I

1102 Words
Part 1. Xavier Dan Sean "Menyingkir!" Fiza berdecak kesal. Selama tinggal di dalam istana ini, Sean selalu saja memarahinya tiap kali mereka bertemu. Padahal Fiza tidak pernah membuat masalah dengan pria itu. Bahkan sebisa mungkin dia menghindari pria dingin itu. Lantas, apa yang membuat Sean bersikap demikian? "Seluas ini jalan kak, kenapa kakak menyuruh Fiza menyingkir?" kesal Xavier. Diam-diam Fiza tersenyum senang ketika mendengar pembelaan Xavier. Meski menciptakan karakter Xavier dingin seperti Yu Han, pria itu tidak bersikap dingin kepadanya sama sekali. Selama tinggal di sini, Xavier lah yang mengenalkan banyak hal kepadanya. "Dia menghalangi jalanku," kata Sean datar. Gadis berhanfu jingga tersebut menyingkir dengan perasaan yang sangat dongkol karena tidak mau memperpanjang masalah dengan Sean. "Fiza, lain kali jangan mau di perintahnya. Dunia ini tidak harus tunduk di bawah kuasanya." sinis Xavier seraya menarik tangan Fiza untuk pergi dari sana. "Kenapa kau selalu membelanya? Apakah kau menyukainya, hah?!" sentak Sean. Selama ini adiknya tidak pernah dekat dengan perempuan lain selain mama dan kembarannya. Xavier begitu anti dengan perempuan lain. Tapi, kenapa dengan Fiza, Xavier bisa begitu dekat? Bahkan sering membela gadis itu. Xavier menatap Sean tajam. "Bukan urusanmu, kak!" Kembali menarik Fiza menjauh dari sana. Gadis itu hanya bisa pasrah dan terus mengikuti langkah Xavier. "Fiza, aku ingin keluar istana." Gadis itu tertawa kecil. "Kenapa melapor padaku?" Xavier mencubit pipi chubby Fiza gemas. "Hanya ingin memberitahu. Aku takut nanti kau mencariku. Atau, apakah kau ingin ikut bersamaku?" Fiza menggeleng pelan. "Kapan-kapan saja. Aku lelah seharian ini menghadapi kelakuan kejam kakakmu." curhatnya. Xavier menghela nafas dan mengelus puncak kepala Fiza lembut. "Kalau dia menjahatimu lagi, katakan saja kepadaku. Aku akan menegurnya langsung." Fiza mengulum senyum dan mengangguk patuh. "Aku pergi dulu. Jaga diri baik-baik." Xavier menepuk lembut puncak kepala Fiza sebelum pergi. Setelah punggung Xavier tidak terlihat lagi, Fiza tidak dapat lagi menahan rasa bahagia yang membuncah di dalam dadanya. "Oh my god! Xavier manis banget sih. Aku sampai baper tingkat akut." Gadis itu tersenyum-senyum sendiri. Memejamkan mata seraya menangkupkan kedua tangannya di depan d**a. "Udah ganteng, tinggi, manis lagi." gemasnya. "Ya tuhan, dia sosok lelaki sempurna yang selama ini ku idam-idamkan." Fiza melompat-lompat kesenangan, lupa diri. "Cih, dasar gadis aneh." Tingkah absurd Fiza langsung terhenti mendengar decihan sinis Sean. Mengigit bibir bawahnya malu seraya membalikkan tubuh dengan canggung. Matanya langsung bertatapan dengan sorot mata dingin dan menghina Sean. "Sejak kapan kakak ada di sana?" ringisnya malu. "Cuih." Fiza melongo melihat Sean meludah sebelum berbalik, meninggalkannya. Jujur, Fiza merasa harga dirinya terinjak. Gadis itu menatap punggung Sean dengan tatapan penuh permusuhan. "Tuh orang kok jahat banget sih." geramnya sembari mengepalkan tangan kesal. "Beda banget dengan Xavier." Meremas kesal hanfu yang di kenakannya mengingat kelakuan Sean. "SEALAN!!!!!" Tanpa sengaja Fiza mengeraskan suaranya akibat terlampau kesal. "Ups." Gadis itu refleks menutup bibirnya dengan tangan. Sean yang belum terlalu jauh dari Fiza tentu saja mendengar suara gadis itu. Pangeran tampan itu segera berbalik dan menatap Fiza tajam. Fiza yang di tatap langsung ciut dan segera melarikan diri. "BERHENTI!!" Di hiraukannya teriakan Sean karena yang ada di dalam otaknya hanya lah lari. Dia tidak ingin menghadapi tingkah menyebalkan Sean lagi. "GADIS JELEK!! BERHENTI!!" Fiza menengok ke belakang dengan perasaan was-was. Jangan sampai dia tertangkap Sean kalau tidak ada Xavier. Naas, Fiza terjatuh dari tangga dan berguling-guling di sana akibat tidak melihat jalan dengan baik. "ASTAGA! FIZA! CEPAT PANGGILKAN TABIB!" **** Fiza mengelus pelan kepalanya yang berdenyut sakit. "Ini semua Sean penyebabnya." kesalnya mengingat kejadian beberapa waktu yang lalu. "Kau sendiri yang terjatuh, jangan salahkan aku atas tindakan bodohmu itu!" Fiza berjengkit kaget mendengar desisan Sean. Ia mendongak sehingga mata coklatnya langsung bertemu dengan mata elang milik Sean. Dan lagi-lagi Sean tersenyum sinis. "Dasar gadis aneh!" Fiza mendengus keras. "Kau yang aneh!" Umpatnya seraya memutar bola mata malas. "Sudahlah! Pergi sana! Bertemu denganmu membuatku sangat muak." Fiza yang sudah terlampau kesal tidak lagi mempedulikan rasa takut dan was-was yang selama ini di rasakannya di dekat Sean. "Apa kau bilang?! Muak?!" bentak Sean dengan wajah merah padam. Fiza menatap datar. "Kau tidak tuli, bukan?" Wajah Sean semakin merah. Pria itu mendekat dan mencengkram dagu Fiza kuat. "Berani sekali kau berkata seperti itu kepadaku! Ingat lah! Aku adalah seorang putra mahkota dan kau hanya lah gadis yang tidak jelas asal usulnya. Kau harusnya bersujud di kakiku!" Senyuman sinis kembali terbit di bibir Sean. "Kau pikir, aku tidak tahu ketika kau sering mengamati ku dari kejauhan hah?" Padahal Fiza sebenarnya hanya tidak sengaja melihat Sean. "Bagiku kau hanya lah gadis sok polos. Menipu semua orang dengan wajah sok polosmu itu. Padahal pada dasarnya kau sama saja dengan gadis lain." Tidak! Fiza bukan lah gadis seperti itu! "Kau hanya lah gadis murahan. Kau menggoda adikku dan kau juga menargetkan aku sebagai korban mu." Mungkin jika Sean berkata manis, Fiza akan berwow ria mendengar perkataan Sean yang panjang lebar. Tapi, kali ini, perkataan Sean menyentil hatinya. "Kau tidak lah berarti di sini. Keberadaanmu seperti parasit. Menempel sana sini demi bertahan hidup. Kau tidak memiliki harga diri, gadis jelek." Tes! Air mata Fiza menetes tanpa di sadarinya. Ya, keberadaannya di istana ini hanya lah parasit. Tidak ada hal berarti yang dapat dilakukannya. Seperti kata Sean, dia parasit. "Pergi kau dari istana ini! Aku muak melihat wajah sok polosmu itu!" Sean mendorong Fiza sehingga gadis itu terjerembab ke tanah. Tanpa berkata apa pun lagi, Sean meninggalkan Fiza yang menangis pilu. "Bukan keinginanku berada di sini." raungnya. "Jika saja paman sialan itu tidak membunuhku. Aku akan menjalani hidup dengan normal. Belajar dan gila-gilaan dengan para sahabatku di sekolah. Bukan hanya berdiam diri di dalam istana ini layaknya parasit seperti yang kau katakan." Air matanya semakin menetes deras mengingat kenangan semasa dirinya hidup dulu. Orangtua yang sering memarahinya karena tidak memberi kabar. Adik-adik yang sering menjahilinya ketika pulang ke rumah. Para sahabat yang selalu ada untuknya. Membantunya di setiap kesusahan. Semuanya berputar ulang, layaknya sebuah kaset. Jika dulu dia menginginkan hidup yang tidak monoton, sekarang dia menginginkan hidup kembali seperti dulu lagi. Ketika kehilangan segalanya baru lah dia merasakan apa yang selama ini di laluinya berharga. "Aku hanya parasit di sini hikss.." Mengigit bibir bawahnya kuat, menahan isakan. "Aku akan pergi. Aku tidak mau harga diriku di injaknya lagi." Dia berdiri seraya mengusap air matanya kasar. "Aku pasti bisa hidup sendirian di dunia asing ini." Dengan langkah yang pasti dia keluar dari dalam istana lewat gerbang belakang. Meski keraguan mengisi relung hatinya, namun, rasa sakit hati lebih mendominasinya. Ia menoleh ke belakang untuk yang terakhir kalinya. "Selamat tinggal." Dan mulai berjalan menjauh dengan air mata yang terus mengalir. Melangkah tanpa tujuan seorang diri. -Tbc-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD