Cerita Baru Dalam Hidup

1883 Words
Segala tentang putih abu-abu kini sudah menjadi kenangan. Semua yang memiliki awal, akan memiliki akhir pula. Seperti kisah di bangku putih abu-abu. Banyak hal yang mendewasakan, namun, kadang ada yang membuat kita terpaksa untuk dewasa. Salah satunya dengan menghadapi masalah. Masalah akan selesai dengan cara yang dewasa, bukan melihat siapa yang memulainya. Namun bagaimana kita akan mengakhiri masalah itu. Putih abu-abu ini membuat Kalla sadar, bahwa apapun yang akan menjadi miliknya, pasti akan dipertemukan pada waktu yang tepat. Seperti sahabat baru Kalla, yang datang disaat Kalla sudah mulai frustasi, karena hari-harinya hanya ada suara Aksa, hanya melihat tingkah laku Aksa, dan hanya punya pundak Aksa saat sedang mengalami problema. Namun, waktu telah mengirim Meira untuk menjadi pundak kedua Kalla, jika ada hal tidak baik terjadi di hidupnya. Hari ini, Kalla, Meira, dan Aksa janjian di sebuah cafe. Kalla dan Meira sudha sampai duluan di tempat mereka janjian. Sedangkan Aksa, yang membuat janji belum datang hingga Kalla dan Meira sudah hampir satu jam menunggu di cafe itu. Aksa ingin membicarakan sesuatu dengan Kalla, namun, Aksa tetap butuh Meira. Entah apa yang ingin dibicarakan oleh Aksa. Hanya Aksa yang tahu, karena Aksa jarang bersikap serius dengan siapapun itu. Hidup Aksa selalu dibawa santai, meskipun banyak juga problema yang dihadapinya. Buruk dan baik dihari-harinya selalu Aksa syukuri, yang terpenting untuk Aksa, hanya Kalla bahagia setiap harinya. Hanya Kalla bisa tersenyum, aman, nyaman, dan Kalla baik-baik saja. Jika semua itu sudah terlihat oleh Aksa, maka, hari-hari Aksa akan terasa jauh lebih baik. Kalla dan Meira menunggu Aksa berduaan. Sesekali ngobrol, makan, membuka handphone, lalu melamun di cafe favorit mereka. Kalla juga membawa buku-buku desain kesukaannya, Meira membawa banyak brosur kampus, untuk pilihan mereka bertiga nanti. “Kemana saja sih ini anak, lama banget deh. Otw dari Arab kali ya itu anak,” ujar Meira kesal sudah menunggu Aksa lama. “Sabar dulu. Mungkin Aksa ada kendala di jalan, atau ada urusan sebelum Aksa datang ke sini,” ucap Kalla dengan tetap tenang. “Kok lo bisa ya masih bersikap tenang, padahal keadaan sudah mengesalkan,” ledek Meira. “Hahahaha,” Kalla tertawa kecil. “Bisa dong, harus bisa. Kalau kita berdua semua marah-marah, yang ada kita diusir dari cafe dong Mei,” jawab Kalla dengan sedikit melawak. “Bisa saja lo, Kal.” Kalla sudah menghabiskan setengah gelas matcha, sedangkan Meira sudah menghabiskan satu gelas lemon tea dan spaghetti kesukaannya di cafe itu. “Maaf ya tunggu lama,” ucap Aksa ketika sampai di cafe. “Kemana saja lo?” tanya Meira ketika Aksa sudah datang. “Aksa, kamu sudah sampai. Sini sini duduk,” ujar Kalla kepada sahabatnya yang baru saja datang. “Beda banget ya lo sama Kalla. Kalla bisa jadi cewek yang lembut dan perhatian, nah lo.” “Ehhh ditanyain bukannya jawab, malah protes!” “Ehhh ehh sudah. Apa sih pada ribut. Aksa, kamu mau pesen apa? Biar aku pesenin,” Kalla menawarkan menu kepada Aksa. “Nah, cewek itu kaya gini. Lembut, perhatian, pengertian..” “Rese lo!” Meira memotong pembicaraan Aksa. “Nggak usah nggak usah. Biar nanti aku yang pesen saja sendiri,” jawab Aksa. “Sudah, kamu duduk saja lagi,” Aksa mempersilakan Kalla duduk lagi di sampingnya. “Beneran nggak mau aku pesenin sekalian? Kan kamu baru dateng, pasti haus, laper.” Aksa hanya menggeleng dan menatap dalam mata Kalla. Kalla sampai salah tingkah. “Hehhh! Apa lo?” Meira mengganggu Aksa yang sedang asyik menatap Kalla. “Dihhh apaan sih lo. Ganggu banget jadi orang,” Aksa kesal karena diganggu oleh Meira. “Ada yang mau aku omongin sama kamu,” ucap Aksa dengan serius. “Apa ini? Kenapa sih kamu serius banget. Tumben... Aku jadi takut deh,” Kalla takut dengan sikap Aksa yang serius. “Lo nggak mau ngomong sama gue, Sa?” tanya Meira iseng. “Ya kan lo juga ada di sini, Mei. Nggak usah pakai disebutin segala kali,” jawab Aksa sinis dengan isengan Meira.  “Yayayaya,” Meira lebih memilih diam daripada menimbulkan keributan, karena Kalla sudah memperingatinya dengan tatapannya yang sendu. “Kamu mau ngomong apa sih?” tanya Kalla sudah sangat khawatir dengan apa yang akan dibicarakan Aksa. “Mei, lo baca deh,” Aksa memberikan sebuah amplop kepada Meira. “Apa ini?” tanya Meira penasaran serta sedikit gugup saat ingin membukanya. “Buka saja, lo baca!” suruh Aksa. “Apa sih?” “Kamu tahu kan Kal, kamu itu penting dalam hidup aku. Ya walaupun Cuma sebatas sahabat, tapi, sahabat juga penting kan buat hidup kita?” “Kamu mau ngomong apa sih, Sa?” Kalla memotong omongan Aksa. “Serius lo, Sa?” tanya Meira terkejut dengan apa yang dibacanya di amplop putih itu. “Apa sih? Coba sini, aku juga mau baca!” Kalla meminta amplop yang ada di tangan Meira. “Aku saja yang ngomong ke kamu. Kamu nggak usah baca isi amplop itu,” ujar Aksa. “Iya, apa? Kamu mau ngomong apa sih?” “Kal, aku harus nurutin kemauan Mama dan Papa untuk kuliah di luar negeri. Mama dan Papa sudah mempersiapkan ini sejak aku kecil. Sejak kita belum bertemu. Aku nggak mungkin mematahkan mimpi mereka, Kal. Tapi...” Kalla bak tersambar petir di siang bolong. Ada kekhawatiran yang tiba-tiba saja hadir. Ada kegelisahan yang langsung menyambar ke dalam diri Kalla. Perasaan orang lain tidak cukup penting dibanding perasaan kedua orang tua. Meskipun, kita tidak boleh melukai orang lain, namun, menjaga hati orang tua tetap utuh akan lebih penting. “Iya, kamu nggak boleh mematahkan mimpi mereka. Kamu adalah mimpi Mama dan Papa kamu. Kamu adalah harapan, kamu adalah masa depan. Mama dan Papa kamu sudah bergantung dengan kamu.  Kalau kamu melepaskan semuanya, mereka akan jatuh,” ucap Kalla dengan sekuat tenaga mencoba untuk baik-baik saja. “Kal, lo baik-baik saja kan?” tanya Meira khawatir. “Iya, aku baik-baik saja kok. Aman,” jawab Kalla sambil memberikan senyum andalannya. “Kal, aku janji kan sama kamu. Akan jagain kamu, aku nggak bakal ninggalin kamu seperti saat kita SMA.” “Sekarang kan ada gue, Sa. Lo tenang saja,” Meira mencoba menenangkan mereka berdua. “Kalll...” Aksa memegang kedua tangan Kalla. Meluapkan segala rasa bersalahnya karena akan mengingkari janjinya lagi. “Kalau sudah soal orang tua, aku nggak bisa berbuat apa-apa. Kalau sudah tentang Mama dan Papa, aku sudah nggak ada hak untuk meminta,” Kalla menjawab sambil melepaskan genggaman tangan Aksa. “Its Oke, Sa,” Kalla menguatkan Aksa yang sedang kecewa dengan dirinya sendiri juga keadaan. “Aku pesenin kamu minuman, ya,” Kalla berdiri untuk memesankan Aksa minuman. Aksa dan Meira hanya bisa menatap Kalla dengan tatapan yang penuh dengan khawatir.  Ada janji yang harus ditepati, namun, ada hati yang sama sekali tidak boleh dilukai. Semua orang yang melihat Aksa dengan Kalla, pasti akan tahu dan bisa membaca bagaimana perasaannya terhadap Kalla. Begitu tegarnya menjadi pelindung, betapa lembutnya menjadi pendamping, dan betapa lapangnya menjadi apapun yang Kalla butuhkan. Sekarang, Aksa tidak bisa memikirkan perasaan itu. Aksa harus memikirkan perasaan sayap dalam kehidupannya. Aksa harus memastikan sayapnya tidak ada yang patah dan jatuh begitu saja. Aksa bisa saja memilih apa yang Aksa cintai, namun, sesal akan selalu menghantui karena Aksa telah melupakan orang yang paling mencintai. “Ini, ice capucino kesukaan kamu,” Kalla datang membawakan minuman untuk Aksa. “Jadi, kemana kamu akan pergi?” Tanya Kalla memecahkan keheningan antara Meira dan Aksa. “Kamu baik-baik saja, kan? Kalau kamu mau marah, marah saja Kal sama aku. Aku terima, karena aku nggak bisa nepatin janji aku sebagai laki-laki.” Kalla hanya tersenyum sambil mengambil amplop yang terbuka di atas meja. “Jauh, yaa,” ucap Kalla sambil membaca isi dari amplop putih. ~ Kalla harus berbesar hati, karena dia hanya pendatang di hidup Aksa. Sedangkan Mama dan Papa Aksa adalah pemberi napas dalam kehidupan Aksa. Mama dan Papa Aksa hanya ingin mewujudkan mimpi mereka, bukan ingin merampas hak Aksa untuk memilih. Kalla menyimpan brosur kampus yang selama ini telah dikumpulkan bersama Meira. Kalla sudah bermimpi akan menjadi maba bersama Aksa dan Meira. Mengganti kisah-kisah kebersamaan yang hilang saat Aksa dan Kalla terpisah saat SMA. Namun, ternyata, kini mereka akan terpisah semakin jauh, dan semakin lama. Kalla harus terbiasa dengan hari-hari tanpa Aksa. Hanya ada Meira yang menjadi pundak untuk Kalla bersandar. Karena bagi Kalla, sahabatnya adalah pundak bagi Kalla. Senang dan sedih, pundak itu akan selalu menjadi tempat sandaran ternyamannya. Hari-hari yang sama, masih menjadi rutinitas Kalla di rumah. Bangun tidur, merapikan seisi kamar tidurnya, membuka jendela, lalu mendengarkan segala kebisingan serta kesibukan Mama Papanya yang akan pergi ke kantor masing-masing. Setelah semua kembali hening, Kalla akan mulai harinya. Mandi, bersiap kemanapaun Kalla akan pergi, turun ke bawah untuk sekedar mengisi perutnya. “Maaaa,” Kalla memanggil Mamanya yang masih sibuk di dapur. “Kenapa Kalla? Ada apa?” “Hari ini Kalla mau ke kampus untuk daftar ulang. Mama nggak bisa ya temenin Kalla?” tanya Kalla dengan penuh harap. “Mama kan Kerja, Kal. Kamu nggak usah seperti anak kecil yang nggak tahu apa-apa, deh. Sudah kuliah, sudah dewasa, harusnya bisa mengurus apapun sendiri. Oke? Mama berangkat kerja dulu, ya,” pamit Mamanya setelah selesai dengan kesibukannya di dapur menyiapkan makan siang dietnya. “Iya, Ma. Hati-hati,” jawab Kalla setelah kehilangan harapannya. Setelah merasa cukup memakan roti dan minum s**u yang ada di meja makan, Kalla bergegas pergi. Meira memberi kabar jika sudah menunggunya di kampus. Karena melihat dari map di hp macet, Kalla memilih untuk naik ojek agar lebih cepat sampai di kampus. “Makasih ya, pak. Tunggu sebentar,” Kalla turun dari ojek dan mencari uang di dalam tasnya. Sudah beberapa saat Kalla membuka tasnya, mencari di dalam tasnya, namun tidak ada uang yang terlihat. Kalla lupa tidak membawa uang cash sama sekali. Kalla menelepon Meira agar menolongnya, namun, Meira sulit untuk dihubungi. “Bagaimana, mba?” tanya tukang ojek yang mengantar Kalla ke kampus. “Eeee.. Iya, iya, pak. Sebentar,ya,” ucap Kalla merasa sangat tidak enak dengan tukang ojeknya. “Mbaaa, sudah belum? Saya mau narik lagi, ini. Ini sudah ada orderan lagi,” tanya tukang ojeknya kembali. “Aduhhh Meira kemana sih,” ucap Kalla dalam hati. “Iya, pak. Sebentar lagi saya cari uangnya. Keselip, mungkin,” Kalla kembali sibuk mencari uang di dalam tasnya. “Ini, pak,” ucap seorang laki-laki yang tiba-tiba datang dan memberikan uang kepada tukang ojeknya. “Oh iya, mas. Makasih. Helmnya, mba?” minta tukang ojeknya. Kalla kembali kesulitan melepas helmnya. Laki-laki itu mencoba membantu Kalla untuk melepas helmnya agar tukang ojek tidak terlalu lama menunggunya. Setelah melepas helmnya, rambut Kalla sedikit berantakan. Dengan pekanya, laki-laki itu merapikan sedikit rambut Kalla. “Maaf, ya kalau lancang. Rambutnya berantakan, biar gue bantu,” ijin laki-laki itu. Kalla tidak menolak sama sekali, Kalla hanya diam dan membiarkan laki-laki itu membelai rambut dan merapikannya. “Kallaaaaaa,” panggil Meira. “Sudah rapi, kok,” ujar laki-laki itu sambil meninggalkan Kalla. “Mei....” jawab Kalla singkat. “Tadi siapa? Nggak mungkin kan kalau tukang ojek, terlalu ganteng,” ucap Meira saat melihat laki-laki yang barusan bersama Kalla. Kalla hanya menggelengkan kepala dan melihat punggung laki-laki itu sampai tidak terlihat. Untuk pertama kalinya Kalla membiarkan ada laki-laki selain Aksa yang mendekati Kalla. Menyentuh rambut Kalla, dan menerima bantuannya. Siapa laki-laki itu sebenarnya? 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD