Kalla kini menjadi lebih berani. Berani mengungkapkan apa yang Kalla suka dan Kalla tidak suka. Lebih berani menegur hal yang membuat dia tidak nyaman. Semua ini tak lain adalah campur tangan Aksa. Aksa yang selalu memberikan masukan, selalu memperhatikan, selalu mensupport sahabatnya itu.
"Kal, kamu nggak perlu takut sama apapun di dunia ini kalau kamu nggak salah. Kamu nggak perlu takut sama ketua geng yang kelihatan keren, kamu nggak perlu takut sama kakak kelas di sekolah, kamu nggak perlu takut sama temen cewek atau cowok yang galak banget. Kamu nggak perlu takut kalau kamu nggak melakukan kesalahan apapun, kamu nggak perlu takut kalau nggak membuat rugi orang lain. Kita ini sama. Sama sama makan nasi, butuh ilmu, butuh teman, dan suatu saat butuh pertolongan. Jadi, kamu harus berani dimana pun dan kapan pun," Aksa menasehati Kalla sambil berjalan kesana kemari.
Kalla hanya tersenyum memandang Aksa. Semua yang Aksa ucapkan benar adanya. Tidak ada yang perlu ditakuti selama kita benar. Selama kita tidak merugikan orang lain dan berbuat salah. Karena kita sama, semua punya hak yang sama.
"Aku juga harus berani sama guru dong?" gurau Kalla.
"Ya bukan itu maksud aku, Kal. Nanti kalau kamu berani sama guru, nilai kamu kasihan."
"Loh, emang kenapa?" tanya Kalla penasaran.
"Merah semua. Hahahahahha," Aksa tertawa dengan candaannya sendiri.
Kalla hanya memandangi Aksa yang tertawa sampai pipinya memerah.
"Hayo, udah dulu yuk ketawa-ketawanya. Sekarang saatnya kita makan siang," ujar Mama Aksa dengan sangat lemah lembut.
"Eeeee enggak usah tante, Kalla nanti makan di rumah aja," jawab Kalla dengan wajah yang mulai murung.
"Loh, kenapa Kalla? Tante sudah siapin makanan kesukaan Kalla dan Aksa."
"Iya. Kenapa kamu nggak mau makan siang di rumahku?"
"Enggak, nggak papa. Kalla cuma nggak mau ngerepotin Aksa dan Tante terus," jawab Kalla dengan sedikit lirih.
"Ehhh, siapa yang merasa direpotin. Tante nggak pernah sama sekali merasa direpotin sama Kalla. Tante malah senang sekali ada Kalla di sini berteman sama Aksa. Kalla anak yang baik, pintar. Udah ya sayang, sekarang kita makan siang dulu. Setelah makan siang, baru Kalla pulang ke rumah," ujar Mama Aksa menenangkan Kalla.
Mama Aksa selalu perhatian dengan Kalla. Membuat Kalla semakin rindu dengan kehangatan Mamanya beberapa tahun lalu. Semenjak Mama Kalla menjadi wanita karier, Mama Kalla menjadi lupa akan tugas seorang Ibu. Kalla diiarkan begitu saja tanpa perhatian. Padahal, dulu Kalla merasa tenang, Kalla merasa aman bersama Mama dan Papanya. Namun, kini, Kalla merasa khawatir, gelisah, ketika sedang bersama Mama dan Papanya. Semuanya berubah hanya karena materi yang dicari. Sampai akhirnya Kalla terlantar meski memiliki tempat tinggal, Kalla kesepian meski tidak sendirian.
Di rumah Aksa, Kalla menjadi hidup kembali. Meskipun tidak seutuhnya. Di rumah Aksa, Kalla merasakan kehangatan, meski tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Sekolah menjadi salah satu tempat pelarian Kalla. Kalla hanya bisa mendapat keramaian di sekolah. Ya walaupaun tidak ada teman selain Aksa, setidaknya ada suara bising yang menemani keseharian Kalla dan aktivitas Kalla di sekolah. Di sekolah Kalla juga mendapatkan perhatian, meski hanya dari gurunya. Hari ini Kalla merasa ada yang berbeda dari badan Kalla. Rasanya tidak seperti biasanya. Ada yang berbisik di dalam diri Kalla, lemas. Namun, disisi lain ada yang berbisik, Kalla harus kuat, Kalla tidak boleh lemah, Kalla tidak boleh mengeluh. Kalal mengikuti bisikan yang kedua. Kalla berngkat sekolah seperti biasa. Saat pelajaran olahraga, Kalla tidak bisa menahan badannya yang sangat lemas. Meski seribu upaya Kalla menahan dan menopang badannya, akhirnya tumbang juga. Kalla jatuh pingsan di depan teman-temannya saat pelajaran olahraga. Aksa melihat Kalla yang tiba-tiba pingsan. Aksa langsung membantu Kalla bersama teman-teman yang lain utnutk membawa Kalla ke UKS.
Kalla terlihat sangat pucat, badannya dingin sekali, bibirnya putih, pipinya memerah kepanasan, lalu badannya sedikit gemetar menahan dingin dan lemas.
"Kall, kamu kenapa? Kenapa tadi nggak bilang sama aku kalau kamu sakit? Kamu kan bisa ijin nggak masuk sekolah," ucap Aksa sambil menatap Kalla khawatir.
"Aksa, kamu bisa tunggu di luar, ya. Ibu sudah panggilkan dokter yang biasa menangani siswa di sekolah kita. Biar Kalla diperiksa dulu oleh dokter," ucap salah satu guru.
Aksa meninggalkan Kalla sebentar. Aksa berniat untuk menghubungi orang tua Kalla dan memberi kabar jika Kalla sakit.
"Semoga dengan keadaan seperti ini bisa membuat Mama dan Papa Kalla lebih perhatian dengan Kalla," ujar Aksa dalam hati.
Aksa meminta tolong dengan guru BK untuk menelepon orang tua Kalla. Guru BK bilang, Mama dan Papa Kalla akan datang ke sekolah. Aksa sedikit merasa lega. Semoga dengan kedatangan Mama dan Papa Kalla bisa membuat Kalla lebih baik keadaannya.
Dua mobil saling bergantian parkir di parikiran sekolah Kalla. Mama Kalla datang terlebih dahulu, lalu menuju ke ruang BK untuk menanyakan keadaan anaknya. Disusul oleh Papa Kalla yang terlihat terburu-buru ingin segera melihat keadaan anaknya.
“Pak, permisi, saya Sarah, Mama Kalla. Dimana anak saya sekarang, ya? Tadi saya medapatkan telepon dari sekolah, katanya anak saya pingsan,” ucap Mama Kalla saat memasuki ruang BK dan bertemu dengan salah satu guru di ruang BK.
“Oh, Ibu Sarah. Mari saya antar ke UKS. Kalla ada di sana sekarang,” jawab guru BK bergegas mengantar Mama Kalla menuju ke UKS.
Mama Kalla menuju ke UKS, namun, di jalan menuju ke UKS, Mama Kalla mendapatkan telepon dari kantornya. Sambil berjalan, Mama Kalla sambil menerima telepon. Sampai, tidak sengaja menabrak orang yang juga sedang buru-buru berjalan di depannya. Untung saja itu adalah Papa Kalla.
“Kamu bagaimana sih, jalan nggak lihat-lihat. Malu dilihatin banyak orang, terutama guru Kalla,” ucap Papa Kalla saat tahu yang menabraknya adalah istrinya sendiri.
“Kamu yang nggak lihat-lihat, sudah tahu di depan ada orang main tabrak saja,” jawab Mama Kalla kesal.
“Ibu, apa ada masalah?” Guru BK Kalla menoleh ke belakang dan berhenti berjalan.
“Ohh nggak, Pak. Nggak ada masalah apa-apa. Saya Cuma tidak sengaja menabrak suami saya sendiri,” jawab Mama Kalla sambil memasukkan hp nya ke dalam tas dan mengikuti guru BP ke ruang UKS.
“Silakan masuk, Pak, Bu. Kalla ada di dalam, sedang ada dokter yang memeriksa Kalla di dalam,” ujar Guru BK itu sebelum meninggalkan Mama dan Papa Kalla di UKS.
“Terima kasih banyak, Pak. Kami akan segera melihat keadaan anak kami,” ujar Papa Kalla sebelum masuk ke ruang UKS.
“Permisi, dok, kami orang tua dari Kalla,” ucap Papa Kalla saat memasuki ruang UKS bersama Mama Kalla.
“Silakan, Pak, Bu. Saya sudah selesai memeriksa keadaan Kalla.”
“Bagaimana keadaan anak saya, dok?”tanya Mama Kalla.
“Kalla sepertinya harus lebih diperhatikan lagi, Pak, Bu!” Kalla sering telat makan, ya?” tanya dokter kepada Mama dan Papa Kalla.
“Eeeee, sepertinya enggak dok,” jawab Mama Kalla dengan ragu-ragu.
“Menurut pemeriksaan saya, Kalla sering telat makan. Entah tidak sarapan, telat makan siang, atau tidak makan malam. Ini terjadi terlalu sering.”
“Oh begitu ya, dok. Nanti saya dan Papanya akan lebih memperhatikan lagi. Terima kasih banyak, dok. Apakah ada obat yang perlu kami tebus?” tanya Mama Kalla kepada dokter setelah menerima penjelasan.
“Saya akan buatkan resep obat untuk Kalla supaya keadaannya lebih baik, ya.”
“Baik, dok.”
Setelah obrolan dokter dan kedua orang tuanya berakhir, Kalla pun siuman. Kalla terkejut melihat Mama dan Papanya sudah ada di depannya. Ada perasaan bahagia, terharu, juga takut jika ini akan memicu permasalahan baru.
“Ma, pa,” panggil Kalla lirih sambil berusaha bangun.
“Ehh mau apa kamu? Kamu kan lagi sakit,” ujar Papanya sambil mencoba membantu Kalla duduk.
“Maafin Kalla, ya. Maafin Kalla sudah bikin Mama dan Papa repot,” ucap Kalla merasa bersalah karena sudah membuat kedua orang tuanya datang ke sekolah karena Kalla pingsan.
Belum sempat menjawab pembicaraan Kalla, dokter sudah datang lagi membawa resep obat untuk Kalla.
“Pak, Bu, ini resep obat untuk Kalla. Semoga Kalla lekas sembuh, ya. Saya permisi dulu,” ucap dokter sekaligus memberikan resep obat yang tadi dijanjikannya.
“Terima kasih, dok.”
Dokter pamit dari ruang UKS. Di sana hanya tinggal Mama, Papa, dan Kalla. Rasanya kikuk berada di ruangan kecil bertiga. Mereka tidak ada bahan untuk mengobrol. Meskipun sebenarnya banyak pertanyaan yang muncul dengan keadaan Kalla yang jatuh sakit.
“Kamu mau pulang sekarang?” tanya Mama Kalla kepada Kalla.
“Eeeee, Mama sama Papa mau antar aku pulang?”
“Iya, nanti biar Papa kamu yang antar kamu pulang,” jawab Mama Kalla tanpa diskusi terlebih dahulu dengan Papa Kalla.
“Kok jadi Papa, sih?”
Aksa datang menyelamatkan Kalla dari pertengkaran Mama Papanya yang sebentar lagi akan dimulai. Aksa sangat khawatir dengan keadaan sahabatnya itu. Meskipun sudah ada orang tua Kalla yang datang ke sekolah.
“Permisi, tante, om. Aku Aksa, teman Kalla. Om sama Tante ingat, kan?” sapa Aksa sambil memperkenalkan dirinya karena sudah sangat lama Aksa tidak bertemu dengan kedua orang tua Kalla.
“Ohhh iya, masih,” jawab Mama Kalla singkat.
“Ya sudah, sekarang Kalla pulang saja ya ke rumah,” ujar Papa Kalla tiba-tiba.
“Loh, Kalla mau dibawa kemana Om, Tante?” tanya Aksa penasaran.
“Mau dibawa pulang, Kalla kan sedang sakit,” jawab Mama Kalla.
Kalla dibantu oleh Mamanya turun dari kasur di ruang UKS. Papa Kalla membawakan tas sekolah Kala yang sudah jelek dan ada yang bolong dibeberapa tempat.
“Ada yang bisa Aksa bantu?” tanya Aksa kembali.
“Engga ada. Kamu balik ke kelas saja, ya. Jangan sampai kamu bolos. Nanti kamu dimarahin Mama Papa kamu, loh!” jawab Kalla sambil sedikit mengeluarkan bercandaan.
Papa dan Mama Kalla membawa Kalla keluar dari ruang UKS. Namun, tiba-tiba Kalla izin untuk pergi ke toilet. Mama dan Papa Kalla menunggu di parkiran mobil, karena Kalla menyuruh seperti itu.
“Kamu ini bagaimana sih jadi Ibu? Sampai anak telat makan dan kamu nggak tahu apa-apa?” Papa Kalla memulai pembicaraan.
“Aku kan kerja, Pa. Harusnya kamu juga dong, Kalla itu anak kita. Jadi, harusnya kita yang memperhatikan Kalla. Bukan Cuma aku!” jawab Mama Kalla mulai kesal.
“Tapi kan kamu yang perempuan dan seorang Ibu. Aku ini tugasnya mencari nafkah, kamu itu tugasnya di rumah!”
“Seorang Ayah itu tugasnya mencari nafkah, mencukupi semua kebutuhan keluarga, bukan malah pergi dengan perempuan lain terus kebutuhan keluarga jadi kekurangan,” ujar Mama Kalla sudah muali emosi lagi.
“Kok kamu jadi nuduh aku seperti itu?” Papa Kalla marah.
Mama dan Papa Kalla berdebat di parkiran sekolah. Padahal, suasana di sekolah sedang tenang. Suara Mama dan Papa Kalla mudah di dengar dari dalam kelas. Mama dan Papa Kalla belum sadar jika mereka membuat keributan dan mengganggu konsentrasi murid maupun guru yang sedang mengajar. Sampai, ada beberapa kelas yang penasaran lalu memilih keluar kelas dan melihat siapa dalang dibalik keributan yang terdengar sampai ke dalam kelas.
Aksa juga mendengar suara keributan itu. Aksa merasa tidak asing dengan suara kedua orang yang memancing penasaran dari warga sekolah. Aksa ijin keluar dan mencari sumber keributan. Aksa yakin, jika yang membuat keributan sampai terdengar di dalam kelas adalah Mama dan Papa Kalla. Aksa mencari keberadaan Mama Papa Kalla, supaya Kalla tidak malu karena teman-temannta tahu jika orang tuanya bertengkar di sekolah.
“Kasihan Kalla kalau sampai dengar dan tahu kalau Mama dan Papanya bertengkar di sekolah sampai terdengar oleh semua teman-temannya,” ucap Aksa sambil berlari ke arah parkiran mobil.
“Om, tante!” panggil Aksa.
Panggilan Aksa akhirnya meredamkan emosi Mama dan Papa Kalla.
“Om, Tante, maaf, bukannya Aksa mau ikut campur,” ucap Aksa dengan napas yang ngos-ngosan.
“Ada apa, Aksa?” tanya Mama Kalla sedikit sinis karena masih emosi dengan Papa Kalla.
“Tante, om, kalau ada masalah apapun itu, jangan biarkan orang lain tahu. Coba om dan tante tengok ke belakang, banyak teman-teman yang keluar dari kelas, juga guru-guru, karena merasa terganggu dengan pertengkaran Om dan Tante t*i,” ucap Aksa menasehati kedua orang tua Kalla.
“Maafin Aksa kalau Aksa lancang, tapi, Aksa Cuma tidak mau Kalla merasa malu dan sedih. Kalla sudah cukup sedih di rumah, biarkan Kalla merasakan bahagia dan memiliki tawa di sekolah,” ucap Aksa yang membuat Mama dan Papa Kalla terdiam.
Kalla keluar dari toilet, masih dengan keadaan lemas. Kalla berjalan perlahan menuju ke parkiran mobil. Kalla menengok ke arah kanan, kiri, banyak teman-temannya seperti memperhatikan Kalla. Kalla merasa aneh, namun, Kalla berusaha berpikir positif meskipun itu sulit untuk Kalla.
“Kal, bilang sama Mama Papa kamu tu, kalau ada masalah, berantemnya di rumah saja dong! Masak nggak malau sih didenger satu sekolah. Iya nggak? Hahahahaha,” ucap salah satu teman Kalla.
Kalla semakin merasa tidak karuan. Badan Kalla sudah sangat lemas, rasanya tidak kuat berjalan. Ini ditambah hati Kalla dijatuhkan dengan ucapan teman Kalla, seolah mereka sudah tahu jika Mama dan Papanya selalu bertengkar. Kalla menyeret kakinya, memaksa kakinya untuk berlari agar cepat sampai ke parkiran mobil. Kalla melihat Mama dan Papanya sedang bersama Aksa. Kalla tahu, Aksa pasti melakukan sesuatu agar Kalla tidak merasa malu dengan kejadian ini.
“Ma, Pa,” panggil Kalla lirih.
Mama, Papa, dan Aksa sedikit terkejut saat Kalla datang.
“Kalla,” sapa Aksa.
“Kalla mau pulang. Harus naik mobil siapa? Mama atau Papa?”
Mama dan Papa Kalla masih saling menatap, memberikan kode, dan ingin melempar tanggung jawab. Akhirnya, Kalla yang memaksa membuka pintu mobil Mamanya.
“Aksa, Kalla pulang dulu, ya. Terima kasih sudah bantu aku hari ini,” ucap Kalla sambil berpamitan pulang.
Di jalan, Mama sibuk menerima telepon dari rekan kerjanya. Entah rekan kerja yang mana dan dimana. Kalla hanya berpura-pura tidur dan tidak ingin mendengar apapun yang Mamanya bicarakan dengan rekan kerjanya di telepon.
Sejenak, Kalla membuka matanya, melihat ke arah langit yang hari ini terlihat sangat biru. Sudah lama, Kalla tidak merasakan naik mobil bersama Mamanya. Sungguh ini adalah salah satu hal yang sangat Kalla nantikan, namun, momen ini sama sekali tidak ada dalam bayangan Kalla. Hanya ada keinginan seperti dulu, bukan seperti ini melulu.
Banyak Momen menyedihkan di kehidupan Kalla. Mungkin sampai tidak terhitung. Namun, momen di bangku SMP ini tidak akan Kalla ingat sampai kapan pun itu. Rasanya seperti kekuatan yang selama ini Kalla bangun sendirian, dihancurkan oleh sekumpulan orang yang merasa lebih memiliki kebahagiaan.