Damage Control

1103 Words
Yoon Seo-ah sudah terlihat mondar-mandir di koridor lantai enam puluh gedung K-Beverages selama dua puluh menit. Koridor itu sendiri terasa seperti sebuah karya seni minimalis yang mengintimidasi. Dinding marmer kelabu, lantai granit hitam yang mengilap, dan beberapa karya seni abstrak modern yang harganya mungkin bisa membeli apartemennya. Udara terasa dingin dan hening, hanya dipecah oleh suara langkah kaki para pegawai yang berjalan dengan cepat dan penuh tujuan, seolah mereka takut membuang-buang oksigen yang mahal di lantai eksekutif ini. Dan di ujung koridor itu, terdapat sebuah pintu kayu ek besar dengan plakat perak sederhana: Kwon Jin-hyuk, CEO. Di tangannya, Seo-ah memegang sebuah kotak kayu yang dibungkus dengan kain sutra berwarna nila. Isinya adalah hangwa, manisan tradisional Korea termahal yang berhasil ia temukan, sebuah persembahan damai untuk dewa gunung es yang sedang bersemayam di dalam kantor itu. Kau bisa melakukan ini, Yoon Seo-ah, katanya pada dirinya sendiri untuk kelima belas kalinya. Kau adalah putri dari Grup Seoryu. Kau hanya perlu masuk, minta maaf dengan anggun, berikan ini, lalu keluar. Sederhana. Tapi otaknya memutar ulang adegan di restoran itu. Wajah Kwon Jin-hyuk yang tanpa ekspresi saat kuah sup membasahi kemejanya. Matanya yang dingin menatap dasinya yang ternoda kimchi. Dan keheningan yang mematikan setelahnya. Rasa malu itu kembali menjalari pipinya, membuatnya terasa panas. Bagaimana kalau dia menyuruh keamanan untuk mengusirku? pikirnya panik. Bagaimana kalau dia melemparkan kotak ini kembali padaku? Ia mengintip melalui panel kaca di samping pintu. Di dalam, ia bisa melihat siluet Kwon Jin-hyuk yang duduk tegap di belakang mejanya yang luas. Wajahnya terlihat amat dingin, fokus pada dokumen di hadapannya. Ia tampak seperti seorang kaisar yang sedang mengamati petanya sebelum pergi berperang. Aura kekuasaannya begitu pekat hingga Seo-ah bisa merasakannya bahkan dari balik dinding kaca. Oke, tidak sekarang. Mungkin nanti saat dia akan makan siang. Saat ia berbalik untuk melarikan diri, pintu kantor itu tiba-tiba terbuka. Kwon Jin-hyuk melangkah keluar, diikuti oleh Sekretaris Cha. Ia tidak melihat Seo-ah pada awalnya, matanya lurus ke depan, sudah fokus pada agenda berikutnya. “Pastikan tim legal meninjau ulang klausul nomor tiga belas dalam kontrak dengan pemasok dari Brazil itu,” kata Jin-hyuk pada Sekretaris Cha, suaranya sedingin biasanya. “Saya mencium ada potensi ambiguitas di sana.” “Baik, Daepyo-nim.” Ini adalah kesempatannya. Sekarang atau tidak sama sekali. Dengan jantung yang berdebar di tenggorokan, Seo-ah melangkah maju. “Jin-hyuk-ssi!” panggilnya, suaranya lebih terdengar seperti pekikan kecil. Jin-hyuk berhenti. Ia menoleh, dan saat matanya tertuju pada Seo-ah, ekspresinya tidak berubah, namun suasananya langsung menjadi dua derajat lebih dingin. “Yoon Seo-ah-ssi.” Ia tidak bertanya apa yang gadis itu lakukan di sini. Nada bicaranya menyiratkan bahwa kehadiran Seo-ah adalah sebuah interupsi yang tidak diinginkan. Seo-ah merasa seluruh naskah permintaan maaf yang sudah ia hafal di kepalanya menguap begitu saja. Ia hanya bisa membungkukkan badannya dalam-dalam. “Saya… saya ke sini untuk meminta maaf. Soal kejadian di restoran malam itu. Saya sungguh… saya sangat, sangat menyesal. Saya benar-benar tidak sengaja.” Ia menyodorkan kotak hangwa di tangannya dengan kedua tangan. “Ini… ini sebagai permintaan maaf saya.” Jin-hyuk menatap kotak itu selama sedetik, lalu kembali menatap wajah Seo-ah yang memerah. “Sudah terjadi. Lupakan saja,” katanya singkat. Ia memberi isyarat pada Sekretaris Cha, yang dengan sigap mengambil kotak itu dari tangan Seo-ah. “Kami sedang terburu-buru.” Ia berbalik dan mulai berjalan pergi, jelas menganggap percakapan mereka sudah selesai. Bagi Seo-ah, penolakan halus itu terasa lebih menyakitkan daripada jika Jin-hyuk memakinya. Tapi di sisi lain, ada sedikit kelegaan. Selesai sudah. Ia berhasil meminta maaf. Sekarang ia bisa pergi dari tempat mengerikan ini. Dengan perasaan campur aduk, ia berbalik untuk menuju lift. Langkahnya terasa ringan karena lega, namun juga sedikit goyah karena gugup. Ia berjalan melewati sebuah area lounge eksekutif yang terbuka, di mana beberapa tamu penting sedang berdiri mengamati sebuah mesin aneh yang futuristik. Mesin itu adalah K-Barista 5000, prototipe robot barista terbaru dan kebanggaan tim R&D K-Beverages. Dengan lengan-lengan metaliknya yang presisi, mesin itu bisa membuat latte art yang lebih sempurna daripada barista manusia mana pun. Seo-ah, yang pikirannya masih kacau, tidak terlalu memperhatikan sekelilingnya. Hak sepatunya yang tinggi tiba-tiba tersangkut di tepi karpet tebal. “Oh!” pekiknya saat tubuhnya terhuyung ke depan. Dalam refleksnya untuk mencari pegangan, tangannya menggapai hal terdekat: sebuah troli stainless steel yang berisi cangkir-cangkir kertas, botol sirup, dan sekantong biji kopi untuk demonstrasi robot itu. Ini adalah keputusan yang akan ia sesali seumur hidupnya. Tangannya yang panik mendorong troli itu ke depan. Roda troli yang licin meluncur mulus di atas lantai granit, dan menabrak bagian bawah robot K-Barista 5000 dengan bunyi ‘DUG!’ yang keras. Untuk sesaat, tidak terjadi apa-apa. Lalu, robot itu mulai mengeluarkan suara-suara aneh. Bunyi bzzzt diikuti dengan lampu indikator yang berkedip-kedip merah. Robot itu, yang sedang dalam siklus membuat secangkir cappuccino, mengalami korsleting sistem yang fatal. Apa yang terjadi selanjutnya adalah sebuah bencana dalam gerakan lambat. Satu lengan robot yang memegang milk frother tiba-tiba bergerak liar, menyemprotkan s**u panas ke langit-langit seperti semburan sampanye yang salah arah. Lengan lainnya, yang seharusnya mengambil cangkir, malah menghantam tumpukan cangkir kertas, menciptakan longsoran putih yang berhamburan ke lantai. Katup uapnya terbuka dengan bunyi desis yang kencang, menembakkan uap panas ke udara seperti naga yang sedang marah. Dan yang paling parah… dispenser utama kopi, yang seharusnya meneteskan espresso dengan anggun, macet dalam posisi terbuka dan menyemprotkan aliran kopi panas bertekanan tinggi—bukan ke bawah, tapi ke samping. Tepat ke arah koridor. Kwon Jin-hyuk, yang baru saja melewati area lounge itu, mendengar keributan di belakangnya dan menoleh. Itu adalah kesalahan terakhirnya hari itu. SYUUUUTTT! Aliran Americano panas itu menghantamnya dengan presisi yang luar biasa, tepat di sisi tubuhnya. Kemejanya yang baru, jasnya yang bersih, semuanya kini basah kuyup oleh kopi panas. Keheningan total melanda lantai eksekutif itu. Robot K-Barista 5000 mengeluarkan bunyi bip terakhir yang menyedihkan lalu mati total. Para tamu penting menatap dengan mulut ternganga. Sekretaris Cha berdiri mematung, wajahnya adalah topeng horor yang sempurna, namun matanya berteriak histeris. Dan di tengah semua itu, berdiri Yoon Seo-ah. Rambutnya yang sempurna kini dihiasi beberapa tetes s**u. Ia menatap nanar pada kekacauan yang baru saja ia ciptakan. Ia menatap Kwon Jin-hyuk yang kini berdiri diam, meneteskan kopi dari ujung lengan jasnya ke lantai granit yang mengilap. Ia baru saja meminta maaf karena menumpahkan sup. Dan sekarang, ia telah menghancurkan prototipe bernilai ratusan juta won dan “memandikan” sang CEO dengan kopi. Misi “Damage Control”-nya tidak hanya gagal. Ia baru saja mendeklarasikan perang. Wajah Jin-hyuk tidak menunjukkan emosi apa pun. Tetap dingin. Tetap tenang. Namun, jika dilihat dari dekat, sebuah urat di pelipisnya berkedut. Sekali. Sebuah gempa bumi mikro di atas permukaan danau yang beku. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD