Prologue

533 Words
Di tengah hutan, seorang pria sedang berjalan sendiri. Langkahnya sangat perlahan, tidak membuat suara sedikitpun. Sebuah amethyst berbentuk tetesan air yang tergantung di dahinya berpendar lemah. Jika dilihat lebih dekat, pemuda tersebut juga mengenakan sebuah anting sapphire di telinga kanannya. Senyuman lemah menghiasi wajah tampannya yang pucat. Rambut hitam panjangnya tergerai, melambai perlahan bersamaan dengan pakaian lebarnya ketika terkena hembusan angin dari kipas lipat yang ia bawa. Pakaiannya sedikit terbuka di bagian dadanya, menampilkan d**a dengan otot kencang yang juga kelewat pucat. Angin malam yang dingin, ditambah dengan hembusan angin dari kipas lipatnya, tidak membuatnya tampak kedinginan. Alasan pemuda ini berjalan di tengah hutan di malam hari dan hanya mengenakan sebuah pakaian tipis adalah, dia ingin mandi.Ia memiliki sebuah tempat rahasia, sebuah danau yang tersembunyi di pedalaman hutan. Ia akan pergi ke danau tersebut tiap malam untuk membersihkan dirinya dari bau obat-obatan yang melekat di tubuhnya. Ia tiba-tiba mendengar suara samar nyanyian seorang wanita dari arah danau tersembunyi miliknya. Suara yang sangat lembut, tetapi juga sedikit bergetar. Seperti sedang menangis. Anehnya, suara dan lagu yang dinyanyikan oleh wanita tersebut terdengar sangat familier di telinga sang pemuda. Amethyst yang tergantung di dahinya berpendar semakin cepat. Ia memelankan langkahnya, berusaha mendengarkan suara nyanyian. Pria tersebut seketika berhenti berjalan. Ia jelas sangat mengenal lagu dan suara tersebut. Sebuah lagu yang akan dinyanyikan padanya saat ia remaja. Sebuah lagu yang akan dinyanyikan untuknya saat ia merasa terpuruk. Sebuah lagu yang ia pikir tidak akan pernah bisa ia dengar lagi.  Dan disinilah dia. Di tengah hutan, kembali mendengar sebuah lagu dan suara yang sangat ia rindukan. Perasaannya campur aduk. Ia rindu, bingung, sedih, dan sangat bahagia pada saat yang sama. Dengan suara yang sedikit gemetar, ia menyanyikan bait terakhir dari lagu tersebut, bersamaan dengan suara sang wanita. Suara mereka menyatu dengan sempurna. Siapapun yang mendengarnya akan merasakan telinga mereka meleleh mendengar nyanyian keduanya.  Sang pria merasa sangat gembira. Sebuah senyuman merekah di wajahnya, menampilkan sebuah lesung pipi yang dalam di pipi kanannya, sebuah senyuman yang tampak sangat emosional. Matanya hampir tampak berair. Ia mempercepat langkahnya, semakin cepat, semakin cepat, sampai akhirnya berlari, tidak lagi peduli dengan suara daun dan dahan kering yang mengiringi langkah kakinya. Ia sampai di danau tersembunyinya, sebuah danau yang tidak terlalu besar, namun tidak terlalu kecil. Rambut hitamnya yang tergerai berantakan, bajunya yang memang sudah terbuka menjadi semakin terbuka, menampilkan sebuah luka samar di d**a kirinya. Ia mengedarkan pandangannya dengan cepat ke sekeliling danau, tapi ia tidak melihat siapapun. Senyuman yang awalnya merekah dengan lebar di wajahnya menyusut seketika. Ia mengira ia akan dapat bertemu dengan seseorang yang sangat ia rindukan. Lagipula ia melihat dengan matanya sendiri, merasakannya sendiri, tubuh orang terkasihnya yang tergeletak tak bernyawa.             Wajah manisnya ternodai oleh darahnya sendiri. Pemuda tersebut ingat pernah berusaha untuk membersihkan wajahnya, tetapi malah memperparah noda darah di wajah orang terkasihnya. Ia membelai lembut bibir tipis orang terkasihnya, bibir yang akan selalu menyanyikan lagu untuk menenangkannya saat ia sedang marah, berharap setidaknya hal kecil tersebut akan menghentikannya melukai lebih banyak orang.  Plak. Pria tersebut menampar pipinya sendiri dengan kipas lipatnya. Merasa sangat bodoh karena belum melupakan kejadian yang terjadi ratusan tahun yang lalu. Ia mungkin sedang berhalusinasi karena terlalu lelah bekerja seharian, atau hanya sangat merindukannya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD