Membenci Tuhan

1058 Words
“Pulanglah, bukan di sini tempatmu. Papa di sini baik-baik saja,” ucap Papa lagi. “Nggak mau! Citya mau di sini. Bisa berkumpul dengan Papa.” “Tidak, Citya. Belum saatnya,” ucap Mas Hamdan. Aku menoleh seketika, sejak kapan Mas Hamdan ada di sini. Mas Hamdan juga berpakaian serba putih seperti papa. Wajahnya terlihat bercahaya dan bersinar. “Mas Hamdan ... Citya nggak mau kehilanganmu,” ucapku dengan terisak. Mas Hamdan tersenyum, tampak berwibawa seperti biasanya. “Kita nggak akan pernah bisa bersama Citya,” ucap Mas Hamdan. “Kenapa, Mas? Apa karena aku nggak pantas mendampingimu? Karena aku bukan muslimah sejati? Karena itu Tuhan mengambilmu dariku?” tanyaku histeris. “Takdir cinta kita memang seperti ini, Cit. Yakinlah, bahwa semua yang terjadi dalam hidupmu adalah yang terbaik menurut Allah,” kata Mas Hamdan. “Nggak, aku benci Tuhan! Selalu saja membuatku menderita!” teriakku. “Citya, kamu nggak boleh ngomong gitu, Nak. Dosa. Jangan membenci Allah, Dia sayang sama kamu,” ucap Papa. Aku menggeleng, Tuhan tidak menyayangiku. Dia sudah merenggut kebahagiaan dan apa yang ada dalam hidupku. “Pulanglah, Cit. Masih panjang perjalanan hidupmu, jaga diri baik-baik,” ucap Mas Hamdan kemudian menghilang. Aku berteriak memanggil nama Mas Hamdan, tapi tak ada sahutan. Papa tersenyum ke arahku. “Pulanglah, Nak. Jaga dirimu dan mama, ya. Papa menyayangi kalian, di sini bukan alammu. Belum saatnya kamu di sini,” ucap Papa lalu menghilang. Aku berteriak histeris, semua telah pergi meninggalkanku seorang diri di tempat asing ini. “Papa! Papa! Mas Hamdan! Kalian di mana? Kenapa meninggalkanku di tempat asing seorang diri! Aku takut, Pa! Mas!” teriakku. Tetap tak ada sahutan. Tak ada siapa pun di sini. Sepi. Sunyi. Senyap. Lalu tiba-tiba terlihat kumparan penuh cahaya menghampiri dan mendekat ke arahku. Keringat dingin keluar dari dahi, apa itu? Cahaya apa itu? Ahhh .... akhirnya tersedot kumparan cahaya tersebut. Hendak dibawa ke mana aku? *** Ketika tersadar, perlahan membuka mata yang terasa berat. Mata mengerjap-ngerjap karena merasa sangat silau. Melihat ke sekeliling, ruangan berdinding putih dan berbau obat. Kemudian merasakan tangan kakan terasa nyeri, ternyata ada selang infus yang menancap di tangan. Berarti aku belum mati, apa ini hanya mimpi? “Citya, kamu sudah sadar, Nak,” ucap Mama. Aku menoleh lalu tersenyum, ingin mengatakan sesuatu, tapi tak bisa. Suara tertahan di dalam kerongkongan. Badan terasa sangat lemas, tulang-tulang terasa ngilu. “Sudah jangan bicara dulu. Mama panggil dokter dulu.” Mama langsung meninggalkanku. Apa pertemuanku dengan papa dan Mas Hamdan hanya sebuah mimpi? Namun, terasa sangat nyata. Ah … pusing memikirkan semua ini. Kenapa aku bisa ada di rumah sakit? Tiba-tiba pintu terbuka, aku menoleh dengan perlahan. Mama datang bersama seorang dokter. Dokter laki-laki berusia sekitar 28 tahun, masih muda. Kulitnya putih bersih dan wajahnya tampak berwibawa. “Permisi, ya, saya periksa dulu,” ucapnya sambil tersenyum. Aku hanya menanggapi dengan anggukan kepala. Lalu dokter memeriksa denyut nadi, pola pernapasan dan mataku. Dokter bilang aku baik-baik saja, tak ada masalah yang serius. Kondisi fisik memang baik-baik saja, hanya mental yang kurang sehat. Lalu dokter meninggalkan kami berdua. Mama tersenyum ke arahku. “Alhamdulillah akhirnya kamu siuman, Nak. Sudah dua hari tak sadarkan diri. Kamu mengalami kecelakaan sepulang dari makam Hamdan.” Perkataan mama mengingatkanku pada Mas Hamdan. Hati terasa perih dan panas, tanpa sadar bulir-bulir bening menetes dari sudut mata. Aku meraba kepala, merasakan ada sesuatu yang membalut kepala. Dengan kasar aku melepasnya. Benci dengan jilbab ini! Buat apa mendekatkan diri pada Tuhan, jika akhirnya selalu penderitaan yang aku dapatkan. Aku berteriak histeris. “Sabar, Nak. Ikhlaskan kepergian Hamdan. Kalian memang tidak berjodoh. Ayo pakai lagi jilbabnya.” Mama memelukku. “Tuhan nggak sayang Citya, Ma! Citya benci Tuhan!” teriakku. Mama terus memeluk dan menenangkanku. Mencoba memakaikan kembali jilbab pada kepala. Namun, aku merebut dari tangan mama dan membuangnya ke sembarang tempat. Aku benci jilbab itu! Benci! Mata mama terbelalak, mungkin kaget dengan apa yang aku perbuat. Aku meminta mama untuk keluar. Mama melangkah keluar dengan tatapan yang entah tak bisa ku mengerti. “Maafkan Citya … telah membuat Mama bersedih,” lirihku. Aku menatap keluar jendela kamar rumah sakit. Bulir bening terus mengalir tiada henti dari sudut mata. Ingatanku kembali ke hari di mana harusnya aku bahagia …. *** Aku mematut diri di depan cermin. Tak pernah percaya sebelumnya kalau sekarang adalah hari bahagia yang kunanti. Besok, waktu bersejarah, di mana aku dan Mas Hamdan akan mengucap janji suci di depan penghulu. “Ciee, yang besok mau nikah, senyum-senyum sendiri,” ledek mas Evin yang tiba-tiba sudah ada di belakangku. “Kebiasaan, deh, masuk kamar orang tanpa permisi,” ucapku sambil cemberut. “Elah, gitu aja ngambek.” Mas Evin berkata sambil tertawa. Mas Evin adalah kakak sepupuku, anak dari kakak mama. Hanya dialah saudaraku satu-satunya. Sudah seperti kakak kandung karena aku anak semata wayang yang sangat dimanjakan mama. “Hei, malah melamun,” ucap mas Evin sambil melambaikan tangannya di depan wajahku. “Awas jangan suka melamun, ntar kesambet. Terus si Hamdan nggak mau nikah sama kamu, hahaha.” “Apa sih, ganggu orang aja! Udah sana keluar,” kataku sambil mendorong Mas Evin keluar kamar. “Iya, iya aku keluar. Nggak usah sambil dorong-dorong gitu.” “Ya udah sana, kenapa masih di depan pintu?” “Iya, nyonya Hamdan,” kata Mas Evin sambil berlalu dari kamar dengan wajah cemberut. Aku tersenyum sendiri melihat tingkah Mas Evin. Dia selalu membuatku bahagia. Rasanya seperti mimpi saja jika besok adalah hari pernikahanku. Perkenalan dengan Mas Hamdan pun baru setahun, itu pun tanpa pacaran. Waktu itu baru naik ke kelas XII dan Mas Hamdan merupakan guru baru di sekolahku. Dia guru Bahasa Inggris. Awalnya aku selalu cuek meski dia terbilang cowok yang keren, tinggi, mempunyai kulit kuning langsat, wajahnya pun bisa dibilang cakep. Dia guru baru jadi aku hanya sekadar menghormatinya. Kedekatan kami berawal saat ujian semester awal dan nilai Bahasa Inggrisku mendekati sempurna. Dari situlah kami sering berkomunikasi. Mas Hamdan sering sekali memintaku membantu mengisi materi Bahasa Inggris ketika dia tidak bisa mengajar. Karena seringnya berkomunikasi dan bertemu itulah benih-benih cinta hadir di dalam hatiku. Aku suka mencuri pandang waktu dia mengajar di kelas. Aku pun merasakan debaran aneh saat menatapnya. Pun jika melihat Mas Hamdan berbicara dengan siswi lain. Mungkin terlalu berlebihan, karena bukan siapa-siapa. Saat Mas Hamdan mengatakan akan menemui mama, aku pun kaget dan tentu sangat bahagia. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD