Hari yang sama dengan hari-hari yang sebelumnya. Kalla, Meira, dan para mahasiswa baru di kampus menjalani masa ospek. Ingin sekali rasanya menyudahi segala kegaduhan, keribetan, dan kesibukan sekarang. Namun, tidak siap jika suatu saat merindukan masa-masa sekarang. Mungkin, sekarang pilihan terbaiknya hanyalah menikmati dan menjalani.
Kalla masih merasakan lemas, lesu di badannya. Gibran memutuskan untuk mengantar Kalla ke rumah sakit untuk memeriksa keadaan Kalla. Kalla menolak keras, Kalla tidak mau membuat orang terdekatnya cemas, juga tidak mau ketinggalan momen di kampus.
“Badan kamu mulai demam, Kal,” ucap Gibran saat tidak sengaja menyentuh tangan Kalla.
“Hmmm... Engga, kak. Kak Gibran mungkin yang tangannya dingin.”
Gibran langsung memegang kening Kalla untuk memastikan apakah Kalla benar-benar demam atau tidak.
“Maaf,” Gibran mengucapkan maaf terlebih dahulu sebelum menyentuh kening Kalla.
Kalla diam saja, menuruti apa yang Gibran lakukan.
“Kamu demam, Kal. Kita nggak usah ke kampus, aku akan antar kamu ke dokter sekarang,” ujar Gibran tidak minta persetujuan Kalla.
“Engga, kak. Aku nggak mau. Aku baik-baik saja, kok. Aku akan minum obat penurun panas, setelah itu pasti akan turun demamnya.”
“Kalau kamu memaksa buat ke kampus dan ikut ospek, kau akan merepotkan banyak orang nanti. Teman deket kamu akan cemas lihat kamu sakit, kamu akan kena marah Natasha karena berada di klinik lagi.”
Kalla diam tidak bisa mengelak apa yang Gibran ucapkan.
“Kita ke dokter sekarang, ya,” Gibran langsung menyalakan mesin mobilnya.
Gibran menyetir mobilnya menuju ke dokter, bukan ke kampus. Padahal, di kampus, Natasha sudah menunggu kedatangan Gibran. Hari ini akan ada banyak acara yang harus Gibran tangani. Natasha mencoba menelepon Gibran, namun, Gibran tidak mengangkat karena sedang menyetir.
“Kak, ada panggilan masuk,” Kalla mengingatkan Gibran jika ponselnya berdering.
“Iya, nanti kalau kita sudah sampai ke dokter, aku akan telepon balik dia,” jawab Gibran sambil kembali fokus menyetir.
Kalla memijat kepalanya perlahan, rasanya mulai pening, sakit, perutnya juga semakin mual, badannya semakin lemas. Kalla menahan semuanya agar Gibran tidak cemas dengan keadaannya. Gibran menengok ke arah Kalla. Gibran meminggirkan mobilnya sejenak, lalu mendekatkan badannya ke arah Kalla.
“Maaa..Mau nagapain, kak? Tanya Kalla gugup sekali saat Gibran mendekatinya.
“Aku tahu kamu nggak nyaman duduk seperti ini,” jawab Gibran ambil membetulkan posisi kursi mobil untuk Kalla.
Kalla tidak bisa berkata-kata lagi. Gibran salah satu laki-laki yang paling peka yang pernah Kalla temui. Kalla tersenyum, melihat perlakuan Gibran kepadanya. Entah kenapa, sejenak Aksa hilang dalam pikiran Kalla. Tapi, Aksa masih ada di dalam hati Kalla. Haya saja, sekarang Kalla hanya butuh aksi yang seperti Gibran berikan saat ini.
“Tunggu,ya!” ujar Gibran sambil keluar mobil.
Gibran membuka pintu mobil di sebelah kiri. Gibran membantu Kalla bangun dari tidurannya.
“Pelan-pelan, aku akan bantuin kamu jalan. Kamu masih kuat kan jalan?” tanya Gibran kepada Kalla yang sudah terlihat sangat pucat dan lemas.
“Eeee masih, kak,” Kalla benar-benar menjawab Gibran dengan sangat lemas.
Gibran tidak banyak basa-basi, langsung menggendong Kalla, karena Gibran melihat Kalla sudah sangat pucat dan lemas. Kalla terkejut Gibran menggendongnya.
“Kak,” ucap Kalla pelan.
“Sudah, aku Cuma mau bantu kamu biar nggak jalan masuk ke dalam. Aku tahu kamu nggak kuat jalan, tapi nggak mau ngomong kan sama aku,” ujar Gibran sembari menggendong Kalla masuk ke klinik.
Tidak ada kursi roda yang tersedia di depan klinik, Gibran terus menggendong Kalla sampai di ruangan periksa.
“Sus, tolong ya!” ujar Gibran kepada suster yang akan membantu Kalla diperiksa oleh dokter.
“Tunggu dulu di luar ya, kak,” ujar suster itu sembari menutup ruangan.
Gibran menunggu Kalla di luar ruangan. Duduk di bangku yang tersedia. Gibran menunduk, lalu, memikirkan bagaimana caranya Gibran bisa dengan cepatnya jatuh cinta dengan Kalla. Padahal, selama ini Gibran tidak pernah berpikiran untuk dekat dengan perempuan. Namun, dengan Kalla Gibran sangat berbeda. Sebelumnya, banyak sekali perempuan yang mendekati Gibran terlebih dahulu. Gibran tidak suka dengan perempuan yang agresif, makanya tidak ada satupun perempuan yang berhasil menarik perhatian Gibran.
“Sebegitu spesialnya Kalla, sampai gue rela di sini sekarang demi dia. Kalla benar-benar bikin gue cemas,” ujar Gibran lirih.
“Kenapa gue bisa sebegitu manis sama Kalla? Apa ini yang namanya jatuh cinta? Tapi, sebelumnya gue belum pernah ketemu sama dia. Ahhhhh, gue bener-bener...”
Ocehan Gibran tergantung karena suster yang membantu memeriksa Kalla sudah keluar.
“Mas, keluarga dari pasien?” tanya suster itu kepada Gibran.
Gibran mengangguk tanpa ragu agar cepat tahu hasil dari pemeriksaan Kalla.
“Silakan masuk, mas. Dokter sudah menunggu di dalam,” Suster mempersilakan Gibran masuk ke dalam ruangan Kalla.
“Permsi, dok,” sapa Gibran.
“Ya, silakan masuk!” ucap dokter menyuruh Gibran masuk ke ruangan.
“Saya jelaskan ya, mas.”
“Ada apa, dok? Tidak ada masalah yang serius kan, dok? Gibran bertambah cemas ketika sudah bertemu dengan dokter.
“Tidak ada,” jawab dokter sekaligus melegakan pikiran dan hati Gibran.
Gibran memutuskan untuk Kalla dirawat di klinik. Gibran tidak yakin jika Kalla di rumah akan ada yang merawat Kalla. Tanpa persetujuan Kalla, Gibran memutuskan Kalla lebih baik dirawat. Gibran mendatangi Kalla yang sedang tertidur setelah selesai dipasang inpus oleh suster.
“Kak,” Kalla terbangun ketika Gibran ada di sebelah Kalla.
“Kok Kak Gibran masih ada di sini?” tanya Kalla heran.
“Kamu yang jagain siapa kalau aku pergi?” Gibran malah balik bertanya dengan Kalla.
“Aku kenapa nggak pulang saja sih, kak? Kenapa harus dirawat di sini?” tanya Kalla bingung tiba-tiba saja dirawat di rumah sakit.
“Maaf aku nggak minta persetujuan kamu dulu. Tapi, aku nggak yakin ada yang merawat kamu di rumah, jadi aku memutuskan kamu dirawat di sini saja,” jawab Gibran dengan tenang.
“Iya tapi, kan,” Kalla masih membantah jawaban Gibran.
“Lagian, kalau kamu di sini, kamu akan lebih cepet sembuh,” Gibran memberi jawaban yang Kalla tidak bisa membantah lagi.
“Nanti aku akan kasih tahu Mama dan Papa kamu, tenang saja.”
“Eeeee, nggak usah, kak,” jawab Kalla dengan raut wajah yang panik.
“Kenapa? Orang tua kamu harus tahu dong kamu dirawat di sini.”
Belum sempat Kalla menjawab pertanyaan Gibran. Gibran menerima panggilan masuk dari Natasha. Kali ini Gibran tidak membiarkan begitu saja panggilan dari Natasha. Gibran ijin keluar sebentar untuk mengangkat telepon dari Natasha.
“Lo dimana sih?” Natasha sudah tidak basa-basi lagi, langsung menanyakan keberadaan Gibran.
“Jangan mentang-mentang lo punya pacar, sekarang lo jadi nggak profesional!” Natasha marah kepada Gibran
“Mau lo gue turunin dari jabatan lo?” Natasha terus marah-marah dengan Gibran karena Gibran belum juga muncul di kampus.
“Iya, Nat. Gue salah, tapi gue punya alasan kenapa gue belum sampai ke kampus. Lagian, masih ada waktu 30 menit lagi kan buat gue isi acaranya?” tanya Gibran dengan tenang tanpa terbawa emosi.
“Sekarang dimana lo? Share lock!” Natasha memaksa Gibran untuk share lock.
Setelah Gibran selesai telepon dengan Natasha, Gibran sibuk menelepon seseorang. Selesai semua urusannya, Gibran langsung masuk ke ruangan lagi.
“Kenapa, kak?” Kalla terlihat khawatir dengan Gibran.
“Nggak kenapa-kenapa, kok,” jawab Gibran menenangkan Kalla.
“Ohhh, jadi ini yang bikin lo belum dateng ke kampus sampe sekarang?” tanya Natasha yang tiba-tiba saja sudah ada di ruangan Kalla.
Kalla kaget sekali dengan kedatangan Natasha.
“Nat, ini klinik, jadi jangan bikin keributan di sini. Urusan kita selesaikan nanti di kampus,” ujar Gibran langsung berdiri dari duduknya ketika Natasha datang.
“Gue nggak masalah ya lo mau punya pacar kek atau lo mau deketin siapa kek, yang penting lo haris tetap profesional. Lo kan ketua, nggak pantes lah lo malah enak-enakan pacaran di sini, sedangkan di sana butuh lo semua!” Natasha langsung saja menyemprot Gibran dengan omelan.
“Maaa, maaf kak. Ini bukan salah Kak Gibran, ini salah aku. Gara-gara aku jadi,”
“Apaan sih, Nat. Gue tetap profesional kok. Gue bakalan datang ke kampus, ini juga masih ada waktu kan?” tanya Gibran.
“Halah, alesan saja deh lo! Kalau gue nggak telepon lo dan nggak nyusulin ke sini, lo nggak bakalan datang ke kampus kan?” Natasha masih sinis dengan Gibran.
“Sudah deh, maaf gue salah. Kita selesaikan di kampus, tapi tunggu beberapa menit lagi. Lo duluan jalan ke kampus, nanti gue menyusul!” Gibran menyuruh Natasha untuk kembali ke kampus.
Natasha tidak menjawab apa-apa langsung berbalik dan meninggalkan Kalla dan Gibran.
“Kak, maafin aku ya. Jadi ada masalah gara-gara aku,” Kalla merasa bersalah dengan Gibran.
“Sudah, tenang saja. Bukan salah kamu!” Gibran menegaskan jika ini semua bukan salah Kalla sama sekali.
“Kak Gibran ke kampus saja, aku sendiri nggak apa-apa kok,” Kalla menyuruh Gibran untuk datang ke kampus saat itu juga.
“Iya, sebentar lagi aku juga akan berangkat ke kampus.”
“Oh iya, ini barang-barang kamu sudah ada di sini semua, ya. Hp kamu, tas, dan lain-lain. Nanti, kalau ada apa-apa, kamu langsung telepon aku.”
“Haaa?” Kalla bingung karena belum memiliki nomor hp Gibran.
“Sudah aku save nomor aku. Maaf lancang,” Gibra meminta maaf karena sudah meminjam hp Kalla.
“Lain kali nggak boleh pinjam hp orang sembrangan, nggak sopan,” Kalla ngambek karena Gibran membuka hp Kalla tanpa Kalla tahu.
“Iya iya, maaf. Tapi aku nggak buka yang lain, kok! Suer deh!” Gibran bersumpah tidak membuka hal lainnya di hp Kalla.
“Yaudah kak, mendingan Kak Gibran ke kampus saja sekarang,” Kalla kembali menyuruh Gibran pergi ke kampus.
“Kalla, kamu kenapa?” tanya Mama Kalla yang sudah ada di depan ruangan Kalla.
“Mama?” Kalla kebingungan karena sudah ada Mamanya di depan ruangannya.
Kalla dan Gibran saling menatap. Kalla tahu, ini semua pasti karena Gibran, Mama Kalla jadi datang ke klinik.
“Mama kok tahu aku di sini? Mama darimana? Sudah di kantor?” Kalla bertanya Kepada Mamanya agar tidak terihat canggung di depa Gibran.
Kalla belum mendengar jawaban dari Mamanya, Kalla melihat sekilas stopmap yang dibawa oleh Mama Kalla. Di sana tertuliskan jelas surat yang dibawa Mama Kalla adalah surat dari pengadilan Agama. Kalla terkejut bukan main setelah membaca tulisan yang terlihat dari stopmap.
“Kak Gibran, sudah ada Mama di sini. Kakak berangkat saja ke kampus, ya!” Kalla meminta Gibran berangkat ke kampus.
Gibran akhirnya berpamitan dengan Kalla dan Mamanya untuk segera berangkat ke kampus. Kalla dan Mamanya hanya diam saja di ruangan yang sama. Kalla sedih sekali membaca tulisan yang tertera di stopmap yang Mamanya bawa.
“Apa lagi ini ya Tuhan,” Kalla mengeluh di dalam hatinya.
Bukan sebuah hiburan yang dibawa oleh Mamanya, namun, justru berita yang menyedihkan untuk Kalla. Kalla sedih sekali, disaat Kalla sakit masih saja ada berita yang tidak menyenangkan yang datang kepadanya.
“Papa kemana, Ma?” Kalla membuka obrolan dengan Mamanya.
“Papa ke kantor,” jawab Mama Kalla singkat.
Mama Kalla juga terlihat canggung dan kikuk saat itu. Mama Kalla bingung harus bagaimana. Stopmap yang dibawa diletakan di meja yang ada di sekitarnya. Lalu, disembunyikan tulisannya.
“Kalla sudah lihat, Ma!” ujar Kalla dalam hati.
“Mama mau urus administrasi dulu, ya,” Mama Kalla meninggalkan Kalla sendirian untuk mengurus semua administrasi Kalla.
Kalla sedih, hancur hatinya ketika tahu orang tuanya akan bercerai. Bagaimana bisa Kalla hidup harus memilih salah satu dari orang tuanya. Kalla tidak tahu harus berbagi dengan siapa. Aksa tidak mungkin, karena Aksa juga sedang sibuk mengurus Mamanya yang sedang sakit. Meira, Meira sedang sibuk di kampus. Kalla hanya bisa menangis sendiri di ruang perawatannya.
“Padahal, Kalla sudah senang sekali Mama mau datang ke sini. Kalla berharap Mama menanyakan kondisi Kalla. Tapi, nyatanya sungguh membuat Kalla patah hati,” Kalla mengucapkan kalimat itu sambil menangis.
Baru saja sampai ke kampus, Gibran langsung diminta untuk bersiap-siap mengisi acara ospek. Sebelum naik ke podium yang sudah disediakan, Gibran mendapat panggilan masuk. Panggilan masuk itu dari Kalla. Natasha melihatnya, Natasha langsung merebut hp Gibran dan menyuruh Gibran langsung naik ke atas podium.
“Gue sita hp lo sampai acara selesai!” ujar Natasha dengan sedikit kesal.
Gibran naik ke atas panggung dengan suasana hati yang kacau. Cemas dengan keadaan Kalla, khawatir, dan ingin segera menyudahi acaranya. Gibran juga kesal dengan dirinya sendiri karena sulit untuk fokus dan bersikap profesional.