Ungkapan Hati Mas Evin

1028 Words
Pagi yang cerah tanpa ada awan yang menyelimuti. Aku berjalan menyusuri jalan setapak ditemani Mas Evin. Melangkah menuju pemakaman. Mengunjungi Mas Hamdan. Aku sangat merindukannya. Bertahun lamanya tak pernah mengunjungi Mas Hamdan. Pemakaman masih sama seperti terakhir kali aku berkunjung. Bunga kamboja merekah dan harum. Baunya semerbak mengundang kumbang. Wangi. Beberapa tangkainya yang kering, berguguran. Makam Mas Hamdan bersih dan terawat. Aku bertelut di tanah makam. “Mas ... aku rindu. Sangat rindu. Maafkan aku, karena tak pernah mengunjungimu. Bukannya aku lupa, tapi semua demi masa depanku.” Aku mengusap nisan Mas Hamdan sambil terisak. Bayang wajah Mas Hamdan masih terlihat jelas di kepala. Kesedihan yang mendalam masih tersimpan di hati. Walau sebenarnya aku sedikit lupa masalah yang menimpaku dulu. “Aku masih ingat sekali senyummu yang menawan, Mas. Wajah yang selalu berseri sepanjang hari. Ah, semua tentangmu nggak akan bisa hilang dari ingatanku. Bahkan, rasa cinta ini masih ada.” Aku tersenyum getir. Hati semakin teriris perih. “Sudahlah, Cit. Hamdan sudah tenang di sana. Dia sudah bahagia bertemu Rabbnya.” Mas Evin menepuk pundakku pelan. Aku tetap bergeming. Menelan ludah. Pahit. Seperti takdir yang menimpaku. Kemudian, aku mengangkat tangan dan berdoa. Mengusap wajah secara pelan. Menarik napas dalam, mencoba mengikhlaskan semua yang terjadi pada hidupku. Allah-lah yang berencana semua ini. Walau aku membenci Tuhan, tak ada salahnya berdoa untuk Mas Hamdan. Pasti doaku didengar, bukannya Tuhan itu Maha Pendengar? Tak pilah-pilih siapa yang berdoa? Entahlah, aku juga tak tahu doaku diterima atau tidak. Toh, setiap manusia berhak berdoa. Perlahan aku bangkit. “Ayo, Mas, kita pulang.” Mas Evin mengangguk. Lalu, mengikuti langkahku. Kami berjalan bersisian meninggalkan makam, menuju jalan raya. “Cit, gimana kalau kita jalan-jalan? Mumpung kamu di sini,” ucap Mas Evin ketika sudah sampai di tempat penitipan sepeda motor. “Ke mana? Ke pantai?” Aku menatap Mas Evin. Mas Evin mengangguk. Aku pun menyetujuinya. Lalu, Mas Evin memacu sepeda motor menuju pantai. Kami saling membisu dalam perjalanan. Entah, sudah bertahun-tahun lamanya, tapi rasa pada Mas Hamdan belum hilang juga. Aku menelan ludah. **** Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam, kami melewati hutan yang lebat. Tak lama kemudian, kami langsung disuguhi aroma laut yang segar dan khas. Mas Evin langsung memarkirkan motornya. Sehabis itu, kami melangkah menyusuri pasir putih yang terhampar luas. Kami duduk di atas kursi panjang kayu panjang di pantai. Menatap hamparan lautan lepas. Lalu, Mas Evin mengajakku berjalan menyusuri pantai. Berjalan di atas pasir yang lembut. Meskipun hari sudah agak siang, tetapi udara berkabut tipis. Desau angin laut yang berembus terasa membelai dengan lembut relung-relung jiwa. Menerpa wajah dan rambutku. Kedamaian yang nyaris sempurna. Aku menghirup udara pantai pagi yang segar. Tampak anak-anak berlarian di sepanjang pasir putih nan bersih. Setelah capai berjalan, kami duduk di bangku kayu panjang di bibir pantai. Melihat hamparan pasir putih yang bersih nan indah. Menikmati ombak yang berbuih putih. Bergelombang naik dan turun. Berkejar-kejaran menampakkan keriangan yang sangat menawan. Dengan menikmati lautan seperti ini, sejenak aku bisa melupakan masa-masa sulit dalam hati. Menghapus kenangan bersama Mas Hamdan. Berusaha menata hati. Tiba-tiba saja aku teringat Althan. Sedang apa dia? Apa dia baik-baik saja? Semoga takdir bisa mempertemukan kembali aku dengannya. “Citya!” Panggilan Mas Evin membuyarkan lamunanku. Aku menoleh kaget saat Mas Evin menepuk pipiku secara lembut. “Kebiasaan, deh. Melamun. Orangnya di sini, entah pikirannya ada di mana!” ketusnya. “Maaf, Mas.” Aku tersenyum menatapnya. Mas Evin meraih jemariku dan menggenggamnya dengan erat. Mengajakku lagi untuk menelusuri pantai. Menyaksikan keelokan pantai di senja hari. Tanpa kami sadari ternyata hari sudah senja. Menatap indahnya matahari terbenam di ufuk barat. Langit tampak kemerahan. Suara deburan ombak menambah suasana begitu molek. Atma terasa damai dan nyaman. “Citya.” Aku menoleh dan kedua alis bertaut. Wajah Mas Evin tampak aneh. Dia seperti memikirkan sesuatu. “Uumm ... apa kamu masih mencintai Hamdan?” Mas Evin menoleh. Aku mengernyitkan dahi. Kenapa Mas Evin bertanya seperti itu? Aku menatapnya meminta penjelasan. “Kamu masih selalu mengingatnya?” tanyanya lagi. Aku menelan ludah. Mengalihkan pandangan ke arah lain. Aku bingung harus menjawab apa. Cinta ini memang masih ada dan nama Mas Hamdan masih tersimpan rapi di hati. “Bagaimana bisa aku melupakannya?” Aku tertawa kecil. Mas Evin tampak gusar dan tersenyum kecut. “Hhmmm, ya sudah. Lupakan saja pertanyaan konyolku tadi.” Pandangan Mas Evin lurus ke depan. Kami terus melangkah tanpa tujuan yang jelas. Lalu, hening dan senyap. Hanya suara deburan ombak dan detak jantungku yang bekerja lebih cepat. “Kamu tahu, Cit. Selama ini aku hidup seorang diri, tak punya saudara. Ditinggal orang tua sejak kecil.” Mas Evin mengamatiku dalam. Aku tetap terdiam, lalu menoleh. Tak mengerti maksud pembicaraannya. Tampak wajah Mas Evin aneh. Tak paham dengan perubahan air mukanya. “Bersamamu aku merasa punya teman, saudara dan adik. Hariku terasa berwarna. Ketika tahu kamu akan menikah waktu itu, jujur hatiku nyeri. Tapi aku bisa apa? Kamu akan bahagia dengan orang yang dicinta.” Aku masih saja terdiam. Masih mendengarkan apa yang ingin diucapkan Mas Evin. Tampak dia menghela napas. “Saat kamu gagal menikah ketika itu, aku bahagia. Mungkin aku termasuk orang jahat. Ternyata kamu malah memilih pergi, dan aku terpuruk lagi.” Manik hitam itu mengawasi selidik. Aku mengalihkan pandangan. Tak berani membalas tatapan tajam Mas Evin. Mulut terasa kelu. Tak mampu berkata apa pun. Hening. Sunyi. Senyap. Suara deburan ombak saja yang terdengar. *** Masih tetap hening. Hanya suara embusan napas dan deburan ombak yang terdengar. Sesekali aku melirik Mas Evin. Tampak gelisah dan bingung. “Mas,” panggilku. Dia menoleh sekilas tanpa suara. Iris coklat itu kembali mengawasi lautan. Aku jadi salah tingkah dan bingung setelah mendengar perkataan Mas Evin. Apa mungkin dia mencintaiku? Tak berani bertanya lebih banyak lagi. Tak mau mendengar pengakuan cintanya. Aku tidak ingin hubungan kami menjadi renggang. Padahal belum tentu Mas Evin menyayangiku. Lagian, kami saudara sepupu. Mungkin hanya rasa kasih pada adiknya. Aku menelan ludah. Tak jadi bertanya apa pun. Akhirnya, kami hanya saling membisu. Memandangi panorama kecantikan pantai di malam hari. Deburan ombaknya terdengar bergemuruh. Suara jangkrik dan desiran angin malam terdengar seperti musik relaksasi. Beberapa mobil tampak melintas di sekitar pantai. Malam semakin larut, kami pun meninggalkan pantai. *** Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD