofolio Mbak… luar biasa. Konsep-konsep Mbak berani dan punya cerita. Tepat seperti yang acara ini butuhkan.” Salma mencondongkan tubuhnya ke depan. “Saya tahu ini permintaan gila, mengingat acara ini akan berlangsung besok malam. Tapi maukah Mbak membantu saya? Bukan sebagai bawahan, tapi sebagai mitra. Kita kerjakan ini bersama-sama.” Saskia terdiam sejenak, memproses tawaran itu. Di dalam hatinya, ia ingin langsung berteriak ‘ya’. Ia butuh uang ini. Sangat butuh. Tapi sisi profesionalnya mengambil alih. Ia tidak bisa masuk ke dalam sebuah kapal yang sudah bocor tanpa tahu seberapa besar lubangnya. “Boleh saya lihat konsep yang sudah ada?” tanya Saskia, suaranya kini berubah, menjadi lebih tajam dan fokus. Salma tampak sedikit lega karena Saskia tidak langsung lari. Ia memutar layar laptopnya. Di sana, terpampang sebuah presentasi dengan tema generik: “East Meets West”. Saskia menahan keinginan untuk menghela napas. “Vendor untuk tata cahaya, suara, dan bunga?” “Sudah ada,” jawab Salma sambil menunjukkan daftar nama. Saskia mengenali beberapa nama. Vendor-vendor besar, mahal, tapi cenderung kaku dan tidak fleksibel. “Anggaran untuk perubahan mendadak?” Salma menyebutkan sebuah angka. Angka yang cukup besar. “Siapa pengambil keputusan final? Kamu? Direksi?” “Saya,” jawab Salma dengan sedikit ragu, “tapi tentu harus sejalan dengan citra Grup Hansol.” Saskia mengangguk. Cukup sudah. Ia sudah melihat medan perangnya. Situasinya buruk, tapi tidak mustahil. Dengan bayaran sebesar ini, “tidak mustahil” adalah satu-satunya hal yang ia butuhkan. “Oke,” kata Saskia akhirnya. “Kita bisa perbaiki ini. Tapi kita harus bergerak. Sekarang.” Apa yang terjadi selama dua puluh empat jam berikutnya adalah sebuah badai kreativitas yang dipimpin oleh Saskia. Ia mengubah ruang rapat Salma menjadi markas komando darurat. Papan tulis putih langsung dipenuhi dengan sketsa-sketsa dan diagram alur yang ia gambar dengan spidol. Ia menolak tema “East Meets West” mentah-mentah. “Itu membosankan,” katanya pada Salma. “Kita ganti temanya menjadi ‘Benang Merah Takdir’. Kita ceritakan kisah bagaimana dua kekuatan bisnis dari dua negara berbeda ditarik oleh benang takdir yang tak terlihat untuk menciptakan sesuatu yang baru.” Salma hanya bisa menatap dengan kagum saat Saskia mulai menelepon jaringannya. “Halo, Mas Adi? Ini Saskia. Aku butuh keajaiban tata cahaya dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam. Lupakan lampu sorot statis, aku mau projection mapping motif batik mega mendung yang bergerak perlahan di dinding utama…” “Mbak Ratih, florist-ku tersayang! Batalkan semua mawar dan lili. Aku butuh rangkaian bunga sedap malam dari Indonesia dan cherry blossom dari Korea. Simbol dari dua dunia. Ya, aku tahu ini bukan musimnya. Tapi Mbak Ratih kan penyihir…” Saskia adalah seorang jenderal di medan perang. Ia tegas, cepat, dan visinya sangat jelas. Ia mengubah menu katering, mengatur ulang tata letak ruangan, bahkan memilih langsung daftar putar musik—sebuah campuran antara musik gamelan kontemporer dan instrumental modern Korea. Salma, yang terbiasa dengan ritme kerja korporat yang lambat dan penuh rapat, hanya bisa berusaha mengimbangi angin topan bernama Saskia ini. Ia menjadi perantara yang sempurna, menggunakan pengetahuannya tentang birokrasi Hansol Group untuk melancarkan semua ide gila Saskia, mendapatkan persetujuan instan, dan memastikan semua vendor dibayar di muka. Mereka menjadi tim yang luar biasa. Di tengah kekacauan itu, saat mereka beristirahat sejenak dengan kopi instan di tangan pada tengah malam di lokasi acara, Salma menatap Saskia. “Mbak Saskia,” katanya pelan. “Boleh aku tanya sesuatu? Kenapa Mbak mau mengambil pekerjaan segila ini?” Saskia menatap instalasi seni yang sedang dipasang di seberang ruangan. Wajahnya yang lelah tampak lebih lembut di bawah cahaya lampu kerja yang temaram. “Ada sesuatu yang harus saya perjuangkan,” jawabnya singkat, suaranya serak. “Sesuatu yang lebih penting dari tidur atau harga diri.” Salma tidak bertanya lebih jauh. Ia mengerti. Ada kerapuhan di balik kekuatan wanita di hadapannya. Sebuah kerapuhan yang sama-sama mereka bagi sebagai pejuang di dunia yang keras ini. Ia hanya mengangguk. “Apapun itu, aku harap Mbak berhasil.” Malam acara. Kurang dari satu jam sebelum gerbang dibuka. Saskia dan Salma berdiri di balkon galeri, menatap ke bawah pada hasil kerja gila mereka. Ruangan itu telah berubah. Dindingnya menampilkan proyeksi awan batik yang bergerak anggun. Rangkaian bunga sedap malam dan sakura palsu yang sangat mirip aslinya menciptakan suasana yang magis. Musik instrumental yang lembut mengalun di udara. Semuanya sempurna. Mereka berhasil. “Kita berhasil, Mbak,” bisik Salma, matanya berkaca-kaca karena lega dan bangga. “Kita tim yang hebat,” balas Saskia sambil tersenyum tulus untuk pertama kalinya dalam beberapa hari. Salma memegang sebuah tablet, memeriksa daftar tamu VVIP untuk terakhir kalinya. “Hampir semua sudah konfirmasi akan hadir. Termasuk tamu kehormatan dari Korea, CEO dari K-Beverages yang akan menjadi mitra baru kita.” Saskia mengangguk, tidak terlalu peduli. Pikirannya sudah pada tiket pesawat yang akan ia beli besok pagi. “Namanya…” lanjut Salma sambil membaca profil di tabletnya. “…Kwon Jin-hyuk.” Saskia membeku. Seluruh udara seolah tersedot keluar dari paru-parunya. Nama itu. Nama yang sudah ia kubur dalam-dalam di relung hatinya yang paling gelap. Nama yang menjadi sumber dari kekuatan sekaligus rasa sakitnya. Ia menatap kosong pada ruangan indah yang baru saja ia ciptakan. Ruangan yang ia rancang dengan tema “Benang Merah Takdir”. Ia tidak tahu bahwa takdir benar-benar sedang mempermainkannya. Malam ini, ia telah menciptakan sebuah panggung yang sempurna, sebuah dunia magis, untuk menyambut kembalinya hantu terburuk dari masa lalunya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD