Kegalauan

1197 Words
Keesokannya. Pagi yang cerah dengan aktivitas kota yang padat. Matahari tampak menyembul dari tempat peristirahatannya. Langit tampak cerah, tanpa ada awan yang menutup. Sepagi ini jalanan Ibu kota sudah sesak dengan kendaraan yang berlomba ingin secepatnya sampai di tempat tujuan. Aku duduk di halte, menunggu datangnya bus kota. Tak perlu menanti lama, akhirnya bus tiba di hadapan. Langsung naik dan mencari tempat di dekat jendela. Lokasi favorit. Bisa dengan leluasa memandang pemandangan kota yang ramai. Bus melaju membelah jalanan kota yang padat. Di dalam bus aku melihat beberapa orang memakai blazer kantor. Iri jika melihatnya, karena tampak keren dengan pakaian seperti itu. Kapankah aku seperti mereka? Entah, hanya bisa berdoa dan berharap semoga lamaran yang sudan dikirim ke beberapa perusahaan diterima. Aku berjingkat kaget ketika bus berhenti di halte tujuan. Aku segera turun, setelah membayar ongkos. Kemudian melangkah menuju toko tempat bekerja. Ada kalanya aku merasa bosan dengan kegiatan yang sama setiap harinya. Menyalahkan takdir langit akan nasib yang menimpa. Sekolah tinggi dengan harapan memiliki masa depan yang cerah. Akan tetapi, malah tetap menjadi penjaga toko. Bahkan, seorang yang hanya lulusan SD pun bisa. Ah, kenapa aku harus mengalami seperti ini? Takdir macam apa ini? Saat aku mengutuk takdri, hati kecil berkata ini hanya sementara, akan ada waktu untuk bahagia dan takdir berpihak pada kita. Setidaknya itulah motivasi dalam diri. *** Sore menjelang senja, seperti biasa aku menghabiskan waktu duduk di taman kota. Menikmati pemandangan kota. Menyaksikan awan yang berwarna kuning keemasan. Terlihat gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi. Jalanan Ibu kota tampak macet. Serta wajah-wajah lelah orang yang baru pulang bekerja berlalu-lalang di jalanan. Kembali, aku merasa sendiri. Sepi. Althan –sahabatku satu-satunya— setelah wisuda pergi ke negara asalnya. Dua tahun sudah meninggalkanku sendiri di sini. Dia diminta ayahnya untuk mengurus bisnisnya di Turki. Saat seperti inilah, selalu teringat Mas Hamdan. Lelaki pujaan yang telah meninggalkan dunia untuk selamanya. Entah, sampai kapan namanya akan hilang dari hati. Setiap kali berusaha melupakannya, selalu saja tidak bisa. Bayangannya muncul di hadapan. Aku mengembuskan napas kasar. “Mas, lihatlah! Burung-burung yang terbang di langit senja, mereka tampak gembira. Saling menggoda satu sama lain ... aku iri melihatnya. Burung saja berbahagia karena berpasangan. Lalu, aku kapan?” Entah, apa yang direncanakan langit. Mengapa hidup dan takdirku semacam ini? Aku mendengus sebal. Hingga malam menjelang, aku tetap merenung dan melamun. Langit sudah gelap, bintang-bintang bertaburan di angkasa. Perlahan aku bangkit dan melangkah meninggalkan taman kota. Berjalan menyusuri trotoar. Terdengar bunyi bising kendaraan. Namun, sepi dan sunyi yang kurasa. Jiwa dan hatiku kosong, tak bersemangat menjalani kehidupan. Terlalu berat cobaan dan ujian ini. *** Ketika bosan dan lelah mulai menyerang, aku pun memutuskan untuk berkunjung ke kota keci. Paling tidak beberapa wakti sampai sedikit tenang. Aku rindu mama, Mas Evin, dan ... Mas Hamdan tentunya. Setelah menentukan hari H, aku menuju stasiun. Lebih suka naik kereta, karena biaya terjangkau. Tak mengapa meskipun perjalanannya memakan waktu yang lumayan lama. Hati terasa berbunga-bunga karena sebentar lagi akan bertemu dengan mama dan Mas Evin. Sungguh bahagia yang kurasa. Setelah sekian lamanya memendam rasa rindu. Aku menghela napas panjang. Perlahan Kereta Api melaju meninggalkan Ibu kota. Perjalanannya terasa menyenangkan jiwa. Aku menatap keluar jendela. Pemandangan yang sangat memesona. Kereta terus melaju, suara mesin diesel terdengar berdecit. Terlihat hamparan sawah di luar kereta. Berarti sebentar lagi sampai di kota kelahiran. Akhirnya, kereta berhenti di stasiun kota. Aku segera keluar dan melangkah keluar stasiun mencari angkota. Setelah menemukan segera naik, karena sudah penuh akhirnya kendaraan melesat. Sekian lama meninggalkan kota ini, ternyata mengalami banyak perubahan. Kota tak sekecil dulu. Pertumbuhan dan perkembangannya begitu pesat. Perbukitan sudah tidak sebanyak dulu. Rawa-rawa pun sudah ditimbun, yang kemudian didirikan bangunan tinggi. Perkembangan yang sangat bagus. Pasar tradisional pun telah berubah menjadi pasar yang rapi dan wangi. Jalanan pun tak lagi sekecil dulu. Lalu, terdapat taman kota yang indah. Trotoar pun sudah rapi. Aku berdecak kagum. Aku terkejut ketika kernet mengatakan telah sampai di tempat tujuan. Segera bergegas turun. Berjalan menuju rumah tercinta untuk bertemu mama. Tiba di rumah, tak banyak yang berubah. Pohon mangga di depan rumah masih sama seperti dulu. Halaman terlihat rapi. Bedanya sekarang, ada sebuah kedai kecil di teras. Kedai? Apa mama berjualan? Dahiku mengernyit. Aku pun mendekat agar rasa penasaran terjawab. Mama tampak melayani pembeli. Ah, iya mama berjualan kue. Pembeli begitu ramai. Kue buatan mama memang enak. Apalagi pie pisangnya. Ah, jadi ingin makan pie pisang. Pasti lezat. Aku tersenyum sendiri. “Mama!” teriakku ketika sudah dekat. Mama langsung menoleh. Wajahnya berbinar bahagia. “Citya ....” Mama menutup mulut dengan tangannya. Aku langsung masuk dan menghambur memeluk mama. Menangis dan tergugu dalam dekapannya. “Citya ... sangat merindukan mama,” ucapku sambil terisak. Mama terlihat lebih tua. Namun, wajahnya masih cantik seperti dulu. Lima tahun tidak bertemu, tak banyak yang berubah. Memang awet muda. Mama menyuruhku untuk masuk dulu dan beristirahat. Pasti capek karena sudah melakukan perjalanan yang panjang. Aku pun mengangguk. Mama dari dulu memang mengerti aku. *** Malam ini aku kembali ke rumah tercinta. Kamar tak ada yang berubah. Mama membiarkan susunan kamar seperti dulu. Terlihat bersih dan rapi. Sepertinya mama merawat dan menjaganya dengan baik. Aku berjalan menuju jendela dan membukanya. Menghirup udara dalam-dalam. Melihat pemandangan malam yang indah. Bintang bertaburan dan bersinar di langit. Kota kecil penuh kenangan. Sekarang sudah banyak mengalami perubahan. “Ingat rumah juga ternyata.” Terdengar suara seorang pria menggoda. Aku menoleh. Tampak Mas Evin tersenyum dan melangkah mendekat. Dia tidak berubah dari dulu. Selalu masuk kamar orang tanpa permisi. “Kebiasaan buruk yang nggak pernah hilang.” Aku mengerucutkan bibir. Mas Evin mendekat. “Enak, ya, hidup di Ibu kota? Sampai nggak ingat pulang,” lanjutnya. Aku tersenyum mendengar perkataannya. Tetap bergeming tanpa menoleh. “Hei! Kebiasaan dari dulu. Suka melamun!” ketusnya. Aku semakin tergelak. “Nggak kangen apa sama Mas?” Mas Evin meraih jemariku. Aku menoleh dan menatap wajah Mas Evin lekat. “Kangen banget,” jawabku. Aku menghambur memeluk Mas Evin. Ia pun mengeratkan pelukannya. Mengusap kepalaku dengan lembut. Kami terdiam. Menyalurkan rasa rindu yang lama terpendam. Aku mendongak menatap wajah Mas Evin. Sorot matanya tampak berbinar. Sebegitu rindunyakah, dia padaku? “Citya,” panggil Mas Evin. Aku mengurai pelukan. “Iya.” “Apa kamu akan kembali ke Ibu kota?” tanya Mas Evin. Aku mengangguk. Binar matanya kini meredup, itu yang kutangkap. Entah, kenapa dengannya. “Berapa lama bakal di rumah?” tanyanya lagi. “Entah, aku sendiri nggak ngerti. Mungkin sampai rasa rindu ini terobati.” Aku kembali memeluk Mas Evin. Dia pun mengeratkan pelukan, seolah tak ingin melepasnya. “Mas,” panggilku. “Hmmm ....” “Lepas, dong, sesek nih napas. Keteknya juga bau asem.” Aku menggodanya ssmbil menutup lubang hidung. Ia melepas pelukannya dan mencium keteknya sendiri. “Nggak kecut itu. Aku tadi mandi dulu sebelum ke sini.” Mas Evin menatapku bingung. Spontan aku langsung terbahak. “Malah tertawa.” Mimik wajah Mas Evin menunjukkan kebingungan. “Aku Cuma bercanda, Mas. Maaf,” ucapku sambil mengangkat jari telunjuk dan tengah membentuk huruf V. “Dasar pesek.” Mas Evin menoel ujung hidungku. Lalu, kami terdiam. Hening. Suara embusan napas yang terdengar. Menikmati indahnya malam yang berbintang. Rembulan masih malu-malu menampakkan dirinya. *** Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD