Kejanggalan

2245 Words
Sesuai dengan janji pada teman-temannya, Vita kini sudah bertemu dengan rombongan para gadis, di sebuah taman yang tidak jauh dari pemukiman.  "Vita, gimana kondisi keluarga kamu?" tanya Yani, sahabat Vita yang juga teman kerjanya di pabrik.  "Gimana apanya?" tanya Vita tak mengerti.  Kedua gadis itu, memilih duduk agak jauh dari kelompok temannya yang lain.  "Berita kematian Minah, apakah kamu tidak dengar gosip tetangga?" "Ya, aku dengar," jawab Vita, malas.  Sebetulnya, tak ada hal yang tidak Vita atau Yani ceritakan satu sama lain, selama mereka menjalin persahabatan selama lebih dari sepuluh tahun itu. Tapi, entah mengapa jika sudah membahas isu yang membicarakan keluarganya, Vita lebih memilih menghindar.  "Kamu sudah tahu, Yan, aku paling malas membahas hal itu." "Aku tidak ingin membahas gosip para tetangga, Vit, aku cuma mengkhawatirkanmu. Jika semuanya benar, bukankah kamu juga harus hati-hati?" Vita terdiam mendengar penuturan sang kawan. Bukannya ia tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri, setelah peristiwa apa yang menimpa Minah. Vita yang sejak awal perubahan terjadi pada keluarganya, sudah curiga akan apa yang melatar belakangi kehidupannya saat ini, yang jauh berbeda dari satu tahun lalu itu.  "Vit, cuma aku sahabatmu satu-satunya, yang tahu dengan jelas apa yang saat ini tengah kamu rasakan." Apa yang dikatakan Yani benar. Hanya dia teman satu-satunya, yang ia ceritakan mengenai keadaan keluarganya.  "Kamu tahu, Yan, tanpa kamu beri tahu, aku pun mengkhawatirkan diriku sendiri. Tapi, apa kamu berpikir, apakah jika itu semua benar, mereka akan tega mengorbankan anak mereka sendiri?" "Kalau Mega ada hubungannya dengan keadaan keluargamu, apakah adikmu itu tidak termasuk korban?" Terdiam Vita mendengar kalimat Yani.  Ya, adik bungsunya itu, yang tidak ada riwayat sakit apa pun, tiba-tiba meninggal di saat kedua orang tuanya tengah pergi, entah dengan alasan apa waktu itu. Hanya ia dan Fajar, yang mengetahui dengan tepat, kondisi Mega ketika ditemukan sudah dalam keadaan tidak bernyawa. Berbeda dengan Fajar yang menganggap itu semua sudah menjadi takdir dari Tuhan, baik untuk Mega, atau kehidupan keluarganya yang berubah menjadi kaya raya. Namun, tidak bagi Vita, yang curiga dengan semua serba kebetulan itu.  Dari semenjak itulah, Vita seolah hati-hati dengan semua gerak gerik, atau kegiatan apa pun yang kedua orang tuanya lakukan. Meski pun semua usaha yang ayahnya rintis semua berjalan sesuai operasional yang ada, tetapi semua terlalu mencolok dengan pendapatan yang berlebihan.  "Apa masih, ayah dan ibumu pergi tiap pertengahan bulan?" tanya Yani.  "Masih. Ya, alasan yang sama sejak setahun belakangan ini, ada proyek yang harus dijalani, yang berhubungan dengan salah satu usahanya. Tapi, usaha apa, aku sendiri tidak tahu," tutur Vita.  "Dan kejadian yang sama juga tiap malam kepergian kedua orang tuamu, ada hal-hal janggal di rumah?" Vita mengangguk, mendapatkan pertanyaan dari Yani —sahabatnya itu.  Vita sudah tidak tahu lagi harus berkata apa. Karena, bukan kenyamanan yang gadis itu rasakan, di rumahnya yang besar dan mewah saat ini, hanya kesuraman dan kesan angker yang ia rasakan setiap kali berada di dalam rumah. Entah apakah hanya ia sendiri yang merasakannya atau semua juga dirasakan oleh penghuni rumah lainnya, termasuk para pembantu? Entahlah. Tapi, yang pasti, Vita akan memilih lebih banyak berinteraksi di luar rumah, berkumpul dengan teman-temannya seperti saat ini.  "Vita, Yani! Ayo sini, gabung!" teriak Revan, salah satu teman Vita yang dianggap ketua di kelompok mereka.  "Yuk, kita gabung sama yang lain. Kita lupakan sejenak masalah yang terjadi di keluarga kamu," ajak Yani.  "Ya, aku pun maunya begitu." Kedua gadis itu pun menghampiri temannya yang lain. Melakukan kegiatan rutin di sabtu malam, salah satunya dengan memakan cemilan yang mereka beli, dengan cara mengumpulkan uang dari masing-masing anggota. Kemudian, mereka juga akan mengobrol untuk membahas hal yang tidak penting. Bahkan terkadang, mereka akan bernyanyi bersama jika ada salah satu yang membawa gitar. Itu semua, sangat Vita sukai, membuat gadis itu, sejenak melupakan apa yang tengah ia rasakan. Namun, satu hal yang membuat Vita nyaman berteman dengan mereka semua, yaitu tak ada satu pun dari mereka yang suka membahas kehidupan pribadi anggotanya, pun dengan masalah yang sedang heboh dibicarakan para warga kampung. Mereka memilih untuk tidak peduli dan memilih untuk bersenang-senang.  Berbeda jika mereka membahas masalah gadis atau laki-laki, yang sedang diincar. Pembicaraan itu akan berlangsung lama dan seru tentunya.  Seperti yang saat ini menimpa Revan, sang ketua kelompok. Laki-laki itu tengah jatuh cinta terhadap salah satu gadis di desa sebelah. Bukan tiba-tiba Revan memiliki perasaan suka terhadap gadis, yang diketahui bernama Laras itu. Semua berawal ketika Revan berjalan mengendarai motornya, menyusuri desa, tempat Laras tinggal. Motor Revan yang tiba-tiba mogok, tepat di depan rumah si gadis, akhirnya dibantu oleh kakak Laras untuk dibetulkan. Nah, sejak itulah, bayangan Laras selalu aja menghantui pikiran Revan.  "Tancap aja, Van. Sosor terus!" seru Dodi, si biang rusuh.  "Maunya aku juga gitu, Dod. Tapi, menurut info yang aku dapat dari informan yang aku punya, si Laras itu udah punya laki-laki yang ia suka." Semangat Revan langsung mengendur, demi mengetahui fakta baru mengenai sang gadis.  "Siapa laki-laki yang beruntung itu? Apakah anak sana juga atau malah orang lain yang kita kenal?" "Kita kenal kok, anak sini." "Siapa?" tanya Dodi tak sabar.  "Mas Ardan, anak ustadzah Zahra." Sepertinya, bukan Revan saja yang merasakan kekecewaan, Vita yang sama sekali tidak ada hubungan apa pun dengan sosok Ardan, merasakan ada nyeri yang tiba-tiba merasuki hatinya, manakala mendengar berita, jika ada sosok wanita lain yang mengincar laki-laki yang masih single, di usianya yang sudah menginjak angka dua puluh lima tahun itu.  "Wah, belum apa-apa udah kalah di awal, Van!" Revan pun menjadi bulan-bulanan kawan lainnya. Memang sulit menjangkau gadis itu jika kenyataannya memang informasi yang didapat Revan benar. Siapa yang tak mungkin suka terhadap laki-laki alim bernama Ardan, putra sulung Ustadzah Zahra. Semua gadis yang mengenalnya, pasti akan kagum pada lelaki single itu, termasuk Vita. Tapi, siapa pun akan tahu diri dengan kondisi mereka, di mana sifat dan karakter yang jauh berbeda, tidak memungkinkan bagi para gadis yang biasa-biasa saja, akan mengharapkan cinta si lelaki alim tersebut.  "Eh, udah malam, balik yuk!" ajak Vita, yang selalu khawatir jika pulang terlalu malam.  Keadaan rumahnya yang besar, selalu terasa sepi dan dingin jika malam tiba. Membuat ia sendiri, memilih untuk pulang masih di waktu awal waktu, setelah berpergian ke mana pun. "Ya udah, yuk. Udah jam berapa nih?" ucap Revan pada temannya.  "Jam sepuluh. Masih sore, udah gitu masih rame juga," jawab Dodi.  "Iya, tapi kasian si Vita, rumahnya 'kan paling jauh." Yani menimpali.  "Ya udah, yang masih mau nongkrong, lanjut aja. Biar si Vita, aku yang anter." Revan memang selalu bisa diandalkan.  Akhirnya, Vita dan Yani pulang lebih dulu, diantar Revan sampai ke rumah masing-masing. Yani yang rumahnya lebih dekat, lebih dulu sampai. Jarak yang tidak terlalu jauh dengan area taman, membuat langkah kaki mereka hanya sekian meter saja berjalan.  "Yuk, Vit. Aku anter sampai rumah!" ajak Revan.  Keduanya pun berjalan menyusuri gang, melewati rumah-rumah warga yang sebagian sudah terlelap, ada juga yang masih bercengkrama di teras rumah sambil menikmati kopi panas dan cemilan.  Ketik melewati pos ronda, ada beberapa warga yang sudah bersiap mengontrol area pemukiman warga.  "Van, mau ke mana?" tanya, Pak Soleh —bapaknya Revan, yang kebagian ronda malam itu.  "Antar Vita pulang, Pak!" "Oh, hati-hati." "Siap, Pak!" Revan dan Vita pun melewati kerumunan warga yang hendak melakukan kegiatan keliling kampung.  "Revan memang ada hubungan apa sama si Vita, Pak?" tanya Pak Dadi.  "Enggak ada hubungan apa-apa, cuma teman biasa aja. Mereka 'kan sudah berteman sejak kecil, dari sekolah sampe mereka bekerja. Mereka selalu berteman." "Hati-hati loh, Pak. Jangan sampe si Revan ada hubungan spesial sama anaknya Pak Sudibyo itu," ucap Pak Dadi dengan raut wajah khawatir.  "Memang kenapa?" tanya Pak Soleh, penasaran.  "Ya, 'kan kita tahu, berita mengenai keluarga Pak Sudibyo bagaimana. Walau belum tahu kebenarannya, tetapi kita patut waspada bukan?" kata Pak Dadi lagi.  Semua bapak yang ada di pos ronda itu, hanya diam menyimak obrolan antara Pak Dadi dan Pak Soleh. Tak ada yang menyahut atau pun ikut menimbrung percakapan keduanya.  Terlihat jika apa yang dikatakan oleh Pak Dadi, membuat Pak Soleh akhirnya berpikir. Mungkin apa yang dikatakan oleh tetangganya itu, memang ada benarnya. Meski isu yang berkembang saat ini belum terbukti benar atau tidaknya, tetapi tidak ada salahnya jika dirinya harus waspada.  "Nanti biar saya tanya sama Revan. Namun, tidak berarti harus membuat mereka memutuskan pertemanan juga. Benar kan?" "Betul!" Kompak suara para bapak yang lain.  *** "Makasih yah, Van, udah anter aku sampai rumah. Kami enggak apa-apa balik lagi sendirian?" tanya Vita, setelah keduanya sampai di depan rumah dengan pagar tinggi menjulang.  "Nyantai aja kali. Emang kenapa kalau aku balik lagi sendiri?" "Kali aja kamu takut!" goda Vita.  "Haha, emang kamu pikir aku anak kecil apa? Udah sana masuk!" suruh Revan.  "Iya, iya, aku masuk. Kamu langsung ke rumah atau balik lagi ke taman?" "Ke taman, nemuin anak-anak." "Oh. Ya udah. Aku masuk yah. Sekali lagi, makasih!" "Sip!" Revan pun menunggu Vita sampai masuk ke dalam pagar rumahnya. Setelahnya, laki-laki itu pergi dari rumah besar itu menuju ke tempatnya semula, yaitu ke taman untuk kembali menemui teman-temannya yang masih nongkrong.  Namun, baru saja Revan hendak melangkahkan kakinya, seekor ular hitam berukuran sedang, terlihat melewatinya, dan masuk ke dalam rumah Vita. Terkejut akan penampakan ular yang tiba-tiba hadir, membuat lelaki dua puluh tahun itu, terdiam beberapa detik untuk menormalkan degup jantungnya yang berdetak kencang. Bersyukurnya ia, sebab ular itu seolah tidak melihat atau pun peduli akan keberadaan dirinya di situ.  Bingung apa yang harus dilakukan, Revan memilih pergi dari sana. Bukan tidak khawatir akan keberadaan ular itu yang masuk ke dalam rumah sang kawan, tetapi ia sendiri takut jika ular yang masuk bukanlah ular sembarangan. Warnanya yang hitam legam, membuat Revan berpikir demikian. Ditambah dengan gosip yang tengah ramai diperbincangkan mengenai keluarga Vita, semakin membuat Revan tak ingin ikut campur dengan apa yang saat ini ia lihat.  Akhirnya, lelaki itu pun melangkahkan kakinya dengan cepat. Meninggalkan rumah besar, yang sebetulnya terletak di area ramai penduduk itu, bukan sebuah rumah yang berdiri di lahan kosong dengan kanan kiri pohon besar atau pun pohon bambu, yang biasa rumah angker berada. Namun, entah mengapa, suasananya yang seperti suram, membuat siapa pun yang melihat rumah keluarga Sudibyo, seolah menyeramkan.  Revan tidak tahu, setelah ia meninggalkan rumah temannya —Vita, seekor ular yang berwarna sama, entah dari mana datangnya, kembali masuk ke dalam rumah berpagar tinggi itu. Siapa pun yang melihatnya pasti akan bergidik ngeri, melihat ular-ular itu seolah memasuki tempat yang sudah mereka kenal.  Vita yang baru masuk beberapa saat yang lalu, sepertinya tidak melihat keberadaan ular-ular yang masuk ke dalam rumahnya. Ia hanya bertemu dengan Pak Ujang —penjaga rumah, yang bertugas malam itu.  "Baru pulang, Mbak?" tanya sang penjaga, begitu melihat anak majikannya masuk.  "Iya, Pak Ujang. Pak Ujang sendiri malam ini?" "Iya, Mbak. Si Subur lagi pulang, ibunya sakit." "Oh gitu. Ya sudah, Vita masuk dulu yah, Pak!" ucap Vita.  "Oh iya, Mbak." Gadis itu pun meninggalkan area pos jaga, tempat Pak Ujang bertugas. Masuk ke dalam area rumah, lewat garasi bagian dalam, yang jarang dikunci.  Baru saja masuk ke dalam garasi, Vita dikejutkan dengan suara desis ular yang begitu kencang. Gadis itu pun diam terpaku di posisinya. Tak berani melanjutkan langkah, khawatir suara itu semakin menampakkan wujudnya.  Vita masih saja berdiri di tempatnya, menunggu hingga desisan itu hilang, dan tak terdengar di telinganya.  Jangan ditanya bagaimana kondisi jantungnya saat ini, kencang berdetak, dengan keringat yang mulai bermunculan di area wajah.  "Ya Tuhan, aku mohon segera hilangkan suara itu dari telinga dan pikiranku saat ini." Vita berdo'a kepada Tuhan,demi keselamatan dirinya.  Berusaha membuka matanya dengar lebar, dan tetap waspada akan area di sekitarnya, Vita masih belum ingin pergi meninggalkan tempatnya saat ini.  "Ya Tuhan, kenapa suara itu selalu saja aku dengar. Apakah benar jika wujud ular itu ada di rumah ini? Tapi, untuk apa? Dan juga, aku tidak pernah melihatnya. Walau aku sendiri tidak berani kalau wujud itu ada di depan mataku sekarang." Di tengah rasa takut yang mencengkram, tiba-tiba Fajar —sang adik, mengejutkannya.  "Woi, Mbak! Ngapain?" "Ya ampun, Fajar! Bikin kaget Mbak aja." Vita mengelus d**a dengan mata terpejam. "Hehe, lagian Mbak ngapain berdiri di sini?" kekeh remaja tersebut.  "Kamu dari mana? Jam segini baru pulang!" sahut Vita, yang belum ingin membahas apa yang terjadi.  "Biasa, abis nongkrong sama teman-teman. Mbak sendiri, nongkrong juga?" tanyanya sembari tersenyum.  Vita pun mengangguk.  "Terus, Mbak ngapain masih berdiri di sini? Kok enggak masuk?" Kembali Fajar ke pertanyaannya yang belum kakaknya jawab.  "Mbak tadi denger suara desis ular, Jar. Kenceng banget suaranya, bikin Mbak takut. Akhirnya milih diam dulu deh di sini." "Ah, yang bener? Mbak ngarang mulu deh! Mana ada di rumah sebersih ini ada ular, Mbak?" "Ya, mana Mbak tahu. Emang kenyataannya Mbak denger kok." Ya, sudah sering Vita menceritakan mengenai suara-suara yang acap kali terdengar di telinganya itu pada sang adik. Tapi, laki-laki itu selalu saja tidak pernah percaya. Selain karena memang tak pernah mendengar sendiri, melihatnyaia pun tak pernah melihatnya.  "Udah ah, enggak usah dipikirin. Yuk, masuk!" ajak Fajar, kemudian melewati sang kakak, masuk ke dalam rumah.  Vita yang masih merasakan takut, memilih untuk membuntuti adiknya itu, masuk ke dalam rumah.  Melewati area ruang keluarga, yang sudah gelap sebab lampu yang sudah dimatikan, kedua kakak beradik itu, langsung berjalan melewati tangga, naik ke lantai atas.  "Mau aku temenin sampai kamar?" sahut Fajar menggoda.  "Enggak perlu. Makasih!" jawab Vita ketus. Tahu jika sang adik tengah jahil, menggoda, sebab rasa tidak percayanya pada ucapan Vita.  "Ya udah, aku masuk duluan." Remaja itu pun masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Vita yang kini sendirian di area lantai dua.  Menyadari akan keheningan yang saat ini ia rasakan, Vita buru-buru masuk ke dalam kamarnya, sebelum mendapati suara-suara yang kerap kali mengganggunya.  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD