Terpuruk

1030 Words
Pemakaman tampak sepi, semua pelayat telah pulang. Di tanah pemakaman, tubuhku bertelut di dekat nisan, meratapi kepergian seseorang yang paling berarti dalam hidup. Dialah yang mampu mengubah jalan hidupku. Namun, Tuhan berkehendak lain. “Nak, ayo pulang. Hari sudah siang. Ikhlaskan Hamdan, biarkan dia tenang di sana.” Mama memegang pundakku. Aku tetap bergeming, tak mau beranjak dari makam, ingin tetap di sini menemani Mas Hamdan. Hatiku sangat sakit, mata sudah bengkak karena air mata yang terus mengalir tiada henti. Ah, Maut selalu datang tiba-tiba. “Sayang, ayo pulang,” ajak mama sekali lagi. Aku menggeleng. “Mama pulang saja dulu, Citya masih ingin di sini. Biarkan Citya sendiri,” ucapku. “Baiklah, Mama pergi dulu. Ayo, Vin kita pulang.” Kemudian terdengar langkah menjauh. Kenapa Engkau begitu jahat padaku, Tuhan? Di saat aku belajar memercayai-Mu, mengapa justru membuat membenci-Mu? Dulu papa yang Engkau ambil ketika mulai belajar mengenal-Mu. Sekarang calon suami dan pendamping hidupku. Mengapa Engkau mengambil calon suamiku begitu cepatnya! Mengapa tak sedikit pun mengizinkan bahagia sejenak saja? Orang bilang Engkau Maha Penyayang, tapi apa buktinya? Engkau tak menyayangiku! Aku benci Kau Tuhan! Muak! Buat apa aku memakai jilbab panjang ini? Lebih baik kembali seperti dulu. Aku melepas kerudung dengan sangat kasar lalu melempar ke sembarang tempat. Mas Hamdan, mengapa kamu tega meninggalkanku seorang diri? Bagaimana mungkin bisa hidup tanpa dirimu? Selama ini sudah terbiasa akan kehadiranmu. Mas Hamdan … aku memeluk nisan bertuliskan nama calon suami. Mata terasa semakin panas, bulir-bulir bening terus mengalir tiada henti. Hari ini harusnya disambut dengan suka cita, tetapi malah disambut dengan duka cita. Hari yang seharusnya berbahagia dan penuh sejarah. Di mana seharusnya kita duduk di depan penghulu mengucap janji suci pernikahan, tetapi malah berakhir di pemakaman. Tuhan, kenapa tega melakukan ini padaku? Hidup ini tidak pernah adil. Engkau selalu mengambil orang-orang baik dari hidupku. Mana janji-Mu yang akan mengangkat harkat dan martabat hamba yang taat dan bertakwa padamu? Mana? Kau penipu! Di saat aku mulai percaya dan kembali ke jalan-Mu, justru Engkau membuatku muak dan benci pada-Mu! Entahlah, aku tahu ini dosa. Percuma berteriak dan memaki Tuhan, tak akan pernah ada jawaban. Ah, andai saja kematian tidak pernah ada pastilah hidup ini sangat indah. Kenapa harus ada kematian dan perpisahan? Jika kehidupan dan pertemuan membahagiakan. Kenapa harus ada hitam? Jika putih menyenangkan. Sejujurnya aku tak ingin menangisi dan melawan takdir. Namun, aku hanyalah manusia biasa yang tak sanggup menahan kesedihan. Apalagi kehilangan orang yang sangat kita cintai. Butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa melupakan bayangannya. Tak menginginkan apa pun selain bersama Mas Hamdan, untuk saat ini. Mas Hamdan … mengapa kamu begitu cepat meninggalkanku? Kenapa lebih memilih menemui Rabb-mu dibanding menemaniku di sini? Entah, pada siapa kulabuhkan pertanyaan ini. Mas Hamdan tak mungkin mendengarnya. Aku menarik napas panjang, kemudian menyeka sudut mata yang penuh dengan butiran bening. Mengusap nisan Mas Hamdan. “Semoga kamu tenang di sana, Mas. Semoga kamu bahagia bertemu Rabb-Mu. Doakan aku baik-baik saja di sini. Percayalah namamu akan tetap ada di dalam hati, meskipun ragamu tak lagi bersamaku,” gumamku. Perlahan aku bangkit dan melangkah meninggalkan makam. Sebelum pergi menoleh sebentar ke makam, kemudian tersenyum. “Aku pamit, Mas. Kamu baik-baik di sini, aku akan sering datang ke sini untuk mengunjungimu,” gumamku lalu memantapkan langkah untuk meninggalkan area pemakaman. Berjalan dengan gontai dan terseok-seok. Pikiran melayang kemana-mana, jiwa dan raga di sini. Namun, hati dan pikiran entah ke mana. Terus berjalan mengikuti langkah kaki membawa raga ini. Tanpa sadar sudah berada di jalanan yang ramai. Banyak lalu lalang kendaraan. Mataku sedikit berkunang-kunang dan kabur, kepala terasa pusing. Cacing di perut seolah-olah meronta ingin keluar. Ah iya, sejak semalam setelah mendengar kematian Mas Hamdan perut belum terisi apa pun. Ketika hendak menyeberang jalan, tiba-tiba ada sebuah mobil yang melaju dengan sangat kencang. Aku tersentak kaget dan tak sempat menghindar. Tubuh terasa ada yang menabrak hingga terpelanting jauh dari jalanan. Merasa ada cairan dingin keluar dari hidung, kemudian sempat melihat ada sekelebat bayangan putih di hadapanku, dia Mas Hamdan. Tersenyum ke arahku, kemudian menghilang. Kemudian terdengar suara orang ribut dan berkerumun di sekitar. Pandangan perlahan kabur dan gelap, aku tak ingat apa-apa lagi. *** Ketika tersadar aku berada di sebuah tempat yang sangat asing. Tak pernah sekali pun berada di tempat seperti ini. Aku melihat ke sekeliling, berharap bisa mengenali tempat ini. Namun, nihil tempat ini benar-benar asing. Hanya sebuah hamparan padang pasir tanpa kehidupan. Tak ada pepohonan maupun tanda-tanda kehidupan lain. Padang pasir yang tanpa batas. Aku berteriak, berharap ada yang mendengarnya. Namun, tak ada siapa pun yang menyahut teriakanku. “Di mana ini? Apakah aku sudah mati? Apa ini di alam lain? Hei, siapa pun yang mendengar, tolong jawab! Aku ada di mana!” teriakku. Tetap nihil, tak ada suara manusia ataupun binatang. Hening. Senyap, hanya aku seorang diri. Aku menggigil ketakutan, keringat dingin mulai keluar dari dahi. Mata mulai panas, pandangan terasa kabur, bulir-bulir bening berjatuhan satu per satu. “Tuhan! Apa aku sudah mati? Lalu di mana dirimu? Jawab aku Tuhan!” teriakku. Hening ... tak ada sahutan. Aku berlari ke sembarang arah. Berharap ada seseorang di sini yang bisa kutemui. Ah ... kenapa bisa berada di tempat tanpa kehidupan seperti ini? Tuhan! Engkau benar-benar jahat! Aku benci Kau Tuhan! Benci! Tiba-tiba ada sebuah cahaya putih yang membuat mata terasa silau. Aku menutup mata dengan kedua tangan. Cahaya itu juga sepertinya menuju ke arahku. Apa itu sebenarnya? Malaikat pencabut nyawa ataukah yang akan membawa ke langit ke tujuh? Ah, lelucon macam apa ini! Kilauan itu semakin dekat, aku mengerjap-ngerjapkan mata. Silau. Perlahan kilatan itu hilang, lalu berganti sosok manusia berjubah putih. Apakah aku tidak salah lihat? Inikah bersinar tadi? Aku mengucek mata, tak percaya dengan semua ini. Apa ini mimpi? Aduh, aku mencubit pipi, sakit. Berarti ini bukan mimpi. “Papa ... Citya kangen.” Aku menghambur memeluk Papa. “Citya, jangan bersedih dan menangis. Semua yang terjadi dalam hidup ini adalah dari Yang Maha Kuasa,” ucap Papa. “Citya mau bersama Papa. Menemani Papa di sini, juga Mas Hamdan,” ucapku dengan bibir bergetar. “Belum saatnya kita bersama, Nak. Kasihan mama di rumah. Beliau sangat bersedih kehilanganmu.” Papa mengusap kepalaku dengan lembut. Aku bergeming, semakin erat memeluk papa. *** Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD