Mengenang Masa Lalu

1344 Words
“Acitya!” Panggil Mas Hamdan waktu itu. “Iya, Pak,” jawabku. “Kenapa Pak Hamdan memanggilku, ya?” tanyaku dalam hati. “Nanti malam aku ke rumahmu. Mama kamu ada, kan?” “Ada pak, ada perlu apa ya?” tanyaku dengan mengernyitkan dahi. “Ada perlu saja.” Dia menjawab singkat kemudian berlalu meninggalkanku yang ternganga. Ketika malam Mas Hamdan datang, hati berdebar tak menentu. Jantung berdetak lebih kencang. Entah, perasaan apa ini? Aku tak berani menemui Mas Hamdan, hanya mengintip di balik pintu kamar. Lalu, samar-samar terdengar suara Mas Hamdan yang ingin meminang dan menjadikanku istri. Hati rasanya berbunga-bunga, ternyata Mas Hamdan memiliki rasa yang sama denganku. Mama pun menyerahkan semua keputusannya padaku. Tentu saja aku menerima lamaran Mas Hamdan. Tanpa waktu lama Mas Hamdan beserta keluarganya datang ke rumah untuk melamarku secara resmi. Hari dan tanggal pernikahan telah ditetapkan, yaitu menunggu aku selesai wisuda. Aku pun menyetujui karena tidak ada salahnya menikah muda. Meski usiaku masih 19 tahun, tapi Mas Hamdan sudah cukup matang dengan usia 29 tahun. Ah, kenangan yang tak terlupakan. Besok adalah hari yang aku tunggu. Andai papa masih ada pastilah beliau bahagia menyaksikan putri kesayangannya menikah. Apalagi dengan seseorang yang penuh tanggung jawab dan baik agamanya. “Papa, Citya besok nikah, doakan semoga pernikahan Citya berjalan lancar, ya,” ucapku sambil memandang foto almarhum papa. “Papa pasti bahagia di sana, Nak,” sahut mama. Aku menoleh kaget ketika tiba-tiba mama sudah ada di belakangku. “Kamu besok mau nikah, jangan berpikir yang macem-macem. Istirahat,” kata mama sambil mengusap kepalaku. Mama seorang yang sangat hebat, merawat dan menjagaku sejak kecil seorang diri. Berjuang demi aku. “Mama, doakan Citya, ya, semoga bisa kayak mama, mampu menjadi istri yang baik untuk Mas Hamdan,” pintaku pada mama. “Pasti! Tanpa kamu pinta pun, Mama akan selalu mendoakan,” sahut mama. “Tante!” panggil Mas Evin yang tiba-tiba muncul. “Kebiasaan Mas Evin, deh! Suka tiba-tiba muncul, ganggu orang aja!” gerutuku kesal. “Sorry Cit, tapi aku ada perlu bentar sama tante Ine, penting.” “Perlu apa, sih? Cepet ngomong di sini aja!” “Nggak bisa, ini penting soalnya.” “Tante bisa keluar bentar, kan, ya?” tanya Mas Evin pada mama. Mimik wajahnya terlihat serius dan aneh. Entah ada apa? Tidak biasanya Mas Evin seperti ini. Tak pernah menyembunyikan sesuatu dariku. Jadi curiga, jangan-jangan ada yang tidak beres. Mama mengangguk. “Bentar, ya, Sayang. Mama keluar dulu, kamu istirahat, jangan terlalu capek,” nasehat Mama. Aku hanya menanggapi dengan anggukan kepala. Lalu, menutup pintu setelah mereka ke luar dari kamar. “Semoga tidak terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan.” Ketika aku mau berbaring tiba-tiba pintu kamar diketuk dan terdengar suara mama memanggil. “Citya! Buka pintunya, Mama mau bicara sebentar.” Terdengar suara mama dari luar. Aku pun tidak jadi berbaring dan melangkah untuk membuka pintu kamar. Saat pintu terbuka terlihat mama dan Mas Evin saling berpandangan. Wajah mereka pun terlihat aneh. Hati tiba-tiba merasa cemas dan d**a berdebar tak karuan. “Ada apa, Ma? Kenapa wajah kalian terlihat aneh?” Aku menautkan kedua alis. Bukannya menjawab mereka malah masuk ke kamar. “Kenapa Mama dan Mas Evin diam aja? Ada apa ini?” tanyaku. “Citya ….” Mas Evin menghela napas panjang. Tiba-tiba mama memelukku sambil menangis. Aku tambah bingung. Ada apa? Kenapa mereka malah diam? Mama kenapa justru menangis? Bukannya bahagia karena besok hari pernikahanku. Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam hati. “Mama, ada apa? Mas ada apa?” tanyaku sambil memandang Mas Evin dan Mama bergantian. “Citya, kamu harus kuat, ya, yang tabah …,” ucap Mas Evin sambil menepuk bahuku. Ah, ada apa, sih? Kenapa bertele-tele dari tadi? Aku menatap mama meminta penjelasan. Namun, mama semakin memeluk dengan erat dan air mata semakin mengalir dengan derasnya. “Mas, jawab dong! Jangan bikin Citya bingung, hari ini dan besok itu hari bahagia. Kenapa malah sedih gini sih!” kataku kesal. “Barusan ada telepon dari keluarga Hamdan … kalau besok mereka nggak jadi ke sini. Pernikahan kalian nggak akan pernah terjadi Cit,” ucap Mas Evin pelan. Deg! Hatiku langsung terasa nyeri seperti tertusuk jarum. “Kenapa dibatalkan, Mas?” Bukannya besok sudah akad? Undangan pun sudah disebar. Kenapa nggak jadi? Mereka nggak bisa seenaknya gitu dong!” teriakku. Rasanya ingin sekali datang ke rumah Mas Hamdan dan memaki-maki mereka. Kenapa harus memutuskan sebelah pihak tanpa pemberitahuan dulu? Mengapa tidak dari dulu jika memang tidak setuju dengan pernikahan ini? Memangnya aku boneka? Yang bisa dipermainkan dengan begitu saja? Tanpa terasa buliran bening pun menetes satu per satu. “Ka-ka-rena Hamdan meninggal, Cit,” sahut Mas Evin setengah bergumam. “Apa??!! Mas Hamdan meninggal?” tanyaku tidak percaya. “Jelaskan yang benar dong, Mas! Jangan buat aku makin bingung!” bentakku pada Mas Evin. “Iya, Sayang … Hamdan meninggal, karena itu pernikahan kalian tidak akan pernah terjadi. Kamu yang sabar ya, yang kuat,” kata mama sambil memelukku. Kata-kata mama membuatku terdiam. Tulang-tulangku terasa dilolosi satu per satu. “Nggak mungkin Mas Hamdan meninggal. Besok hari yang sudah kami tunggu. Aku harus telepon Mas Hamdan,” kataku sambil meraih ponselku yang tergeletak di nakas. “Assalamualaikum, Mas. Jangan bercanda dong! Bercandanya keterlaluan,” kataku sambil tertawa ketika sambungan telepon tersambung. “Waalaikumsalam,” Terdengar suara seorang perempuan. “Citya, ini tante. Maafkan kami, ya, kami besok nggak jadi datang. Pernikahan kamu dan Hamdan batal, karena Hamdan meninggal,” ucap Tante Rini, tante mas Hamdan. “Nggak! Tante bohong, hanya bercanda, kan?” tanyaku sambil mencoba tertawa, hatiku rasanya ngilu sekali. “Tante nggak bercanda, Nak. Hamdan terjatuh di tangga saat mau ke kamar mandi, kepalanya terbentur lantai, ada pendarahan di dalam kepalanya dan tidak bisa diselamatkan lagi. Maaf baru menghubungi___.” Aku tidak mendengar lagi apa yang diucapkan tante Rini, ponselku terlepas dari tangan. Kenapa takdirku harus seperti ini? Hari ini dan besok harusnya hari bahagia, tetapi ternyata Allah punya rencana lain. Apa aku harus menyalahkan takdir? Kenapa aku tidak boleh bahagia? Oh Allah … apa rencana-Mu untukku? Mama memeluk dan menguatkanku. Namun, aku sekuat itu. Tiba-tiba aku limbung, pandangan kabur dan benar-benar gelap. Tak ingat apa-apa lagi. *** Esok paginya, aku beserta mama dan Mas Evin menuju rumah duka. Saat tiba tampak banyak pelayat. Mereka memandang iba padaku. Sebenarnya, masih berharap jika kabar kematian Mas Hamdan semalam hanya candaan saja, bukan kabar yang nyata. Ketika masuk masih melihat Mas Hamdam berdiri menyambut dengan senyumannya. Harapan seketika musnah, ketika tiba di dalam yang terlihat adalah Mas Hamdan terbujur kaku terbungkus kain putih. Terdengar dengungan orang mengaji di sekeliling jasad Mas Hamdan. “Inikah jasad calon suamiku? Orang yang gagal menjadi suamiku? Yang seharusnya memgucaal ijab kobul hari ini. Namun, dia malah memilih pergi menemui Rabbnya daripada menemaniku. Hari yang seharusnya bahagia, malah seperti ini. Oh, Allah ... apa salah dan dosaku?” Tanpa dikomando, bulir-bulir bening terus menetes tiada henti. Sebenarnya sudah kucoba untuk menahan, tapi pertahanan jebol juga. Perlahan aku membuka kain penutup wajah Mas Hamdan. Wajahnya sangat tenang dan senyumnya masih sama seperti biasanya. Berseri-seri sepanjang hari. Itu tandanya ia bahagia menemui Ilahi Rabbi. “Bahkan wajah dan senyummu tetap berseri, Mas. Kau begitu tenang dan terlihat sangat bahagia.” Rasanya ingin sekali berteriak memanggil Mas Hamdan, supaya bangun. Agar melihat calon istrinya di sini menangis. Sendiri. Hal yang paling menyakitkan adalah kehilangan seseorang yang paling dicinta dan disayang. Kenapa Tuhan begitu cepat memanggil Mas Hamdan? Tak tahukah bahwa sekarang adalah momen yang ditunggu banyak orang. Aku pun memeluk tubun Mas Hamdan yang telah dingin. Mama yang duduk tak jauh dariku, menenangkan dan memelukku. Membisikkan kata-kata motivasi. “Citya ... kamu harus kuat dan sabar. Inu semua sudah kehendak Yang Maha Kuasa. Kita harus menerimanya.” Mama memelukku dengan erat. Hati terasa panas. Jiwaku masygul dirundung nestapa. Rasanya sakit sekali, bagaikan dihantam batu besar berkali-kali. Tak pernah menyangka sebelumnya, orang yang telah menemaniku selama setahun terakhir. Kini, hanyalah seonggok daging yang tak bernyawa. Manusia hanya bisa berencana, tetapi semua keputusan hanya Tuhan yang berkuasa. Segala sesuatu yang terjadi atas kehendak-Nya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD