Sembunyi Dalam Lingkaran Sahabat

1227 Words
Dari Sekian hari yang Kalla jalani dengan Aksa, hari ini adalah salah satu hari terberat untuk Kalla. Sahabat kecilnya, yang tumbuh bersama akan meninggalkannya dalam aktu yang cukup lama. Rasanya ingin sekali Kalla egois dengan keadaan. Entah ikut Aksa ke luar negeri, atau melarang Aksa untuk pergi. Tapi, tidak ada alasan yang kuat untuk Kalla menahan Aksa tetap di sampingnya. “Ma, Pa, memangnya Mama sama Papa mau ya jauh-jauhan sama Aksa? Nggak akan ngerasa kangen begitu?” tanya Aksa saat sedang mengemasi barang-barangnya bersama Mama. “Ya kangen, dong. Tapi, kan ini Cuma beberapa saat saja. Ngga seterusnya. Nanti juga kamu setiap liburan semester juga harus pulang. Nengokin Mama sama Papa,” jawab Papa Aksa. “Nanti Papa sama Mama juga akan ke sana nengokin anak Mama satu-satunya,” ujar Mama Aksa. “Yaaaa sudah deh kalau mau jauh-jauh sama Aksa. Ingin berduaan ya di rumah?” ledek Aksa kepada Mama dan Papanya. “Iya dong, biar Mama sama Papa bisa berduaan di rumah. Biar kamu nggak jailin Mama dan Papa kalau lagi berduaan,” ujar Papa Aksa menjawab ledekan Aksa. “Oh iya Aksa, bagaimana sama Kalla? Kalla sudah tahu kalau kamu mau kuliah ke luar negeri?” Aksa terdiam sejenak. “Pasti sudah tahu dong, Ma. Masak Kalla belum dikasih tahu. Kan nggak mungkin,” Papa Aksa gantian meledek Aksa. “Papa, apaan sih, Kalla sama Aksa kan...” “Ihhh kok kamu salah tingkah begitu, sih. Kan Papa Cuma bilang,” Belum selesai Papa Aksa bicara, Kalla dan Meira datang ke rumah Aksa. “Siang tante, Om,” Sapa Kalla dan Meira. “Haiii, Kalla, Meira, masuk! Tante kangen sekali loh sama kalian,” ujar Mama Aksa ketika Kalla dan Meira datang ke rumah. Aksa semakin tidak bersemangat untuk pergi ke luar negeri setelah melihat wajah Kalla. “Tumben pada dateng ke rumah. Pasti mau minta makan, kan?” tanya Aksa untuk menghibur perasaannya sendiri. “Iya dong, di rumah lo kan selalu banyak makanan,” jawab Meira membantu Aksa menghibur Kalla dan Aksa. Kalla, Aksa, dan Meira makan di meja makan bersama. Mama Aksa menyiapkan banyak makanan untuk sahabat-sahabat Aksa sebelum mereka terpisah sementara waktu.  Setelah itu, Mama dan Papa Aksa pamit ke kamar, untuk memberikan waktu mereka bertiga. “Tante sama om ke dalam dulu, ya. Biar kalian bisa leluasa untuk ngobrol,” ujar Mama Aksa sambil berpmaitan untuk masuk ke kamar. “Waaahh ini yang pengertian kita atau om sama tante, ya?” ledek Mira memecahkan suasana yang tadinya sunyi. Kalla dan Aksa masih saling diam, belum menyapa satu sama lain. Masih banyak yang ingin disampaikan, namun tidak tahu bagaimana menyampaikannya. Aksa hanya bisa menatap wajah Kalla yang sendu. Kalla hanya bisa menunduk, meruntuhkan segala kesedihannya. “Kalian berdua kenapa sih? Diem-diem saja daritadi. Gue capek loh ngomong sendiri kaya orang gila,” celetuk Meira. Kalla dan Aksa tidak ada yang menjawab Meira. Mereka hanya tersenyum tipis meladeni sahabat mereka yang selalu bisa mencairkan suasana. “Gue tahu, kalian butuh waktu untuk ngobrol berdua. Karena gue masih laper, jadi, mendingan kalian yang pergi, ya,” ucap Meira sambil mendorong Aksa untuk mengajak Kalla ngobrol. Meira melihat Kalla dan Aksa jalan berdua menuju ke taman kecil di belakang rumah Aksa. Meira kasihan dengan mereka berdua, Meira merasa sedih, ingin berbuat sesuatu, namun, Meira tidak memiliki kuasa apa-apa. “Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Aksa saat Kalla sudah memilih tempat duduk yang nyaman untuk ngobrol berdua. “Baik-baik saja, kok.” “Mama Papa kamu?” tanya Aksa lagi. “Ya seperti biasa. Mereka ada, tapi ya seadanya,” jawab Kalla singkat namun penuh makna. “Ada yang mau aku bicarakan sama kamu kali ini, Kal. Ini masalah kita berdua,” ujar Aksa memegang tangan Kalla dan memaksa menatap mata Kalla. “Apa? Soal kuliah kamu?” tanya Kalla sambil menghindari mata Aksa. “Bukan.” “Terus?” “Aku kenal kamu bukan dari beberapa hari, beberapa minggu, atau beberapa bulan yang lalu. Kita sudah kenal dari dulu, dari pertama kita merasakan bangku sekolah yang sesungguhnya.” “Emangsebelumnya pura-pura?” tanya Kalla untuk mengisi suasana agar tidak kikuk. “Kal, aku serius.” “Iya, aku dengerin kok. Kenapa sih?” “Memang nggak ada begitu sedikit saja kamu sayang ke aku?” Kalla terkejut dengan pertanyaan Aksa yang tiba-tiba menuju ke perihal perasaan. “Haaah? Maksud kamu?” “Yaa apa kamu nggak sayang sama aku?” “Ngaco!” jawab Kalla sambil memalingkan wajah dari Aksa. “Kal, coba deh kamu tatap wajah aku sebentar saja,” pinta Aksa kepada Kalla. “Kenapa sih? Kamu aneh deh hari ini.” Aksa terpaksa memegang pipi Kalla agar mau menatap Aksa. “Sekarang aku tanya sama kamu.  Apa kamu nggak ada rasa sayang sedikitpun ke aku?” “Aksa, jangan ngaco deh pertanyaannya. Ya aku jelas sayang sama kamu. Kamu sahabat aku dari kecil kita tumbuh bareng, kita setiap hari nggak pernah terpisah, mana mungkin aku nggak sayang sama kamu?” jawab Kalla sambil masih berusaha untuk menghindar dari Aksa. “Bukan itu maksud aku. Sayang lebih dari sekedar teman, lebih dari sekedar sahabat. Nggak ada sedikitpun?” Aksa sangat memastikan pertanyaannya kepada Kalla. “Buat apa?” “Biar aku bisa tetap di sini.” “Maksud kamu?” “Aku nggak akan pergi kalau ada seseorang yang nungguin aku di sini sendirian, dan itu lebih dari sahabat.” “Aksa, kalau mau pergi, pergi saja, deh. Nggak usah bersikap aneh kayak begitu,” jawab Kalla masih mengelak dengan semua yang Aksa bicarakan. “Sekarang aku mau ngomong serius sama kamu. Kamu harus dengerin, nggak boleh memotong omongan aku, nggak boleh menghindar, nggak boleh mengelak,” ucap Aksa tegas. Kalla hanya bisa diam dan menuruti apa maunya Aksa. “Kal, kita selama ini nggak pernah sama sekali pacaran. Dekat sama cewek atau cowok lain. Kita nggak pernah mau dan nggak pernah berniat buat cari pacar. Kamu tahu kan salah satu alesannya apa?” “Tahu,” jawab Kalla singkat. “Apa?” “Ya karena aku memang nggak mau pacaran. Aku mau fokus sama masa depan aku, sekolah aku, sama....” “Kal, ayolah, bukan waktunya untuk menutupi perasaan kamu. Ini bukan waktunya untuk kamu pura-pura.” “Apa yang mau kamu omongin sebenarnya?” tanya Kalla akhirnya mengalah. “Aku sayang sama kamu. Aku ingin kita lebih dari sekedar sahabat.” “Nggak bisa, nggak mau, dan nggak akan pernah terjadi,” jawab Kalla dengan sangat tegas dan langsung memalingkan wajahnya dari Aksa. “Kenapa, Kal?” “Aku tahu, ini alasan yang sangat klise, ini alasan yang sangat klasik, dan mungkin basi untuk kamu. Tapi ya memang ini alasannya. Aku nggak mau kehilangan sahabat seperti kamu, Aksa.” “Kamu nggak akan pernah kehilangan aku, Kal. Nggak akan pernah,” ucap Aksa masih sangat berharap dengan Kalla. “Jangan paksain keadaan ini untuk berubah. Bisa jadi, setelah kita ada hubungan yang lebih dari sahabat, kita jadi lebih jauh, lebih membatasi diri, atau justru lebih merasa memiliki. Kita nggak akan pernah tahu bagaimana dan apa yang akan merusak persahabatan kita. Aku jaga persahabatan ini, salah satunya untuk nggak menaruh perasaan yang lebih dari sayang ke sahabat,” jawab Kalla dengan jelas yang membuat Aksa terlihat kecewa. Kalla dan Aksa saling mendiamkan satu sama lain. Mereka sibuk dengan perasaan dan pikirannya sendiri. Tidak ada obrolan lagi diantara mereka. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD