II

1312 Words
Part 2. Lelaki Tsundere Hujan mulai turun, di iringi oleh gemuruh kecil. Orang-orang berlarian untuk mencari tempat berteduh, kecuali seorang gadis yang melangkah dengan sorot mata sendu dan tak berdaya. Ia tidak berniat untuk mencari tempat berteduh sedikit pun seperti orang lain. Dia begitu pasrah. Membiarkan hujan membasahi tubuh mungilnya dan tanpa siapa pun ketahui, gadis itu menangis di bawah guyuran hujan. 'Bagaimana selanjutnya? Aku harus tinggal dimana? Bagaimana caraku bertahan hidup sendirian di sini? Papa, mama, tanpa kalian aku memang lah bukan apa-apa di dunia yang kejam ini.' Fiza terus bergumam di dalam hati. Meratapi nasib malangnya. 'Bagaimana kabar kalian semua di sana? Apakah kalian sudah tenang di sisi-Nya?' Gadis itu mendongak ke langit nan mendung. Matanya terpejam, merasakan sensasi air hujan yang menetesi wajahnya. 'Aku tidak baik di sini, ma. Aku ingin bersama kalian.' Senyuman getir muncul di bibirnya. Sekarang hidupnya di ujung tanduk. Tidak ada tempat tinggal, tidak ada orangtua dan sahabat, tidak ada makanan, dan tidak ada yang di kenalinya. Menyedihkan. Cukup lama meratapi nasib menyedihkannya hingga tidak terasa Siang telah berganti dengan malam. Hujan pun sudah berhenti. Pakaian Fiza sudah kering akan tetapi gadis itu terlihat sangat kedinginan sekarang. Terbukti dari tubuh mungilnya yang gemetar. Meskipun tubuhnya gemetaran, ia tetap melanjutkan langkahnya sehingga langkah kecilnya tersebut terhenti kala melihat sebuah gubuk tua yang tidak berpenghuni. Di bawah sinar bulan purnama, Fiza dapat melihat gubuk itu dengan sangat jelas. Dia bisa saja beristirahat di dalam sana, akan tetapi dia takut. Takut jika ada penghuni rumahnya. Hantu. Namun, suasana yang mendesak membuatnya membuang jauh rasa takutnya. Dengan jantung yang berdegup kencang ia mulai masuk ke dalam gubuk. "Kalau kalian ada, tolong jangan ganggu aku." bisiknya pada penghuni rumah (jika ada) setelah masuk ke dalam gubuk. Fiza menghidupkan api di perapian hanya dengan mengandalkan batu dan ranting kayu. Meski belum pernah melakukan hal ini sebelumnya, dia tetap optimis untuk melakukannya. Jika dulu dia selalu mengandalkan teman, maka sekarang dia hanya bisa mengandalkan diri sendiri. Sejam kemudian baru lah dia berhasil menghidupkan api. Tangannya bahkan sakit dan memerah. "Ternyata hidup tanpa orangtua dan teman semenyedihkan ini." kekehnya miris. "Dulu aku menyia-nyiakan mereka, tetapi sekarang aku ingin mengulang waktu bersama mereka lagi. Jika saja bisa, aku akan menggunakan waktu bersama mereka dengan sebaik-baiknya." Fiza memejamkan matanya. Meresapi kesendirian dan kesuraman yang dirasakannya itu hingga tanpa sadar jatuh ke alam mimpi akibat terlampau kelelahan. **** Esok harinya Fiza keluar dari dalam gubuk dengan senyuman penuh semangat. Dia akan buktikan kalau dia bisa hidup tanpa bantuan siapa pun. Sekarang, misinya adalah mencari makanan. Karena tidak punya uang, maka dia akan mencari beberapa buah-buahan di dalam hutan. Orang-orang yang dilaluinya, menatap dirinya dengan tatapan aneh. Mungkin karena fisik Fiza berbeda dengan mereka semua. Fiza pendek dan kecil. Mungkin jika dibandingkan dengan Xavier, kepala Fita hanya mencapai dadanya saja. Kulitnya berwarna kuning langsat sedangkan orang-orang di era ini berkulit putih, kecuali para sebagian rakyat tentunya. Matanya pun tidak sipit seperti mereka. Dugh! Fiza tersentak merasakan kepalanya menabrak d**a bidang seseorang dan refleks mundur beberapa langkah. "Pulang!" Fiza mendongak dan menatap sinis orang yang berbicara padanya itu. "Untuk apa aku pulang ke sana kalau keberadaanku hanya di anggap sebagai parasit?" Pria itu menatapnya datar. "Keberadaanmu memang parasit. Perlahan-lahan mulai mengambil sesuatu berharga dalam hidupku dan aku akan mati secara pelan-pelan." Kerutan muncul di dahi Fiza karena kesulitan menerjemahkan ucapan Sean. "Apa maksudmu?" "Pulang!" sahut Sean tanpa repot-repot menjawab pertanyaan Fiza. "Aku tidak mau! Aku bisa hidup sendiri di dunia asing ini!" Ia berbalik dan melangkah cepat. Berusaha menjauh dari pria yang selalu membuatnya kesal dan sakit hati. "Berhenti!" Fiza mengabaikan perintah Sean. Sudah cukup harga dirinya di injak-injak oleh pria itu. Sekarang tidak akan di biarkannya lagi. Biarlah dia hidup dalam kesengsaraan di dunia ini asal tidak bertemu dengan pria jahat itu. "Dasar keras kepala." Tubuh kecil Fiza melayang karena Sean menggendongnya secara paksa. Gadis itu menatap kesal dan menggoyang-goyangkan kakinya agar Sean kewalahan dan menurunkannya. "Turunkan aku!!" Bentaknya kesal. Sean lagi-lagi menatap Fiza datar. "Apa kau sama sekali tidak mengerti maksud ucapanku sebelumnya?" Mengambil nafas untuk sejenak sebelum menatap Fiza dalam. "Semenjak kau hadir. Kau mulai mengambil sesuatu yang berharga dalam hidupku." Kerutan di dahi Fiza semakin terlihat. Ia bingung dengan ucapan berbelit-belit Sean. "Apa maksudmu sebenarnya?" "Hatiku." Deg! Hatiku~ Mungkin jika dia mempunyai perasaan tertentu ke Sean, Fiza akan merasa sangat bahagia mendengar ucapan Sean. Tetapi, sayangnya dia tidak memiliki perasaan apa pun ke Sean. Sakit hati atas tingkah Sean selama ini membuatnya berkomitmen untuk tidak menaruh perasaan apa pun kepada pria itu. Untuk melihat Sean saja dia muak. Bahasa singkatnya, dia sudah ilfeel ke Sean sejak pertama bertemu. Fiza memang pecinta cogan, akan tetapi di dalam kamus hidupnya tidak ada istilah merendahkan diri untuk mendapatkan cogan tersebut. Jika cogan itu menyukainya, dia bersyukur. Jika tidak suka, bodo amat. Itu lah prinsip Fiza selama ini. "Kenapa kau diam saja?" heran Sean. 'Aku pikir gadis jelek ini akan tersenyum malu-malu dan langsung memelukku karena bahagia. Tapi, reaksi macam apa ini?' Fiza mengerjap pelan mendengar suara aneh itu. Berusaha mengabaikan dan tak ambil pusing karena hanya menganggapnya sebagai halusinasi. "Lalu aku harus bagaimana?" Kesal, Sean melepaskan tubuh kecil Fiza hingga gadis itu berteriak kesakitan akibat mendarat kasar di tanah. "APA KAU TIDAK BISA BERSIKAP LEMBUT SEDIKIT SAJA?!" teriak Fiza kesal setengah mati. "Pulang!" Sean berbalik dan mulai melangkah pergi. "CEPAT IKUTI AKU, SEBELUM AKU MENYERETMU PULANG." Seketika Fiza ingin menangisi sikap arogan Sean. Namun, apalah daya, air matanya tidak mau keluar sama sekali. Tak ingin membuang waktu, gadis itu segera berdiri. Ia yakin, Sean tidak akan main-main dengan ucapannya. "Apa dosaku hingga bertemu dengan orang sejahat dia?" gumamnya seraya menatap punggung lebar Sean. Helaan nafas kasar keluar dari hidungnya. "Lihat saja, sealan. Di dunia nyata aku memang tidak bisa membalasmu tapi di dunia fiksi akan aku buat kau menderita." Senyuman miring muncul di bibirnya. Banyak ide jahat yang berkeliaran di dalam otaknya. Setiba di istana nanti dia akan menulis cerita baru. Dengan semangat berkobar Fiza menyusul Sean. Bahkan mendahului pria yang di capnya jahat itu. "Tidak ada istilahnya seorang putra mahkota berjalan di belakang seorang kaum rendahan." 'Kenapa mulutnya tajam sekali?' Batin Fiza kesal. Gadis itu tersentak kaget kala Sean menarik tangannya. "Berjalan di sampingku!" 'Karena aku tidak suka melihat sekumpulan pria sialan itu menatapmu dengan tatapan tertarik.' "Tidak mau!" Fiza berusaha mengabaikan suara aneh yang tiba-tiba terdengar olehnya. "Jangan membantah perintah seorang putra mahkota!" Sean kembali bertindak arogan. 'Mulut sialan!! Kenapa setiap berbicara dengannya aku selalu malu untuk berbicara baik-baik??? Padahal aku ingin berbicara dengan baik kepadanya. Aku tidak ingin dia membenciku.' Fiza meraup wajahnya kasar. Sepertinya dia mulai gila. Bagaimana mungkin dia bisa membaca pikiran Sean? "Kau kenapa?" Fiza mengabaikan tatapan aneh Sean. Perlahan, dia menepis tangan Sean. "Jadi pulang 'kan kita?" ketusnya. Mereka kembali ke istana dalam diam. Sean sama sekali tidak berniat membuka suara. Begitu pun dengan Fiza. 'Sebenarnya dia itu kenapa sih? Padahal tadi dengan manisnya dia mengatakan 'hatiku' tapi tindakannya sama sekali tidak mencerminkan ucapannya. Apa dia berkepribadian ganda? Tapi, perasaan aku tidak membuatnya berkepribadian ganda. Ah, sangat memusingkan menghadapi laki-laki sepertinya.' 'Masalah membaca pikirannya tadi. Apakah aku punya kemampuan membaca pikiran seperti di cerita yang sering k*****a?' 'Apakah aku hanya bisa membaca pikiran seseorang ketika bersentuhan? Lebih baik aku pastikan saja sekarang deh.' Fiza sok limbung ke samping. Untung saja Sean berbaik hati menahan tubuh mungilnya. 'Dia kenapa? Apakah dia pusing?' tanya Sean dalam hati. Mata Fiza membulat. Ternyata dugaannya benar. "Jalan yang benar! Lain kali jika kau terjatuh aku tidak akan menahanmu lagi." Fiza tersenyum miring. Dasar Sean! Lain di mulut, lain di hati. "Baiklah, baiklah. Aku akan lebih hati-hati. Aku hanya merasa sedikit pusing." kekehnya. Sean tiba-tiba berjongkok di depan Fiza sehingga membuat gadis itu merasa kebingungan. "Kenapa kau berjongkok di depanku?" "Naik ke punggungku!" -Tbc-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD