Kekalahan itu terasa asing, seperti logam dingin di pangkal lidahnya. Ia terbiasa dengan kemenangan yang diperhitungkan, dengan kesuksesan yang diukur oleh naiknya harga saham dan mundurnya para pesaing. Tapi kekalahan ini berbeda. Ini adalah kekalahan melawan sesuatu yang tidak bisa ia akuisisi atau hancurkan dengan logika: sebuah kenangan.
Ia berjalan ke arah bar pribadinya, bukan untuk minum alkohol—ia jarang minum sendirian—tapi untuk melakukan sesuatu. Ia menuang segelas air dingin, meneguknya dalam sekali tegukan, berharap air itu bisa memadamkan api samar yang mulai terasa di dadanya. Gagal. Bayangan tawa gadis itu, matanya yang berbinar saat menatap lampu kota, masih menempel di retinanya.
Sangat tidak efisien, pikirnya pada dirinya sendiri, sebuah mantra yang selalu ia gunakan untuk mengusir perasaan. Mengingat masa lalu tidak menghasilkan keuntungan.
Ia memaksa dirinya untuk berbalik, meninggalkan jendela dan hantu yang menemaninya di sana. Ia melirik grand piano yang terselubung itu. Untuk sesaat, jari-jarinya gatal, rindu pada sentuhan tuts hitam dan putih yang dingin. Rindu pada saat di mana satu-satunya hal yang penting adalah harmoni antara melodi dan keheningan. Tapi ia segera menekan keinginan itu. Pria yang memainkan piano itu sudah lama mati. Yang tersisa hanyalah Kwon Jin-hyuk, sang CEO. Dan seorang CEO harus tidur untuk bisa berfungsi secara optimal keesokan harinya.
Dua hari kemudian, badai itu datang.
Bukan badai sungguhan, tapi sesuatu yang jauh lebih menakutkan: panggilan telepon dari ayahnya, Pimpinan Kwon Dae-hyun, pada pukul 07:30 pagi. Itu adalah sebuah pelanggaran protokol tak tertulis. Ayahnya tidak pernah menelepon sebelum jam sembilan kecuali jika ada krisis.
“Kau sudah membaca berita pagi ini?” suara ayahnya terdengar dingin dari seberang, tanpa basa-basi.
“Selamat pagi juga, Abeoji,” jawab Jin-hyuk datar sambil mengencangkan dasinya.
“Jangan main-main denganku, Kwon Jin-hyuk. Artikel gosip bisnis sudah mulai beredar. ‘Pertemuan Makan Malam Antara Grup K dan Grup Seoryu Berakhir Canggung’. Apa yang kau lakukan semalam? Pimpinan Yoon meneleponku pagi ini. Ia sangat tersinggung.”
“Saya hanya menyatakan bahwa putrinya tidak cocok,” jawab Jin-hyuk, matanya menatap pantulan dirinya yang tanpa ekspresi di cermin.
“Tidak cocok?!” suara ayahnya meninggi. “Ini bukan tentang memilih menu makan siang! Ini tentang aliansi miliaran dolar! Ini tentang masa depan perusahaan! Kau mau menyerahkan semua yang telah dibangun kakekmu pada Ji-han hanya karena seorang gadis tidak sesuai dengan seleramu yang aneh itu?”
“Keputusan saya final. Pernikahan itu akan menjadi liabilitas jangka panjang,” tegas Jin-hyuk. Logika adalah satu-satunya perisai yang ia miliki.
Terdengar helaan napas berat dari seberang. Ayahnya tahu, berdebat dengan logika dingin Jin-hyuk sama seperti meninju dinding baja. “Baik. Lupakan keluarga Yoon. Kau sudah membakar jembatan itu.” Ada jeda sejenak. “Masih ada dua kandidat lagi. Yang dari Grup Hansol di Jakarta. Han Chae-rin. Aku sudah berbicara dengan ayahnya. Kau akan terbang ke sana minggu depan untuk menemuinya. Anggap ini perintah. Jangan membuat kekacauan lagi.”
Panggilan itu ditutup secara sepihak.
Jin-hyuk meletakkan ponselnya. Tidak ada amarah di wajahnya. Hanya kelelahan yang semakin dalam. Ia telah memenangkan pertempuran kecil melawan perjodohan dengan Yoon Seo-ah, tapi ia tahu ia sedang kalah dalam perang yang lebih besar. Perang melawan takdir yang telah dituliskan untuknya. Jakarta. Kandidat lain. Boneka porselen lain. Drama yang sama, hanya panggungnya yang berbeda.
Sementara itu, di sebuah apartemen kecil yang penuh dengan tumpukan buku dan sketsa di Jakarta, suasananya jauh dari dingin dan terstruktur. Suasananya adalah keputusasaan yang pekat.
Saskia Kirana Putri tidak tidur selama empat puluh delapan jam. Matanya yang biasanya berbinar kini bengkak dan merah, dikelilingi lingkaran hitam. Di depannya, laptopnya terbuka menampilkan belasan tab: situs maskapai penerbangan, forum tentang visa Korea, artikel tentang biaya medis di luar negeri, dan halaman donasi online yang ia coba buat tapi tak tahu harus mulai dari mana.
“Tidak ada jalan, Rin,” bisik Saskia, suaranya serak. Di sebelahnya, Rina sedang menuangkan kopi instan ke dalam cangkir ketiga mereka pagi itu.
“Pasti ada jalan, Sas. Pasti ada,” jawab Rina, meskipun suaranya terdengar kurang meyakinkan.
Dua hari terakhir adalah neraka. Mereka sudah mencoba segalanya. Menghubungi semua teman untuk pinjaman, tapi jumlah yang dibutuhkan terlalu besar. Menghubungi pihak Tirtayasa Group, memohon uang muka proyek, tapi birokrasi perusahaan tidak bisa dilanggar. Pembayaran paling cepat tiga puluh hari.
Tiga puluh hari. Sebuah kemewahan waktu yang tidak dimiliki Bima.
Sebuah notifikasi email masuk ke laptop Saskia. Dari Dr. Lee Seo-jin, Asan Medical Center. Jantungnya langsung berdebar kencang. Dengan tangan gemetar, ia membukanya.
Isinya singkat, profesional, namun setiap kata terasa penting.
“Nona Putri, kondisi Tuan Bima pasca-operasi masih dalam pengawasan ketat. Belum ada perubahan signifikan, ia masih belum sadarkan diri. Kami melakukan yang terbaik. Mohon tetap kuat.”
Mohon tetap kuat. Kalimat itu justru membuatnya semakin lemah. Bagaimana ia bisa kuat jika ia terdampar di sini?
“Apa kata dokter?” tanya Rina pelan.
“Sama saja,” jawab Saskia sambil menutup laptopnya dengan frustrasi. “Tidak ada perubahan.” Ia menyandarkan kepalanya ke meja, rambutnya yang biasanya penuh kehidupan kini terlihat lepek dan tak berdaya. “Gue gagal, Rin. Gue kakak yang gagal.”
Rina mengusap punggung sahabatnya. “Lo nggak gagal. Lo lagi berjuang.” Tiba-tiba, mata Rina menangkap sesuatu di layar laptopnya yang masih menyala. Sebuah artikel dari majalah bisnis gaya hidup. “Sas, lihat ini.”
Saski mengangkat kepalanya dengan malas. Di layar, terpampang sebuah artikel berjudul: “Pameran Seni Eksklusif Grup Hansol: Saat Bisnis dan Seni Bertemu di Jakarta”. Artikel itu menampilkan foto Han Chae-rin, sang pewaris, yang akan menjadi tuan rumah acara tersebut. Acara itu akan diadakan lusa. Sebuah acara privat untuk kalangan atas.
“Terus kenapa?” tanya Saski lesu.
“Event organizer-nya, Sas. Vespera Events. Itu kan EO yang dulu mau rekrut lo tapi lo tolak karena mau bikin perusahaan sendiri,” kata Rina cepat, sebuah ide mulai terbentuk di benaknya. “Lo kenal orang-orang di sana. Mungkin… mungkin lo bisa dapat pekerjaan freelance untuk acara ini? Bayarannya pasti gila-gilaan. Cukup buat tiket pesawat!”
Saskia menatap layar itu. Sebuah acara glamor. Dunia yang terasa begitu jauh dari masalahnya saat ini. Tapi Rina ada benarnya. Ini adalah satu-satunya keahlian yang ia miliki. Ini adalah satu-satunya kesempatan, sekecil apa pun itu. Secercah harapan mulai menyala di matanya yang lelah.
Di kantornya yang megah, Kwon Jin-hyuk sedang menatap file di tabletnya. Profil Han Chae-rin. Lulusan Wharton, sama sepertinya. Cerdas, cantik, ambisius. Aset yang jauh lebih menjanjikan daripada Yoon Seo-ah.
“Sekretaris Cha,” panggilnya lewat interkom.
“Ya, Daepyo-nim.”
“Pesan tiket penerbangan ke Jakarta untuk hari Jumat. Atur pertemuan dengan Nona Han Chae-rin di acara pameran seni mereka hari Sabtu malam.”
“Baik, Daepyo-nim. Semuanya akan saya siapkan.”
Jin-hyuk mematikan interkom. Ia menatap jadwal perjalanannya di layar. Jakarta. Sebuah kota yang belum pernah ia kunjungi. Sebuah tugas lain yang harus ia selesaikan. Ia sama sekali tidak tahu, bahwa di kota yang sama, seorang wanita dengan mata sembap sedang mengetik email lamaran kerja dengan putus asa, sebuah email yang akan menempatkannya di ruangan yang sama persis dengannya pada hari Sabtu malam.
Takdir sedang menenun benangnya dalam diam, mempersiapkan panggung untuk sebuah tabrakan yang tak terhindarkan.
***