Pintu kamar rumah sakit terbuka, membuyarkan lamunanku. Aku menoleh, Mas Evin tersenyum dan duduk di samping ranjang. Dia menatapku dengan dalam. Membuatku merasa tak enak dan membuang pandangan. Aku benci dengan situasi seperti ini. Yang ada di pikiranku hanya Mas Hamdan. Andai saja Mas Hamdan tak meninggal, mungkin aku sekarang sudah bahagia, hidup bersama Mas Hamdan. Menikmati bulan madu yang indah sebagai pasangan pengantin yang baru. Ah, kenapa Tuhan harus mengambil calon suamiku? Tuhan! Kau begitu jahat! Sangat jahat, aku benci Kau! Aku meremas seprei rumah sakit dengan kuat. Rasanya aku ingin pergi saja dari duni ini, menyusul Mas Hamdan.
“Hai Citya. Gimana keadaanmu? Sudah agak baikan belum?” Mas Evin mengusap keningku.
Aku tetap bergeming dan membuang muka.
“Hei, mana Acitya yang kuat dan cerewet? Masak segitu aja udah lemah.” Mas Evin mengejekku.
Seketika aku menoleh dan pupil mataku membesar. Apa maksudnya bicara seperti itu?
“Maksud, Mas, apa?”
Mas Evin tersenyum kecut. Lalu, memegang tanganku dengan erat.
“Eemm, jangan tersinggung, dong. Kamu itu kuat, jadi jangan lemah kayak gini, hanya karena Hamdan telah pergi. Ingat masa depanmu masih panjang. Ayo, bangkit dan semangat.” Mas Evin menggenggam tanganku dengan erat dan meyakinkanku kalau aku baik-baik saja tanpa Mas Hamdan.
Aku melepas pegangan tangan Mas Evin. Kemudian mengembuskan napas panjang. Ah, Mas Evin tidak tahu rasanya kehilangan orang yang kita sayang. Jadi, Mas Evin bisa bicara dengan seenaknya sendiri. Aku terus menatap Mas Evin dengan tajam.
“Mas nggak tahu gimana rasanya kehilangan orang yang dicinta. Sakit sekali. Butuh waktu lama untuk bisa melupakannya, Mas.” Aku berkata dengan menahan isak.
“Tenang, Cit. Semua pasti ada hikmahnya. Allah punya rencana lain untukmu,” nasihat Mas Evin.
“Stop, Mas, jangan pernah sebut nama Allah lagi! Aku muak!” teriakku.
Pupil mata Mas Evin membesar. Ia menelisikku dengan tajam. Mungkin, dia heran dengan kata-kata yang keluar dari mulutku.
Iya, aku memang sangat benci dengan takdir yang menimpa hidupku. Tuhan telah merenggut kebahagiaan dan orang-orang yang begitu baik padaku. Tuhan tega mengambil semuanya dari hidupku. Aku benci Tuhan! Sangat benci!
“Istigfar, Cit. Kamu ngomong apa, sih? Nggak baik kayak gitu.” Mas Evin mencoba mengusap kepalaku dengan lembut. “Kamu harus ikhlas dengan semua ini, jangan salahkan Allah.” Mas Evin menatapku dengan pandangan sendu.
Aku tetap bergeming. Untuk saat ini aku memang muak dengan Tuhan. Benci! Jadi, semua omongan Mas Evin sama sekali tak masuk dalam hatiku. Bahkan aku sangat membenci Mas Evin. Lalu, aku mendorong Mas Evin agar dia menjauh dariku.
“Pergi dari sini kalau Mas cuma mau nasihatin aku! Pergi! Aku nggak butuh ceramah busuk Mas Evin!” teriakku dengan histeris.
Mas Evin lalu memelukku dengan erat. Dia memenangkanku. Aku terus terisak sambil memukul-mukul ranjang rumah sakit.
“Hhmm, baiklah, nggak usah bahas itu lagi. Gimana kalau kita jalan-jalan ke halaman rumah sakit, supaya pikiranmu nggan suntuk. Nggak bosan tiga hari di kamar mulu?” Mas Evin mengurai pelukan dan tersenyum menggoda. Mencoba mengalihkan pembicaraan.
Aku masih saja diam. Emosiku masih meledak.
“Citya. Maafin Mas ya? Mas janji deh nggak bakal ceramah-ceramah lagi.” Mas Evin mengacungkan dua jarinya membentuk huruf V. Emosiku perlahan mulai stabil. “Ayuk, jalan-jalan dulu,” ajak Mas Evin lagi.
“Memangnya boleh?” tanyaku dengan pelan.
Mas Evin mengangguk. Lalu, dia membantuku untuk bangun dan memegang infus. Kami berjalan bersisian menuju halaman belakang rumah sakit. Di sini aku bisa menghirup udara segar. Pikiran sedikit tenang, setelah berhari-hari berada di dalam ruangan berbau obat. Aku melihat banyak pasien dengan berbagai penyakit ada di sini. Aku menarik napas dalam, lalu duduk di bangku yang berada di bawah pohon beringin. Udaranya sangat sejuk.
“Gimana? Segar, kan?” Mas Evin menatapku dalam.
Aku mengangguk.
“Mulai sekarang kamu harus bisa mengikhlaskan kepergian Hamdan. Kalian memang belum berjodoh.” Mas Evin mengusap pundakku pelan.
“Iya, Mas. Tapi, entah bisa apa nggak. Rasanya aku nggak akan bisa menghapus nama Mas Hamdan dari sini.” Aku meletakkan tangan di d**a. Kemudian, aku menarik napas dalam. Rasanya sesak sekali.
Kemudian hening. Kami sama-sama larut dengan pikiran masing-masing. Hingga tanpa terasa matahari semakin condong ke ufuk barat. Mas Evin mengajakku kembali ke ruangan. Tiba di sana Mama sudah datang. Beliau tersenyum melihatku.
“Nah, gitu dong jalan-jalan biar nggak sumpek,” ucap Mama.
Aku hanya tersenyum, kemudian Mama dan Mas Evin membantuku berbaring. Kepalaku masih terasa sedikit pusing. Tak lama kemudian datanglah dokter laki-laki dan suster. Mereka memeriksaku. Menanyakan bagaimana kondisiku sekarang. Aku sudah semakin baik, walau masih sedikit pusing. Setelah memeriksa tensi darah. Infus pun dilepas. Akhirnya tanganku bisa bergerak bebas. Dokter pun mengatakan kalau besok aku sudah diperbolehkan pulang.
Terdengar Mama menarik napas lega. Dokter pun meninggalkan kami. Mas Evin juga pamit untuk pulang. Besok pagi berjanji akan ke sini untuk menjemput kami. Mama mengucapkan terima kasih pada Mas Evin karena telah membantu menjagaku selama di rumah sakit. Selalu ada kapan pun dibutuhkan.
Aku mencium tangan Mas Evin. Dia memang sosok kakak yang baik dan pengertian. Beruntung memiliki saudara sepertinya, walaupun bukan saudara kandung. Ya, walaupun bukan kakak kandung, tetapi Mas Evin sudah selayaknya kakak kandung. Dia selalu siaga kapan pun kubutuhkan.
Setelah kepergian Mas Evin, Mama memintaku untuk istirahat. Katanya aku harus banyak istirahat biar tidak stress. Namun, aku tidak bisa tidur lagi. Tak lama kemudian, datang pelayan rumah sakit mengantar makan malamku. Mama pun menyuapiku.
“Ayo makan dulu, Mama suap.” Mama mulai menyuapkan nasi.
Aku menggeleng, karena rasanya malas sekali untuk makan.
“Loh, kamu harus makan yang cukup Citya. Kamu mau cepat sehat nggak?” tanya Mama menatapku dalam.
“Tapi, Citya malas makan, Ma. Malas.” Aku membuang muka dan menutup mulut dengan tangan.
“Citya jangan gitu, Nak.” Suara Mama terdengar bergetar.
“Tapi, aku malas, Ma. Biarinlah nggak sembuh, biar bisa cepet nyusul Mas Hamdan dan Papa.” Aku berkata dengan asal.
“Hei, kamu jangan ngomong sembarangan, Nak.” Mama langsung memelukku dengan erat. “Masa depanmu masih panjang. Jangan berpikiran yang aneh-aneh.” Mama semakin terisak.
Aku masih saja bergeming di dalam pelukan Mama. Aku tak tahu harus berkata apa. Di satu sisi aku sadar kalau memang Mas Hamdan bukan jodoh aku, tapi di sisi lain aku belum ikhlas dengan kepergian Mas Hamdan. Rasanya masih belum percaya kalau Mas Hamdan meninggal. Entahlah, kenapa nasib hidupku harus seperti ini. Semuanya seperti mimpi.
“Citya.” Mama mengurai pelukan dan menangkup kedua pipiku dan menatapku dalam. “Kamu harus kuat dan ikhlas, ya? Ingat masa depanmu masih panjang. Jangan pernah punya niatan untuk pergi ninggalin Mama. Mama nggak sanggup.” Mama mengusap air matanya yang membasahi pipi.
Aku menatap Mama dengan rasa bersalah. Kemudian, aku langsung mendekap Mama.
“Maafin Citya, Ma. Maaf.” Suaraku bergetar menahan isak tangis.
Lalu, aku mengurai pelukan. “Mama jangan nangis. Aku janji nggak bakal ninggalin Mama,” lirihku.
Mama tersenyum menatapku. Dia mengusap rambutku dengan lembut.
“Kamu pakai jilbab yang selama ini kamu pakai ya Nak?” pinta Mama.
Aku langsung menggeleng dengan kuat.
“Ma, Citya mohon jangan paksa Citya untuk pakai jilbab lagi! Aku benci!” teriakku.
Mama menghela napas dalam, lalu meletakkan kembali jilbabku.
“Ya udah, ayok makan dulu. Mama suap.” Mama tersenyum menatapku. Aku pun mengangguk dan mulai membuka mulut menerima suapan nasi dari Mama.
***
Bersambung