Jakarta

1142 Words
Roda pesawat Korean Air mendarat di landasan pacu Bandara Internasional Soekarno-Hatta dengan guncangan pelan. Bagi sebagian besar penumpang kelas satu, momen ini adalah akhir dari sebuah perjalanan yang melelahkan. Bagi Kwon Jin-hyuk, ini adalah awal dari sebuah tugas yang lebih melelahkan lagi. Saat pintu pesawat terbuka, hal pertama yang menyambutnya bukanlah karpet merah atau sambutan formal, melainkan embusan udara. Udara yang hangat, berat, dan lembap, begitu berbeda dari udara musim semi yang tajam dan bersih di Seoul. Udara ini membawa serta aroma yang asing—campuran antara wangi bunga tropis, rempah-rempah, dan aroma tanah basah setelah hujan. Jin-hyuk berhenti sejenak di pintu keluar, topeng tanpa ekspresinya menyembunyikan keterkejutannya. Perjalanan melewati imigrasi dan bea cukai berlangsung cepat dan efisien berkat jalur VVIP yang sudah disiapkan Sekretaris Cha. Namun, saat ia berjalan menuju pintu keluar di Terminal 3 yang ramai, di tengah lautan wajah dan suara yang asing, sebuah sosok yang familier tiba-tiba menarik perhatiannya. Seorang pria tinggi dengan setelan Zegna yang dipotong sempurna dan senyum karismatik yang bisa meluluhkan gunung es, sedang tertawa sambil berbicara di telepon. “Kang Woo-sung?” Jin-hyuk memanggil, lebih sebagai pernyataan daripada pertanyaan. Pria itu, sahabatnya, menoleh. Senyum di wajahnya melebar saat melihat Jin-hyuk. “Wah, lihat siapa ini,” kata Woo-sung, menutup teleponnya. “Sang Pangeran Es akhirnya meninggalkan kerajaannya. Apa yang membawamu ke khatulistiwa, sobat?” Mereka bertegur sapa sejenak dengan jabat tangan yang erat—sebuah interaksi singkat yang penuh dengan pemahaman tak terucap di antara dua pria dari dunia yang sama. Woo-sung tidak bertanya soal perjodohan. Ia tidak perlu bertanya. Ia tahu persis kenapa Jin-hyuk ada di sini. “Hanya sedikit urusan bisnis,” jawab Jin-hyuk datar. “Tentu saja,” kata Woo-sung dengan senyum miring yang penuh arti. “Selalu bisnis, bukan? Nasihatku: jangan terlalu serius, sobat. Nikmati permainannya.” Lalu, secepat ia muncul, Woo-sung pun berpamitan. “Aku harus pergi. Ada yang harus kuurus. Sampai jumpa di Seoul.” Ia menepuk bahu Jin-hyuk sebelum menghilang di tengah keramaian. Jin-hyuk menatapnya pergi, sedikit bingung. Apa urusan Woo-sung di Jakarta? “Daepyo-nim,” suara Sekretaris Cha membuyarkan lamunannya. “Ada perubahan rencana. Han Hwejang-nim baru saja mengirimkan pesan. Beliau meminta maaf sebesar-besarnya, ada rapat dewan mendadak yang tidak bisa beliau tinggalkan. Beliau tidak bisa menjemput Anda.” Jin-hyuk tidak merasakan apa-apa. Tidak kecewa, justru sebaliknya, ada sedikit kelegaan. “Tidak masalah,” jawabnya. “Itu lebih baik. Kita bisa langsung ke hotel.” Ia lebih memilih keheningan steril di dalam mobil sewaannya daripada harus terlibat dalam basa-basi yang canggung dengan calon mertuanya. Perjalanan dari bandara ke hotel adalah sebuah studi tentang kekacauan yang teratur. Jin-hyuk menatap ke luar jendela. Ia melihat jalan tol yang padat, gedung-gedung yang tampak tua di samping bangunan-bangunan kaca yang modern, dan lautan sepeda motor yang menyelinap di antara mobil-mobil dengan kelincahan yang mustahil. Ini adalah Jakarta. Kacau. Berisik. Persis seperti yang pernah digambarkan seseorang padanya. Namun, di balik semua itu, otaknya yang analitis melihat adanya energi, sebuah denyut nadi ekonomi yang kuat dan tak terbendung. Dan di antara analisis bisnis itu, sebuah perasaan aneh mulai merayapinya. Sebuah rasa déjà vu. Ia seperti mengenali sebuah nama jalan yang tertulis di papan penunjuk arah. Ia seperti pernah melihat sebelumnya deretan pedagang kaki lima yang menjual buah-buahan tropis dengan warna-warni yang cerah. Tentu saja itu tidak mungkin. Ini adalah kali pertamanya ia ke Jakarta. Ia tiba di hotelnya di kawasan SCBD, sebuah menara kaca lain yang menjulang tinggi. Suite kepresidenan yang ia tempati terasa familier—desain minimalis, palet warna monokrom, dan jendela raksasa yang menampilkan pemandangan kota. Tempat ini bisa saja berada di Seoul, New York, atau London. Sebuah gelembung kemewahan yang dirancang untuk melindunginya dari dunia luar. Ia rehat sejenak di hotel. Sempat tidur satu jam—sebuah tidur yang efisien untuk mengatur ulang jam internalnya dan mempersiapkan diri untuk “pertunjukan” keesokan harinya. Malamnya baru ia bersiap untuk makan malam sendirian di kamarnya. Ia sedang meninjau kembali profil Han Chae-rin saat telepon dari Sekretaris Cha masuk. “Daepyo-nim, ada sedikit masalah,” kata Cha, suaranya terdengar sedikit tegang. “Apa lagi?” “Nona Han Chae-rin ada di lobi hotel. Dia bilang dia ingin ‘menyambut Anda secara personal’ sebelum acara besok.” Jin-hyuk menghela napas, rasa jengkel yang dingin langsung menjalari dirinya. Ini adalah pelanggaran protokol. Sebuah pergerakan di luar jadwal. Sebuah upaya untuk mengambil kendali situasi darinya. Ia tidak akan membiarkannya. “Aku tidak mau bertemu dengannya malam ini,” katanya, suaranya tegas dan final. “Urus itu, Sekretaris Cha. Aku tidak peduli bagaimana caranya. Katakan aku sakit, katakan aku sudah tidur. Usir dia dengan sopan.” “Baik, Daepyo-nim.” Jin-hyuk menutup telepon. Ia berdiri dan berjalan ke arah jendela. Kenapa ia begitu keras? Sebenarnya tidak ada salahnya bertemu sebentar. Itu adalah hal yang sopan untuk dilakukan. Tapi ia tidak mau. Ia tidak mau memulai sandiwara ini lebih cepat dari yang seharusnya. Dan ada alasan lain. Alasan yang lebih dalam dan tidak logis yang tidak berani ia akui. Kota di bawah sana… kota itu memanggilnya. Ia tidak ingin impresi pertamanya tentang Jakarta diwarnai oleh percakapan bisnis yang kaku atau senyum palsu dari seorang calon istri. Ia ingin melihatnya sendirian. Ia ingin membuktikan bahwa perasaan familier yang ia rasakan tadi hanyalah imajinasinya. Ia ingin melihat Jakarta yang sebenarnya—kota yang kacau, berisik, tapi punya hati seperti yang pernah diceritakan oleh gadis itu. Dengan sebuah keputusan impulsif yang sangat tidak seperti dirinya, ia berganti pakaian. Ia melepaskan setelan mahalnya, mengenakan celana linen berwarna gelap dan kemeja katun putih yang simpel, tanpa dasi. Ia meninggalkan ponsel kerjanya di meja, hanya membawa satu kartu kredit dan ponsel pribadinya. Melalui lift servis yang diatur oleh Sekretaris Cha, ia keluar dari pintu samping hotel, menyelinap ke dalam malam Jakarta yang hangat dan ramai. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia benar-benar anonim. Tidak ada yang mengenalnya sebagai Kwon Jin-hyuk, sang CEO. Ia hanyalah seorang pria asing di kota yang asing. Ia berjalan tanpa tujuan. Udara terasa berat dan penuh dengan aroma yang campur aduk—wangi melati dari kalung bunga yang dijual di pinggir jalan, bau sate ayam yang sedang dibakar, dan asap knalpot yang pekat. Suara klakson, musik dangdut dari sebuah warung, dan tawa orang-orang menjadi sebuah simfoni yang memusingkan. Ini adalah kekacauan. Kekacauan total. Tapi ia tidak merasa terganggu. Sebaliknya, ia merasa… sesuatu yang lain. Sesuatu yang terasa seperti pulang ke tempat yang belum pernah ia kunjungi. Kota ini seakan sangat familiar baginya. Ia merasa seperti sedang berjalan di dalam sebuah kenangan milik orang lain. Kenangan yang pernah diceritakan padanya dengan penuh semangat lima tahun yang lalu. Ia berhenti di sebuah persimpangan yang ramai, menatap lautan lampu motor dan mobil yang tak berujung. Sang CEO yang dingin itu telah lenyap. Yang tersisa hanyalah seorang pria yang sedang mencari hantu dari sebuah cerita. Dan ia tidak tahu apakah ia ingin lari dari hantu itu, atau justru berharap untuk menemukannya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD