Keributan Tiada Henti

2071 Words
Kalla tertidur pulas setelah menangisi kemalangan nasibnya sebagai seorang anak. Setelah membaca satu kalimat yang membuatnya patah hati. Sebenarnya tidak ada yang Kalla harapkan lebih dari orang tuanya, namun, bukan berarti perpisahan yang Kalla inginkan. Tidak ada seorang anak pun yang menginginkan kedua orang tuanya berpisah. Jika mereka berpisah, maka, Kalla harus memilih tinggal bersama salah satunya. Kalla masih butuh sosok Ibu untuk mengurus segala keperluan yang Kalla tidak bisa penuhi. Kalla juga masih membutuhkan sosok Papanya untuk menjaga Kalla juga Mamanya. Kalla sama sekali tidak egois dan memikirkan perasaannya sendiri. Hanya saja, Kalla tidak bisa menahan bagaimana patah hatinya ketika kedua orang tuanya berpisah. Kalla tidak lagi mendengar sebuah keributan di pagi, siang, hingga malam hari. Tidak lagi mendengar kesibukan ketika Papa dan Mamanya menyiapkan segala perintilan ke kantor. Masih banyak hal yang masih belum siap untuk Kalla terima. Kalla juga takut jika Papa dan Mamanya berpisah hanya menambah luka diantara mereka. Kalla terbangun mendengar suara yang sedikit menganggu tidurnya. Mama dan Papa Kalla sudahada di ruangan Kalla. Seperti biasa, tidak ada pertemuan tanpa sebuah keributan. Dimana pun tempatnya, kapanpun waktunya, jika mereka bersama akan ada sebuah keributan. “Ma, Pa, kalau mau bertengkar jangan di sini. Kasihan orang-orang yang dirawat, mereka pasti juga akan terganggu dengan suara Mama dan Papa,” ujar Kalla sembari menahan tangisnya. Mama dan Papa Kalla berhenti dari segala keributan yang mereka ciptakan. Lalu, sunyi pun menghampiri mereka bertiga. “Kamu kenapa bisa sampai dirawat di sini? Pasti gara-gara Mama kamu yang tidak becus mengurus anak dan suaminya,” ujar Papa Kalla masih emosi. “Apa kamu bilang?” Kalla menggelengkan kepalanya,  heran melihat Mama dan Papanya sama sekali tidak bis akur. “Siapa lagi kalau bukan karena kamu? Kalau kamu tidak sok sibuk dengan pekerjaan kamu, Kalla tidak akan dirawat di sini!” Papa Kalla bertambah emosi. “Aku bekerja juga untuk memenuhi kebutuhan kita, mas!” Mama Kalla mulai terpancing emosi. “Aku yang tugasnya bekerja, bukan kamu!” Papa Kalla memberi jawaban sekaligus berdiri lagi setelah duduk di samping Kalla beberapa saat. “Kalau saja kamu bisa memenuhi segala kebutuhan kita, aku nggak akan sibuk bekerja. Aku bisa menjadi ibu rumah tangga yang jauh lebih hebat dari yang kamu bayangkan. Sayangnya, kamu yang tidak becus kerja. Kamu tidak bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga kita, sampai akhirnya aku haru turun tangan bekerja!” Mama Kalla melampiaskan segala kekesalannya karena selalu disalahkan oleh Papa Kalla. “Apa sih yang sebenarnya Papa sama Mama ributkan? Kalau masalah uang, sekarang Mama dan Papa lebih punya banyak uang, kan? Terus apa lagi? Dulu Mama dan Papa ingin sekali punya pekerjaan yang menghasilkan uang lebih banyak, tapi, setelah itu menjadi kenyataan, Mama dan Papa tidak pernah berhenti bertengkar sampai sekarang. Apa yang Mama dan Papa cari?” Kalla menangis sambil mulai ikut campur atas keributan orang tuanya. Mama dan Papa Kalla hanya diam saja. Tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan Kalla. Mungkin di dalam hati dan pikiran mereka sudah ada perasaan malu dan sadar jika keributan selama ini sama sekali tidak ada gunanya, justru mereka malah semakin melukai satu sama lain. Ya, itu hanya mungkin. “Papa Cuma ingin Mama jadi ibu rumah tangga yang baik. Bisa mengurus kamu dan Papa, juga mengurus rumah seperti Ibu rumah tangga lainnya,” jawab Papa Kalla lebih tenang daripada tadi saat berdebat dengan Mamanya. “Mama juga kan bekerja untuk mencukupi kebutuhan kita. Untuk biaya kuliah kamu, kalau Mama nggak kerja, kebutuhan kita nggak akan bisa terpenuhi,” ucap Mama Kalla masih menahan emosinya. “Kalau begitu, Kalla nggak perlu kuliah, Kalla akan cari pekerjaan untuk membantu keuangan keluarga. Kalau itu bisa buat Mama dan Papa tidak bertengkar terus, Kalla akan lakukan,” Kalla mulai mengeluarkan opininya. “Jangan, Kal!” Mama Kalla melarang Kalla berhenti kuliah. “Mama kamu menuntut banyak, makanya tidak akan pernah merasa cukup,” ujar Papa Kalla. Perdebatan Mama, Papa, dan Kalla sudah tidak berlanjut lagi semenjak kehadiran Meira. Meira datang, heboh karena terlalu cemas dan khawatir dengan keadaan Kalla. “Kallaaaa! Kalla kenapa lo bisa sampai dirawat di rumah sakit, sih?” tanya Meira berlari ke arah Kalla setelah menemukan ruangan Kalla. “Meira,” Kalla heran karena Meira bisa tahu jika Kalla dirawat di klinik. Meira sampai lupa menyapa Mama dan Papa Kalla karena ingin segera melihat keadaan Kalla. “Halo om, tante. Maaf, tadi Meira cemas sekali dengan Kalla. Jadi, lupa deh mau nyapa om dan tante, hehehe,”   “Iya, Halo Meira!” sapa Mama Kalla balik. “Om tinggal dulu ya, Meira,” pamit Papa Kalla. Meira meihat wajah Kalla sedang tidak baik-baik saja. Selain pucat yang sedang menghiasi wajah Kalla, terlihat juga kesedihan di sana. Meira sangat paham dengan sahabatnya itu. Namun, Meira tidak akan langsung menanyakan keadaan Kalla saat itu juga, Meira ingin Kalla sembuh dulu, dan menunggu Kalla bercerita dengannya. “Kal, lo kenapa? Sakit apa? Kok lo nggak kasih kabar ke gue sih?” Meira memberondong pertanyaan kepada Kalla. “Nggak apa-apa kok, kata dokter Cuma kecapean saja. Dirawat biar aku istirahat saja, sebenarnya bisa kok dirawat di rumah, tapi, Kak Gibran bilang lebih baik aku di sini, biar cepat sembuh,” jawab Kalla sembari melihat ke arah Mamanya yang masih sibuk bermain ponsel di sebelah Kalla dan Meira. “Cieeeee, sudah jauh banget ini kayaknya lo sama Kak Gibran?” Meira iseng bertanya dengan Kalla. “Kalla, Mama keluar sebentar, ya. Mau angkat telepon dari kantor,” Mama Kalla pamit keluar sebentar. Kalla dan Meira mengangguk, mengiyakan ucapan Mama Kalla. “Ehh bagaimana, sudah sampai mana lo sama Kak Gibran?” Meira mengulangi pertanyaan isengnya. “Sampai mana apanya? Ya, tadi Kak Gibran sampai sini, lah,” Kalla sangat polos menjawab pertanyaan Meira. “Lo sok polos, deh. Sudah, jujur saja sama gue, sudah sampai mana hubungan lo sama Kak Gibran? Nggak mungkin kalau nggak ada apa-apa, Kak Gibran saja khawatir banget sama lo, ini buktinya lo ada di sini!” Meira ngomelin Kalla yang tidak mau jujur kepadanya. “Gue sih setuju saja sama pilihan lo. Tapi, saran gue, jangan terlalu terburu-buru ambil keputusan. Gue takut banget kalau lo disakitin sama cowok!” Meira ngegas. Kalla hanya tersenyum menanggapi omongan dari Meira. “Oh iya, Aksa bagaimana? Mama Aksa sudah pulang ke rumah?” “Tadi sih gue sudah kabarin Aksa, kalau lo ada di sini.” “Duhhh Mei, nagapain sih bilang Aksa segala. Kasihan, Aksa kan lagi jagain Mamanya di rumah sakit,”ujar Kalla. “Kamu tega nggak kasih tahu aku soal kayak gini,” Aksa sudah ada di ruangan Kalla dan mendengar obrolan Kalla dan Meira sebelumnya. “Aksa,” Kalla heran melihat Aksa sudah masuk di ruangannya tiba-tiba. “Aku tahu mungkin kamu sudah punya cowok, atau sedang deket sama cowok, atau apalah itu. Tapi, yang jelas aku masih sahabat kamu. Aku harus tahu semua yang terjadi sama kamu, Kal. Nggak kayak gini caranya,” Aksa kesal dengan Kalla karena Kalla tidak memberi kabar Aksa. “Aksa, kenapa sih datang-datang marah. Maaf maaf, aku Cuma nggak mau ngerepotin kamu, kamu kan lagi jagain Mama kamu di rumah sakit.” “Terus, aku harus tunggu kamu sampai kenapa-kenapa dulu baru kamu kasih tahu aku?” Aksa bertambah kesal dengan jawaban Kalla. “Apaan sih lo, Sa! Kalla lagi sakit masih sempet-sempetnya lo omelin!” Meira marah kepada Aksa. Aksa langsung mendekati Kalla, memegang keningnya, mengelus rambutnya. Aksa terlalu khawatir dengan keadaan Kalla. Aksa juga sangat merindukan Kalla, namun, Aksa hanya bisa diam dan memendam perasaannya saja. Kalla selalu mengelak jika membahas tentang perasaan Aksa kepada Kalla. “Oh iya, lo kapan berangkat ke Amerika?” tanya Meira tiba-tiba. “Ditunda,” jawab Aksa singkat. “Kenapa?” Kalla terkejut mendengar jawaban Aksa. Gibran datang saat Kalla, Meira, dan Aksa baru saja memulai obrolan mereka. Aksa dan Gibran langsung bersitegang. Saling menatap satu sama lain. Mengungkapkan saling tidak nyaman satu sama lain. “Kak Gibran,” sapa Kalla kepada Gibran yang baru saja masuk ke ruangan Kalla. “Hai, Kal. Bagaimana keadaan kamu? Sudah lebih baik?” Gibran tidak menyapa Meira maupun Aksa, langsung menghampiri Kalla. Memegang kening Kalla dan melihat keadaan Kalla. Aksa sangat merasa tidak nyaman dengan sikap Gibran kepada Kalla. Ingin rasanya Aksa mengeluarkan segala emosinya kepada Gibran. Baru mengenal Aksa beberapa saat, namun sudah mendapat tempat di hati Kalla. Aksa sangat tidak terima, ingin protes, ingin marah, namun, Kalla pun tidak menganggap Aksa lebih dari sekedar sahabat. “Sudah kok, kak. Sudah lebih baik,” Kalla menjawab pertanyaan Gibran dengan lembut dan memberinya senyuman tipis. “Maaf, tadi aku nggak angkat telepon kamu. Aku sedang mengisi acara, memberi arahan buat mahasiswa baru di kampus, jadi, nggak bisa angkat telepon kamu saat itu juga,” Gibran meminta maaf karena tidak mengangkat telepon Kalla siang tadi. “Iya, nggak papa, kak,” Kalla menenangkan Gibran. “Tadi kenapa? Kamu butuh apa?” “Eeee...” “Kamu kenapa nggak telepon aku sih, Kal? Aku masih bisa kok buat selalu ada untuk kamu. Aku juga masih bisa mengusahakan kalau kamu butuh bantuan, kenapa harus orang lain yang kamu telepon? Kalau tadi kamu penting, kamu kenapa-kenapa bagaimana?” Aksa kesal karena merasa Gibran yang lebih dibutuhkan oleh Kalla. “Nggak begitu,Sa!” Kalla mencoba memberi penjelasan. “Maksud lo apasih?” tanya Gibran mulai terpancing dengan Aksa. “Maksud gue, gue nggak suka lo deket sama Kalla!” Aksa tiba-tiba menjelaskan jika dirinya memang tidak suka dengan kedekatan Kalla dan Gibran. “Aksa,” Kalla mencoba menahan Aksa agar tidak emosi dan bertengkar dengan Gibran. “Gue nggak tanya lo suka atau nggak sama gue. Kalla mau dekat dengan siapapun itu hak Kalla, bukan hak orang lain, terutama lo!” Gibran menjawab Aksa masih dengan tenang. “Ehh ehh udah, jangan pada berantem di sini dong!” Meira mulai ikut campur dengan keributan itu. “Aksa, Kak Gibran, kalau kalian mau ribut tolong jangan di sini. Kasihan pasien lain akan terganggu dengan keributan dari ruangan ini,” Kalla memberi pengertian kepada Aksa dan Gibran yang sam-sama sudah terpancing emosi. Aksa memilih untuk keluar dari ruangan untuk memenangkan diri. Sebelumnya, Kalla sempat menahan Aksa, namun, Aksa tidak mau mendengarkan Kalla. Meira pun menyuruh Kalla untuk membiarkan Aksa keluar ruangan terlebih dahulu. “Kak Gibran, Meira, mendingan kalian pulang saja, ya. Biar aku di sini sama Mama dan Papa. Mama dan Papa yang akan jagain aku di sini. Kalian pulang saja,” Kalla menyuruh Gibran dan Meira untuk pulang. Kalla sudah tidak sanggup jika harus mendengarkan keributan lagi. Kalla sedang merasa tidak baik-baik saja, baik itu mental dan fisiknya. Kalla ingin menenangkan diri dari segala kegaduhan. Meski sebenarnya Kalla membutuhkan seseorang untuk menemani Kalla, namun, Kalla tidak mau membuat salah paham diantara mereka lagi. Kalla juga tidak yakin jika Mama dan Papanya akan menjaganya juga menemaninya malam itu. Kalla hanya menengkan Meira dan Gibran, supaya tidak khawatir dengan keadaan Kalla. “Aku sudah baik-baik saja, jadi, kalian bisa pulang. Aku nggak mau ngerepotin kalian bertambah banyak lagi,” pinta Kalla lagi. “Kamu yakin nggak mau aku temenin, Kal?” Meira masih khawatir. “Iya, Mei. Aku nggak apa-apa. Ada Mama dan Papa aku, kok.” “Yaudah, aku akan pulang setelah Mama dan Papa kamu datang ke sini,” jawab Gibran. Meira melihat Kalla tidak bisa menolak kemauan Gibran. Meira heran, tetapi, tidak ada yang bisa Meira lakukan. “Titip Kalla ya, Kak. Kalau ada apa-apa, tolong kasih taku gue,” Meira berpesan kepada Gibran. “Iya, lo pulan saja. Gue bakal jagain Kalla di sini,” jawaban Gibran menenagkan Meira. Meira pun akhirnya pamit pulang, meninggalkan Kalla dan Gibran berdua di ruangan. Malam hari, Aksa kembali ke klinik untuk melihat keadaan Kalla. Aksa cemas, khawatir, juga gelisah karena meninggalkan Kalla dalam keadaan sakit. Aksa sudah tahu jika orang tua Kalla tidak akan sepenuhnya menjaga Kalla, maka dari itu Aksa kembali ke klinik. Siapa tahu, Aksa bis menjaga Kalla malam ini. Mengobati semua patah hatinya selama beberapa hari ini. Baru mau masuk ke ruangan, Aksa sudah memilih untuk mundur kembali. Di sana Aksa melihat Kalla bersama Gibran. Gibran dengan sabar membantu merawat Kalla. Ada perasaan sakit di dalam hatinya, ada rasa cemburu ketika Aksa hanya menjadi saksi bahagianya. Aksa duduk di depan ruangan. Aksa kesal dengan dirinya sendiri, Aksa marah dengan semua perasaan yang ada sekarang. Aksa ingin teriak, menangis, tapi, hanya bisa Aksa tahan. “Lo ngapain di sini?” tanya Gibran saat keluar melihat Aksa duduk di depan ruang rawat Kalla. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD