Perjalanan dari area lounge eksekutif ke kantor CEO terasa seperti parade paling memalukan dalam sejarah K-Beverages. Kwon Jin-hyuk berjalan di depan, langkahnya kaku dan cepat, punggungnya lurus seperti mistar baja. Setiap tetes kopi Americano yang jatuh dari ujung lengan jasnya ke lantai granit yang mengilap terasa seperti dentuman genderang perang di telinga para pegawai yang kebetulan menyaksikannya. Mereka yang berada di koridor langsung membeku, mata mereka membelalak ngeri, lalu secepat kilat menundukkan kepala dan berpura-pura sangat sibuk dengan pekerjaan mereka. Tidak ada yang berani menatap langsung, tapi semua orang mencuri pandang.
Di belakang Jin-hyuk, Sekretaris Cha Sung-jin mengikuti dengan wajah yang dipaksakan tetap tenang dan profesional, seolah mengantar bosnya yang baru saja basah kuyup karena kopi adalah bagian dari rutinitas hariannya. Namun, sudut bibirnya yang terus berkedut menunjukkan pertarungan batin yang hebat antara profesionalisme dan histeria.
Dan di paling belakang, berjalan dengan langkah-langkah kecil yang goyah, adalah Yoon Seo-ah. Ia mengikuti prosesi itu seperti seorang terpidana yang berjalan menuju tiang gantungan, terus menggumamkan rentetan permintaan maaf yang tak terdengar. “Maafkan saya… sungguh, saya tidak sengaja… maafkan saya…”
Saat mereka akhirnya masuk ke dalam kantor Jin-hyuk yang luas dan sunyi, pintu yang tertutup rapat seolah meredam semua suara, namun tidak dengan ketegangannya. Jin-hyuk berhenti di tengah ruangan, tidak duduk, tidak melakukan apa-apa. Ia hanya berdiri di sana, menetes. Kehadirannya yang basah dan berantakan terasa seperti sebuah anomali yang mengotori kesempurnaan ruangannya yang steril.
Di dalam benaknya, sebuah badai dingin sedang berkecamuk. Ini bukan sekadar masalah setelan jas yang rusak. Ini adalah pelanggaran. Pelanggaran terhadap kontrol. Pelanggaran terhadap ketertiban. Di depan tamu-tamu penting, di jantung kerajaannya sendiri, ia telah kehilangan kendali atas situasinya. Ia telah dipermalukan. Bukan oleh intrik bisnis saingannya, bukan oleh kegagalan pasar, tapi oleh seorang gadis canggung dan sebuah robot barista yang bodoh. Absurditas dari semua itu membuat amarahnya semakin membara, sebuah amarah dingin yang membeku.
Yoon Seo-ah tak berhenti membungkuk. Lagi dan lagi, pinggangnya menekuk dalam-dalam, sebuah gestur putus asa untuk meminta maaf atas apa yang terjadi, meski ia tahu ia tak bisa memperbaikinya.
“Jin-hyuk-ssi, saya… saya sungguh…,” ia memulai lagi, suaranya bergetar. “Saya akan bertanggung jawab penuh! Saya akan mengganti rugi semuanya! Jas Anda, robot itu, biaya pembersihan… semuanya! Ayah saya…”
“Cukup,” potong Jin-hyuk. Satu kata itu diucapkan dengan nada rendah, namun memiliki bobot yang mampu menghentikan sebuah truk.
Seo-ah langsung terdiam, tubuhnya masih dalam posisi membungkuk.
Jin-hyuk menarik napas dalam. Mencoba bersabar walau marah besar. Ia bisa melihat dari sudut matanya, sekretarisnya tampak mati-matian menahan tawa. Sekretaris Cha menggigit bagian dalam pipinya begitu keras hingga ia yakin akan berdarah.
“Pulang saja,” kata Jin-hyuk, suaranya datar dan kosong. “Sudah ku terima maafmu.”
Ia tentu saja risih dan malu kalau Seo-ah masih di sini. Ia perlu mengganti bajunya. Ia perlu membersihkan kekacauan ini dari pandangannya. Permintaan maaf gadis itu tidak ada artinya. Yang ia inginkan hanyalah agar gadis itu lenyap.
Namun, Seo-ah tidak bergerak. Ia begitu terperangkap dalam rasa malu dan paniknya hingga ia tidak tahu harus berbuat apa. Kakinya seolah terpaku di lantai. “Tapi, Jin-hyuk-ssi, saya benar-benar harus…”
Melihat urat di pelipis bosnya yang mulai berkedut—sebuah pertanda bahaya tingkat tertinggi—Sekretaris Cha yang cukup peka itu akhirnya bergerak. Ia melangkah maju dan menepuk pelan bahu Seo-ah.
“Nona Yoon, mari saya antar Anda keluar,” katanya dengan suara yang dibuat selembut mungkin. “Daepyo-nim perlu waktu untuk menenangkan diri.”
Sekretaris Cha dengan sopan namun tegas mulai membimbing Seo-ah menuju pintu. Tentu saja Seo-ah agak keras kepala. Bukan karena ia ingin menantang, tapi karena ia merasa jika ia pergi sekarang, kesalahannya akan menjadi permanen.
“Tapi saya harus memperbaikinya, Sekretaris Cha,” bisiknya panik saat mereka sudah berada di luar kantor Jin-hyuk. “Saya tidak bisa pergi begitu saja. Ini… ini bencana.”
Sekretaris Cha menghela napas, kali ini ia menunjukkan sedikit simpati yang tulus. Ia menatap gadis muda yang tampak seperti akan menangis itu. “Nona Yoon, saya mengerti Anda tidak sengaja. Siapapun yang melihatnya pasti tahu itu.”
“Lalu kenapa dia begitu marah?” tanya Seo-ah, matanya sudah berkaca-kaca.
“Anda harus mengerti,” kata Cha, merendahkan suaranya. “Daepyo-nim adalah orang yang paling menghargai kontrol dan ketertiban di atas segalanya. Apa yang terjadi hari ini… adalah mimpi buruk terbesarnya. Bukan karena kopi atau jasnya. Tapi karena kekacauannya. Karena hal itu tidak bisa diprediksi.”
Ia menatap lurus ke mata Seo-ah, memberikan nasihat terakhir yang tulus. “Jika Anda benar-benar ingin meminta maaf, cara terbaik adalah dengan memberinya ruang. Ia membenci situasi yang tidak bisa ia kendalikan. Saat ini, kehadiran Anda adalah bagian dari situasi itu.” Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan lebih blak-blakan namun tetap dengan nada yang berusaha menenangkan.
“Pulang saja, Nona. Kalau kau terus di sini, bosku akan semakin membencimu.”
Kata “membencimu” itu menghantam Seo-ah lebih keras daripada semburan kopi panas tadi. Itulah hal terakhir yang ia inginkan. Wajahnya yang tadinya panik kini berubah menjadi sedih dan pasrah. Ia akhirnya mengerti.
“Baik,” bisiknya. “Terima kasih, Sekretaris Cha.”
Ia membungkuk dalam-dalam sekali lagi pada Sekretaris Cha, lalu berbalik dan berjalan cepat menuju lift, tidak berani menoleh ke belakang. Ia hanya ingin menghilang.
Sekretaris Cha memperhatikannya pergi, lalu kembali masuk ke dalam kantor bosnya. Jin-hyuk sudah melepas kemejanya yang basah dan kini hanya mengenakan kaus dalam putih, memperlihatkan bahunya yang lebar. Ia sedang membersihkan sisa kopi di wajahnya dengan sapu tangan.
“Sudah pergi?” tanyanya tanpa menoleh.
“Sudah, Daepyo-nim.”
“Bagus.”
Sekretaris Cha ragu-ragu sejenak. “Haruskah saya siapkan proposal penolakan resmi untuk Pimpinan Yoon?”
Jin-hyuk berhenti, menatap pantulan dirinya di jendela yang gelap. Wajahnya tampak lelah. “Tidak perlu,” katanya. “Saya rasa Pimpinan Yoon sudah bisa menyimpulkan sendiri setelah insiden hari ini.”
Ia berjalan menuju sofa dan duduk, memijat pelipisnya. “Batalkan semua sisa jadwalku hari ini. Aku akan pulang.”
“Baik, Daepyo-nim.”
Saat Sekretaris Cha hendak keluar, Jin-hyuk memanggilnya lagi. “Sekretaris Cha.”
“Ya, Daepyo-nim?”
“Hubungi tim R&D,” kata Jin-hyuk, matanya menatap kosong ke depan. “Katakan pada mereka untuk mengirimkan tagihan perbaikan K-Barista 5000 itu ke Grup Seoryu.”
Sekretaris Cha sedikit terkejut, lalu ia tersenyum tipis. Ternyata, bosnya tidak akan membiarkan insiden ini lewat begitu saja. Sang Raja Es mungkin basah kuyup, tapi ia tetap seorang raja.
***