Pukul dua pagi, Rumah Sakit Asan adalah sebuah dunia yang berbeda. Koridor-koridornya yang di siang hari penuh dengan hiruk pikuk, kini lengang dan sunyi, hanya diterangi oleh cahaya lampu neon yang dingin. Suara yang dominan adalah dengungan pelan dari mesin-mesin dan langkah sepatu bersol karet yang sesekali memecah keheningan. Di dalam Ruang Perawatan Intensif Bedah Saraf (NSICU), keheningan itu terasa lebih pekat, lebih berat. Setiap ranjang adalah sebuah pulau terpencil, dan setiap pasien adalah seorang pelaut yang terdampar, terombang-ambing antara dunia kehidupan dan kematian.
Dr. Lee Seo-jin berdiri di samping ranjang nomor tujuh. Sudah empat jam sejak jam kerjanya yang panjang seharusnya berakhir, namun ia masih di sini. Jas putihnya yang bersih tersampir di kursi di sudut ruangan, menyisakan kemeja biru tua yang lengannya sudah ia gulung hingga ke siku. Ia tidak sedang melihat grafik di monitor. Ia sedang melihat pasiennya.
Bima Aditya Putra terbaring tak bergerak, wajahnya pucat di bawah cahaya lampu ICU yang redup. Kepalanya diperban, dan berbagai macam selang serta kabel terhubung ke tubuhnya, menghubungkannya pada mesin-mesin yang kini bernapas dan memompa darah untuknya. Mesin-mesin itu berbunyi dalam ritme yang stabil dan monoton, sebuah lagu pengantar tidur yang mengerikan.
“Semua vitalnya stabil sepanjang malam, Seonsaengnim,” bisik seorang perawat muda bernama Park So-hee, yang berdiri di belakangnya dengan sebuah tablet di tangan. Ia menatap Dr. Lee dengan campuran rasa hormat dan kekaguman. Semua dokter residen tahu reputasi Dr. Lee: seorang jenius yang nyaris tidak pernah pulang, seorang malaikat pelindung dengan standar setinggi langit.
Seo-jin hanya mengangguk kecil, matanya masih terpaku pada monitor utama yang menampilkan selusin grafik dan angka berbeda. Tekanan darah, detak jantung, saturasi oksigen, semuanya berada dalam rentang yang diharapkan untuk pasien dengan trauma seberat ini. Stabil. Tapi bagi Seo-jin, "stabil" dalam kasus trauma kepala berat hanyalah sebuah ilusi yang rapuh. Otak manusia bukanlah mesin. Ia adalah sebuah alam semesta misterius yang bisa menciptakan badainya sendiri tanpa peringatan.
Ia mengusap dagunya, sebuah kebiasaan saat ia sedang berpikir keras. Ada sesuatu yang mengganggunya. Sesuatu yang begitu kecil hingga ia sendiri ragu apakah itu nyata atau hanya imajinasinya yang kelelahan.
“Perawat Park,” katanya, suaranya rendah. “Tampilkan log tekanan intrakranial (ICP) selama enam jam terakhir.”
“Baik, Seonsaengnim.” So-hee dengan cepat mengetuk tabletnya dan grafik ICP Bima muncul di layar. Grafiknya datar, stabil di angka 15 mmHg, angka yang aman setelah operasi. “Tidak ada lonjakan, Dok.”
“Perbesar skalanya,” perintah Seo-jin. “Skala mikro.”
So-hee menurut, sedikit bingung. Grafik itu kini membesar, menunjukkan fluktuasi minor yang biasanya diabaikan sebagai noise atau gangguan sinyal. Seo-jin mencondongkan tubuhnya lebih dekat, matanya menyipit. Dan di sana, ia menemukannya.
Sebuah kedutan. Sebuah anomali.
Pada pukul 23:17, ada sebuah lonjakan mikro pada grafik ICP, dari 15 ke 15.4 mmHg, yang bertahan hanya selama tiga detik sebelum kembali normal. Sangat kecil, sangat singkat, hingga alarm monitor bahkan tidak berbunyi. Itu bisa saja hanya gangguan sinyal. Tapi kemudian, Seo-jin melihatnya lagi pada pukul 00:42. Dan lagi pada pukul 01:55. Polanya tidak teratur, tapi nyata.
“Ini bukan gangguan sinyal,” gumam Seo-jin. “Ini sebuah respons. Tapi respons terhadap apa?”
Ia langsung beralih ke monitor lain, menarik data log EEG (rekaman gelombang otak) Bima. Dengan jari-jarinya yang panjang, ia menggulir data selama berjam-jam, matanya memindai ribuan baris informasi dengan kecepatan yang tidak manusiawi. So-hee hanya bisa menatap dengan kagum. Di saat dokter lain mungkin sudah menyerah pada mesin dan menunggu, Dr. Lee justru berburu di dalam hutan data, mencari jejak yang paling samar sekalipun.
“Ah,” desis Seo-jin pelan. Ia berhenti menggulir. Ia menunjuk sebuah titik di layar EEG. “Lihat ini. Tepat di saat yang sama dengan lonjakan ICP, ada aktivitas aneh di lobus temporalnya. Ini bukan kejang. Terlalu teratur untuk kejang parsial. Ini… sesuatu yang lain.”
Sesuatu sedang terjadi di dalam otak Bima. Sesuatu yang tidak terdeteksi oleh protokol standar. Sesuatu yang bersembunyi di balik keheningan koma pasiennya. Firasat buruk mulai menjalari Seo-jin. Firasat yang terasa sangat familier.
Ia teringat sebuah kasus dari awal kariernya. Seorang pianis muda yang mengalami pendarahan otak setelah jatuh dari panggung. Pasca-operasi, kondisinya juga "stabil". Tapi Seo-jin, yang saat itu masih seorang residen, melihat anomali serupa di monitor. Ia melaporkannya pada dokter senior, namun laporannya diabaikan sebagai kecemasan seorang dokter baru. Dua hari kemudian, pasien itu mengalami edema serebral masif kedua yang tak terkendali dan meninggal. Seo-jin tidak pernah bisa memaafkan dirinya sendiri. Ia bersumpah tidak akan pernah lagi mengabaikan firasatnya.
Tidak lagi, batinnya tegas. Tidak akan terjadi lagi di bawah pengawasanku.
“Perawat Park,” katanya, suaranya kini penuh dengan otoritas yang tak terbantahkan. “Saya mau pemindaian fMRI dan PET scan untuk pasien ini, secepatnya pagi ini. Hubungi tim radiologi.”
“Tapi, Seonsaengnim, itu di luar protokol standar untuk…”
“Saya tahu,” potong Seo-jin, matanya menatap tajam pada So-hee. “Mulai sekarang, protokol untuk pasien ini adalah perintah saya. Dan catat semua anomali sekecil apa pun di semua monitor. Waktu terjadinya, durasinya, bentuk grafiknya. Apapun. Jangan ada yang terlewat.”
“Baik, Seonsaengnim!” jawab So-hee, kini mengerti keseriusan situasi ini.
Seo-jin kembali menatap wajah Bima. Misi ini kini terasa personal. Ini bukan lagi hanya tentang menyelamatkan seorang pasien. Ini tentang menebus kegagalan masa lalunya. Ia meraih ponsel Bima yang disimpan di dalam laci di samping tempat tidur. Ia menyalakannya dan kembali menatap foto di layar kunci itu. Foto Bima dan kakaknya yang tersenyum bahagia. “Kak Sas ♥️”. Ia bertanya-tanya, apakah wanita dengan senyum secerah matahari itu sudah dalam perjalanan. Apakah ia tahu bahwa adiknya sedang berjuang dalam sebuah pertempuran sunyi yang bahkan dokternya sendiri belum sepenuhnya pahami?
Ia berjalan keluar dari ICU, menuju kantornya yang gelap untuk mencoba beristirahat beberapa jam. Ia baru saja merebahkan diri di sofa saat ponselnya bergetar. Panggilan dari NSICU. Jantungnya langsung berdebar.
“Dr. Lee di sini.”
“Seonsaengnim, ini Perawat Park,” suara So-hee terdengar di seberang, nadanya panik namun terkendali. “Maaf mengganggu. Anomali itu… terjadi lagi. Baru saja.”
Seo-jin langsung duduk tegak. “Bagaimana bentuknya?”
“Itu dia masalahnya, Dok. Kali ini… berbeda. Sangat berbeda. Bukan hanya lonjakan ICP atau kedutan di lobus temporal. Ada lonjakan aktivitas yang sangat besar dan teratur di lobus oksipitalnya. Sangat teratur, hampir seperti… seperti…”
“Seperti apa, Perawat Park?” desak Seo-jin.
Terdengar suara helaan napas ragu dari So-hee. “Hampir seperti dia sedang bermimpi, Seonsaengnim. Seolah-olah… matanya yang tertutup itu sedang melihat sesuatu.”
Seo-jin membeku. Pasien dalam koma sedalam ini, dengan tingkat cedera otak separah ini, secara fisiologis tidak seharusnya bisa menghasilkan aktivitas otak terorganisir yang menyerupai mimpi. Itu tidak mungkin. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam kepala pemuda dari Indonesia ini? Apa—atau siapa—yang sedang ia lihat di dalam kegelapannya? Rasa penasaran yang dingin dan tajam kini mengalahkan rasa lelahnya.
***