Perasaan

2097 Words
Kalla Menunggu kedatangan Mama dan Papanya. Gibran keluar untuk mencari Mama dan Papa Kalla. Sudah beberapa saat menunggu, Gibran, Mama, atau Papa Kalla tidak juga muncul. Kalla berniat untuk keluar kamar, melihat di sekeliling ruangan Kalla, siapa tahu mereka sedang ngobrol di luar ruangan. Bangun perlahan, menyiapkan alat infusnya agar bisa dibawa berjalan ke luar. Dengan kepala yang masih pusing, lemas, Kalla tetap memaksakan diri keluar ruangan. Tidak enak rasanya dalam keadaan sakit merasakan sendirian. Semua akan lebih teras lebih sakit juga menyedihkan. “Kak Gibran, Aksa?” Kalla terkejut melihat Gibran dan Aksa yang sedang berada di depan ruangan Kalla. Gibran dan Aksa sudah hampir mengeluarkan emosi mereka. “Kalla?” Gibran dan Aksa lebih terkejut melihat Kalla turun dari tempat tidur. “Kamu kenapa ke sini lagi? Mama kamu bagaimana?” “Kamu apa keluar ruangan? Kamu sakit, jangan memaksakan diri, Kal. Sekarang kamu masuk ke ruangan, istirahat,” ujar Gibran sambil memegang tangan Kalla untuk menjaga Kalla agar tidak jatuh. “Aku ke sini karena khawatir sama kamu. Mama juga khawatir dan nanyain keadaan kamu terus,” Aksa menjawab pertanyaan Kalla. “Terus Mama kamu bagaimana? Siapa yang jagain?” “Ada Papa di sana. Mama sudah jauh lebih baik.” “Yaudah kamu masuk ya, Kal,” Gibran merangkul Kalla, mengajak masuk ke ruangan lagi. Aksa memegang tangan Kalla, ingin menarik Kalla agar Kalla tahu bagaimana perasaannya saat itu. Aksa tidak ingin egois, tidak ingin semaunya sendiri. Namun, perasaannya juga tidak bisa dipungkiri. Kalla merespon pegangan tangan Aksa, Kalla mengajak Aksa untuk masuk ke ruangan. “Kalau lo masuk ke ruangan, tolong jangan bikin keributan di dalam,” Gibran memberi pesan ke Aksa sebelum masuk ke ruangan. Kalla, Gibran, dan Aksa masuk ke dalam ruangan. Mereka bertiga ada di satu ruangan. Canggung dan kikuk meerajai suasana saat itu. Gibran dan Aksa sama-sama merasa tidak nyaman dengan kehadiran satu sama lain. “Kak Gibran nggak pulang saja? Ini sudah malam loh, kak,” Kalla membuka obrolan diantara mereka bertiga. “Iya, mendingan lo pulang saja. Biar Kalla gue yang jagain,” Aksa menambahkan. “Yakin lo bisa jagain Kalla malam ini? Nyokap lo bagaimana?” Gibran meyakinkan Aksa apakah bisa menjaga Kalla malam itu. “Iya, yakin. Nyokap gue sudah ada bokap gue di sana,” jawab Aksa ketus. “Beneran, Sa?” Tanya Kalla meyakinkan Aksa kembali. “Iya, kamu tenang saja,” Aksa menjawab juga meyakinkan Kalla jika Aksa bisa menemani Kalla malam itu. “Yaudah, kalau begitu gue balik duluan. Gue titip Kalla, ya,” Gibran pamit pulang kepada Aksa. Gibran sedang bersiap pulang, Aksa mendpatkan telepon dari Papanya. Aksa pamit keluar sebentar untuk menerima panggilan dari Papanya. Gibran belum mau pulang jika Aksa belum masuk ke ruangan Kalla kembali. “Sudah?” tanya Gibran saat Aksa sudah masuk ke ruangan Kalla kembali. “Sorry, Kal,” ucap Aksa dengan sangat merasa bersalah. “Kenapa, Sa?” Kalla panik mendengar ucapan Aksa. “Aku harus balik ke rumah sakit. Ada yang penting. Maafin aku nggak bisa nemenin kamu malam ini,” Aksa sangat merasa bersalah dengan Kalla. “Untung gue belum balik,” Gibran menimpali ucapan Aksa. “Ehhh,” Aksa sudah terpancing emosi dengan ucapan Aksa. “Sudah sudah, Sa,” Kalla menghentikan Aksa sebelum semakin emosi. Kalla menarik tangan Aksa untuk lebih menenangkan Aksa. “Nggak apa-apa, masih ada Kak Gibran di sini. Kamu jagain Mama kamu, ya. Bilang sama Mama kalau aku baik-baik saja. Aku pasti akan jenguk Mama kamu sesegera mungkin,” Kalla menitip pesan sebelum Aksa kembali ke rumah sakit. “Kalau ada apa-apa, tolong kasih kabar ke aku, ya,” Aksa memohon kepada Kalla. “Iyaa,” Kalla sembari memberikan senyum untuk Aksa. Aksa menggenggam tangan Kalla sebelum meninggalkan Kalla bersama Gibran. “Aku pergi ke rumah sakit dulu, ya,” Pamit Aksa dengan sangat lembut, berbeda dengan penampilannya. “Tolong kasih tahu gue kalau ada apa-apa,” pesan Aksa kepada Gibran. Gibran mengangguk atas permintaan Aksa sebelum keluar ruangan. “Sekarang kamu istirahat ya, Kal. Daritadi kamu nggak istirahat, lama nanti sembuhnya,” Gibran menyuruh Kalla beristirahat. “Makasih ya, Kak. Walaupun kita baru kenal akhir-akhir ini, tapi, Kak Gibran sudah banyak banget bantuin aku,” Kalla berterima kasih kepada Gibran. “Kamu, ngomong apa sih. Aku tulus, kok ngelakuin semua ini,” jawab Gibran sambil memernarkan selimut Kalla. “Sekarang kamu istirahat, ya. Aku temenin di sofa,” Gibran mengelus kening Kalla dengan lembut. Kalla sebenarnya masih menunggu Mama dan Papanya datang menjenguknya lagi. Namun, Kalla tidak mengungkapkannya kepada Gibran. Gibran terlihat sudah mulai menata badannya di sofa, akan segera tidur. Kalla juga mencoba untuk memejamkan mata, beristirahat. Melupakan sejenak semua kegaduhan yang menganggunya hari ini. Ponsel Kalla tiba-tiba saja berdering, ternyata Mama Kalla menelepon Kalla. “Hallo, Ma,” sapa Kalla setelah menerima panggilan dari Mamanya. Gibran tidak jadi memejamkan matanya, Gibran langsung menengok ketika mendengar suara Kalla mengangkat telepon. Gibran duduk, lalu, memperhatikan Kalla yang sedang mengangkat telepon. “Iya, nggak apa-apa, Ma,” Kalla menutup teleponnya. Kalla tidak bisa menahan betapa sedihnya Kalla saat itu. Kalla sedang membutuhkan perhatian Mama dan Papanya, namun, mereka tidak ada di sisi Kalla, bahkan saat Kalla sedang sakit. Orang tua Kalla lebih memikirkan pekerjaan mereka masing-masing. Kalla menangis, memalingkan wajahnya dari Gibran, agar Gibran tidak melihat jika Kalla sedang menangis. Dari tadi siang, Kalla sudah menahan semuanya. Namun, malam ini, rasanya sudah tidak ada kesanggupan lagi untuk menahan semua kesediahan dan kepedihannya. Gibran berdiri, menghampiri Kalla. Lalu, Gibran menarik badan Kalla untuk bersandar ke badan Kalla. Gibran sama sekali tidak menanyakan apa yang sedang terjadi, Gibran hanya ingin memberikan pelukan untuk Kalla agar Kalla lebih tenang. “Jangan ditahan, kalau kamu mau nangis, nangis saja,” Gibran mengusap kepala Kalla dengan lembut sambil megucapkan beberapa kata. Kalla menangis sesenggukan dipelukan Gibran. Tidka tahu kenapa, pelukan Gibran salah satu hal ternyaman yang Kalla dapatkan saat itu. Kalla menumpahkan semuanya di pelukan Gibran, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Gibran juga tidak memaksa Kalla untuk bercerita malam itu juga, Gibran hanya ingin mengerti perasaan Kalla saat itu. Setelah beberpaa saat Kalla menangis, Kalla merasa lebih lega. Kalla melepaskan pelukan Gibran, lalu, mengusap air matanya. Gibran melepaskan Kalla sejenak untuk mengambil tisu dan air putih. “Minum dulu, ya,” ucap Gibran setelah membantu Kalla mengeringkan air matanya dengan tissue. Kalla sedikit lebih lega, dadanya sudah tidak sepenuh tadi. Ada yang hilang sedikit dari sesak di dadanya. “Makasih ya, kak,” Kalla berterima kasih atas pelukan Gibran yang sudah memberikan Kalla ketenangan. “Iya,” Gibran menjawab singkat dengan senyum. “Kamu istirahat, ya. Ini sudah malam, ada aku di sini,” ujar Gibran sambil membantu Kalla bersiap untuk tidur. Kalla mengangguk, mengikuti apa kata Gibran. Kalla mencoba memejamkan matanya, Gibran duduk di samping Kalla, menemani Kalla sampai Kalla benar-benar tertidur. “Selamat istirahat, ya,” ucap Gibran sebelum Kalla benar-benar tertidur. Pagi hari saat Kalla bangun, Gibran sudah tidak ada di sofa. Kalla sempat memanggil Gibran beberapa kali, namun Gibran tidak menjawab sama sekali. Kalla mengira Gibran sudah pergi ke kampus sebelum Kalla bangun, karena tidak ada di sekitar ruangan Kalla. “Terima kasih, dok,” suara Gibran terdengar oleh Kalla dari dalam ruangan. Gibran masuk kembali ke ruangan setelah selesai ngobrol dengan dokter. “Kal, sudah bangun?” tanya Gibran saat melihat Kalla mencoba duduk di kasurnya. “Iya, kak. Darimana? Aku kira Kak Gibran sudah berangkat ke kampus,” jawab Kalla sambil menjelaskan kenapa Kalla mencari Gibran. “Aku habis ketemu sama dokter.” “Hari ini aku boleh pulang nggak, kak?” tanya Kalla dengan antusias. “Belum dong. Paling cepat kata dokter besok baru boleh pulang,” jawab Gibran. “Yang penting, kamu sembuh dulu. Biar kamu bisa beraktivitas seperti biasanya,” Gibran menambahkan wejangannya singkatnya. Kalla ingin segera pulang ke rumahnya saja. Di sini Kalla semakin merasakan kesepian, namun, kalau di rumah Kalla hanya mendengarkan pertengkaran yang tak pernah berujung. “Kenapa?” tanya Gibran ketika melihat Kalla merenung. “Nggak papa, kok.” “Sekarang kamu makan, ya. Habis itu, kamu minum obat. Biar besok bisa cepat pulang ke rumah,” ujar Gibran. “Boleh nggak sih kak aku di sini saja?” tanya Kalla dengan nada yang polos, sedih, dan penuh harap. “Loh, kenapa? Katanya tadi mau cepat pulang?” Gibran penasaran dengan ucapan Kalla. “Nggak, Cuma di sini lebih tenang saja,” ucap Kalla. Gibran pamit meninggalkan Kalla sendirian karena harus datang ke kampus, Gibran berjanji akan datang kembali setelah urusan di kampus selesai. Kalla harus selalu sedia saat Gibran telepon, Gibran tidak ingin seperti kemarin. Disaat Kalla membutuhkan Gibran, Gibran tidak mengangkat telepon Kalla. “Maaf, ya. Aku harus ninggalin kamu sendiri dulu. Aku janji, kalau sudah beres semuanya, aku langsung ke sini lagi. Kamu baik-baik, ya. Kalau ada apa-apa langsung kasih kabar ke aku. Ya?” Gibran meyakinkan dirinya untuk meninggalkan Kalla sendiri di rumah sakit. “Iya, Kak. Aku baik-baik saja, kok. Kak Gibran jangan lupa makan dan jaga kesehatan, ya,” pesan Kalla sebelum Gibran meninggalkan ruang rawat Kalla. Gibran pergi ke kampus, meninggalkan Kalla sendirian. Namun, Gibran sudah membantu Kalla untuk sarapan, minum obat, Gibran sedikit lebih tenang. Kalla sendirian di ruang rawatnya. Membuka ponselnya, berharap ada pesan atau panggilan dari Mama dan juga Papanya. Nyatanya, sama sekali tidak ada. Kalla keluar ruangan, menahan segala kelemahan yang dirasakan saat itu. Kalla ingin menghirup udara segar dan mencari sedikit keramaian di sekitar ruang rawatnya. Kalla melihat di kanan kiri ruang rawat, pasti ada yang menemani pasien.  Mama dan Papanya sangat perhatian dengan mereka, menghibur, memberi perhatian, juga menjaga pasien yang ada di sebelah ruangan Kalla. Meskipun sedang sakit, mereka tidak sedikitpun bersedih, karena ada saja yang membuat mereka tertawa. “Tuhan, sesekali bolehkah aku iri dengan mereka? Bisa dianggap ada oleh orang tuanya, diberikan kasih sayang juga perhatian. Bukan dicampakan seperti yang aku rasakan.” Kalla merenung, melamun setelah melihat pasien di sebelah ruangannya. “Lo katanya sakit? Kenapa malah keluyuran?” Natasha sudah ada di depan ruangan Kalla. “Kak Natasha?” Kalla terkejut dengan kehadiran Natasha. “Ada apa, kak?” Kalla menanyakan keperluan Natasha datang menjenguk Kalla. “Kak Gibran sudah berangkat ke kampus dari tadi,” Kalla menambahkan ucapannya. “Gue mau ketemu sama lo. Katanya lo sakit, sampai dirawat di sini. Tapi, lo bisa jalan-jalan sendiri. Lo Cuma nggak mau ikut ospek, ya?” Celetuk Natasha. “Eeee, bukan begitu, kak. Aku ingin banget ikut ospek, tapi, dokter menyarankan untuk aku istirahat dulu.” “Ohhh begitu,”Natasha menanggapi penjelasan Kalla dengan santai. “Yaudah deh, gue balik saja ke kampus,” ujar Natasha sambil memasukkan buah ke ruangan Kalla. Natasha pergi setelah meletakan buah di meja yang ada di ruang rawat Kalla. Kalla heran dengan sikap Kalla. Sebenarnya Kalla itu baik, namun, caranya mengekspresikan sesuatu ke orang lain itu berbeda, sering membuat orang kesal. Setelah Natasha yang pergi, kini Mama dan Papa Kalla datang. Mama dan Papa Kalla datang sama-sama membawa surat. Surat yang sama seperti kemarin yang Kalla lihat. Kalla masuk kembali ke ruangan, tidak ingin ada yang mendengar obrolan dengan orang tuanya. “Mama sama Papa ingin bicara dengan kamu, Kal,” ucap Papa Kalla membuka obrolan di dalam ruangan. “Kalau obrolan tentang perpisahan, Kalla belum mau mendengarkan sekarang. Kalla butuh istirahat, fisik dan mental Kalla,” Kalla menolak obrolan tentang perpisahan kedua orang tuanya. “Tapi, Kal,” Mama Kalla menambahkan sedikit. “Ma, apa ada orang tua yang tega melihat anaknya sakit hati, patah hati, dan menangis dalam keadaan sakit?” Kalla bertanya sambil tidak bisa membendung air matanya. “Kalau perpisahan itu yang Mama dan Papa akan bicarakan, lebih baik Mama dan Papa pulang saja. Atau urus pekerjaan saja. Kalla mau sendiri dulu, mau menenangkan diri dan menyembuhkan diri dari sakit fisik dan hati Kalla.” Kalla tidak mau mendengar obrolan dengan Mama dan Papanya. Kalla menarik selimut, mencoba untuk memejamkan mata. Membalikan badan agar tidak terlihat wajahnya. Kalla mencoba tenang, tegar, sayangnya, perasaan Kalla tidak menyanggupi. “Kalau boleh memilih, Kalla ingin lebih lama tinggal di rumah sakit,” ujar Kalla sambil membelakangi Mama dan Papanya. “Kall,” Mama Kalla mencoba ingin menjelaskan sesuatu. “Papa dan Mama boleh keluar. Kalla ingin istirahat,” Kalla menyuruh Papa dan Mamanya keluar. Saat Kalla sedang mencoba sekuat tenaga untuk tidak menangisi semua ini, Mama dan Papa Kalla di luar mulai ribut. Mulai mendebatkan apapun yang sebenarnya tidak perlu diperdebatkan. Mama dan Papa Kalla sampai ditegur oleh suster yang kebetulan melewati ruangan Kalla. Sungguh itu membuat Kalla semakin sedih, malu, dan entah perasaan apa yang bisa mengambarkan Kalla saat itu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD