Waktu berlalu begitu saja, namun persahabatan Aksa dan Kalla terjalin semakin kuat dan dekat. Mereka saling melengkapi, saling melindungi, dan saling menjaga. Aksa lebih tepatnya. Aksa selalu menjaga, melindungi, dan memperhatikan sahabat mecilnya yang cantik dan manja itu. Aksa selalu ada untuk Kalla disaat Kalla terluka maupun disaat Kalla semangat untuk melanjutkan hidupnya. Kalla sudah tak ragu lagi untuk makan bersama di rumah Aksa, ngobrol bersama mama dan papa Aksa, juga sudah tidak ragu untuk meluapkan semua cerita kepada Aksa. Waktu yang memberikan Kalla keberanian untuk percaya jika memang Aksa pantas menjadi sahabat terbaiknya.
Kini, Aksa dan Kalla sudah duduk di bangku SMP. Mereka masih bersama sejak duduk di bangku sekolah dasar. Aksa bertambah tinggi, badannya pun tambah berisi. Kalla juga bertambah tingginya, meski hanya beberapa centi saja. Namun cantiknya setiap hari selalu bertambah dari ujung rambut hingga ujung kaki, kata Aksa yang selalu mengagumi sahabatnya itu.
"Gimana hari pertama sekolah SMP? Lebih seru kan?" Tanya Aksa kepada Kalla yang berjalan di sampingnya.
"Iya seru! Tapi, aku masih belum punya teman di sekolah," jawab Kalla dengan raut wajah yang sedih karena belum menemukan teman lain selain Aksa.
"Kan ada aku!" Ucap Aksa bersemangat.
"Iya, tapi kan aku juga pengen punya temen perempuan. Temen aku cuma kamu aja dari dulu."
"Tenang aja, ada mama aku. Anggap aja mama aku temen perempuan kamu," ujar Aksa menghibur Kalla.
Kalla hanya tersenyum dan memukul kecil bahu Aksa.
"Hari ini aku nggak ke rumah kamu dulu ya, Aksa."
"Kenapa?" Tanya Aksa penasaran.
"Nggak papa, aku kangen rumah. Siapa tahu mama papa aku ada di rumah semua. Biar aku bisa bertemu sama mereka," jawab Kalla penuh dengan pengharapan.
"Ohhh iya deh. Tapi kalau ada apa-apa kamu langsung bilang sama aku, ya! Sahabat terbaikmu!" Ujar Aksa sambil melapangkan dadanya di depan Kalla seperti seorang super Hero.
"Hahahahaha," Aksa dan Kalla tertawa bersama.
Kalla sudah berpisah dengan Aksa di gang depan. Kalla sendirian menuju ke rumahnya. Ingin sekali rasanya saat membuka pintu ada yang menyambut kedatangan Kalla. Kalla membuka pintu setelah sampai di rumah. Membuka perlahan dengan penuh keraguan.
"Maaa, paaa..."
Tidak ada jawaban saat Kalla memanggil mama dan papanya. Kalla langsung menuju ke kamarnya untuk berganti pakaian. Setelah selesai berganti pakaian, Kalla merasa lapar. Kalla berniat turun dan makan siang. Saat menutup pintu kamarnya, Kalla terkejut dengan bunyi yang sangat keras. Seperti ada sesuatu yang pecah namun disengaja. Kalla mencoba mencari dimana sumber suara itu.
"Suara apa itu? Apa ada orang jahat yang masuk ke rumah?" Tanya Kalla dengan penuh kecemasan.
"Aku mau cerai sama kamu! Aku udah nggak tahan kalau setiap hari harus bertengkar terus, harus berurusan dengan kamu. Suami yang nggak pernah ngebahagiain istrinya!"
"Heh jaga omongan kamu, ya! Aku kerja keras dari dulu buat siapa kalau bukan buat kamu sama Kalla? Sebelum kamu kerja aku udah jauh lebih dulu kerja keras buat keluarga."
"Tapi kerja kerasmu nggak menghasilkan apa-apa, mas. Kita masih serba kekurangan. Aku nggak bisa beli apapun yang aku mau, kita masih hidup pas-pasan. Apa itu yang dinamakan kerja keras?"
"Plak!" Papa Kalla terdengar menampar Mama Kalla.
Kalla terkejut, ternyata mama dan papa Kalla ada di kamar. Mereka seperti biasa, bertengkar. Tetapi, entah apa yang menyebabkan pertengkaran itu selalu muncul.
"Mama.. Papa...," Kalla menahan tangisnya.
"Dasar laki-laki nggak berguna! Bisanya cuma main kasar sama perempuan!" Mama Kalla marah karena sudah ditampar oleh Papa Kalla.
Mama dan Papa Kalla keluar dari kamarnya.
"Mau kemana kamu, mas? Urusan kita belum selesai!"
"Mau pergi, ada urusan yang lebih penting dari pada urusan sama kamu," jawab Papa Kalla dengan nada tinggi.
Papa Kalla meninggalkan Mama Kalla di depan pintu kamar. Papa berjalan melewati Kalla, sempat berhenti saat tepat berada di depan Kalla. Menatap wajah anaknya yang begitu pilu, menahan semua luka yang bermula dari sebuah pertikaian kedua orang tuanya.
"Paaa....," Tangis Kalla pecah saat Papanya ada di depannya.
Papa Kalla tidak peduli dengan anaknya yang sedang menangis, mengeluarkan air mata kesedihan dan patah hati karena orang tuanya tak lagi memberikannya cinta. Setelah Papa Kalla keluar dari rumah, hanya ada Mama dan Kalla di rumah. Kalla mendekati Mamanya, ingin rasanya memeluk Mamanya dan menumpahkan semua air mata di pundak sang Mama. Sayangnya, tiba-tiba saja Mama Kalla mendapat telepon dan bergegas pergi.
"Mama ada urusan, kamu jaga rumah ya Kalla!" Ucap Mama Kalla sembari berlaku dari depan Kalla.
Jika dulu mereka dipersatukan oleh cinta, lalu, kemana cinta yang dulu ada diantara mereka? Apakah hilang begitu saja? Atau mereka buang selayaknya barang tak berguna.
~
Sekolah, hanya itu tempat yang bisa membuat Kalla tidak merasa kesepian. Meski di bangku SMP ini Kalla belum juga menemukan teman selain Aksa. Kalla menjadi sangat pendiam, tidak berani bersosialisasi dengan teman-temannya di sekolah. Kalla merasa sangat Insecure dengan apa yang terjadi di hidupnya.
Suatu hari, Kalla pulang terlambat dari sekolah karena mengerjakan tugas kelompok di perpustakaan. Kalla menyuruh Aksa untuk pulang terlebih dahulu. Kalla ingin mandiri dan tidak bergantung dengan Aksa. Lagi pula, kasihan jika Aksa harus menunggu berjam-jam di sekolah hanya untuk pulang bersama. Setelah selesai mengerjakan semua tugas kelompok, Kalla pamit pulang kepada teman-teman sekelompoknya. Seperi biasa, Kalla berjalan menunduk, tidak berani menatap mata orang lain.
"Kal, kenapa sih jalan nunduk terus? Banyak duit ya di bawah?" Ledek salah satu teman Kalla.
Kalla tidak mempedulikan ledekan salah satu temannya itu. Kalla tetap berjalan menunduk.
"Atau jangan-jangan ada emas kali. Hahahahaha," ledek teman yang lain sambil menertawakan candaannya.
Teman-teman Kalla mengikuti Kalla keluar dari perpustakaan sampai hampir sampai di gerbang sekolah.
"Kal, tunggu dong. Buru-buru amat, sih. Mau ngapain di rumah? Mainlah sama kita-kita biar nggak cupu! Hahahaha."
3 anak laki-laki dan 2 anak perempuan, meledek Kalla, membuat Kalla takut, dan membuat Kalla bingung harus berbuat apa. Kalla sempat berhenti dari jalannya, diam, ingin melawan dan bilang jika Kalla tidak suka candaannya. Tapi, Kalla takut ini akan menambah Kalla kesulitan mendapatkan teman. Akhrinya Kalla memilih untuk diam dan lanjut berjalan. Salah satu teman Kalla menarik tangan Kalla, tidak memperbolehkan Kalla pulang.
"Kal, sini dulu. Nggak sopan banget deh ada orang ngomong langsung ditinggal pergi gitu aja. Nggak pernah diajari sopan santun sama orang tua ya?" Ucap salah satu teman perempuan Kalla.
"Tauk nih Kalla, sombong banget nggak mau temenan sama kita. Huuuuu belagu banget deh jadi anak!"
Setelah ocehan teman-teman Kalla yang membuat Kalla merasa sangat tidak nyaman, Aksa datang. Aksa masih berada di sekitar sekolah dan sengaja menunggu Kalla pulang. Aksa tidak suka jika ada yang menggangu Kalla, siapapun itu.
"Hey! Ngapain kalian? Mau ngajak berantem?" Aksa yang tiba-tiba saja datang dan membela Kalla.
"Eh siapa Lo? Sok pahlawan banget!" Jawab salah satu teman laki-laki Kalla
"Gue sahabatnya Kalla. Ngapain Lo semua ganggu Kalla? Kalau ada yang ganggu Kalla, akan berurusan sama gue! Denger Lo semua?" Ucap Aksa dengan nada sedikit lebih tinggi.
"Ohhh sahabatnya Kalla. Kalla punya sahabat kok sok jagoan gini, nggak malu, Kal?"
"Hahahahaha," teman-teman Kalla menertawakan Aksa dan Kalla.
Kalla kesal melihat suasana dan keadaan sekarang. Kalla menarik tangan Aksa dan mengajak Aksa keluar dari sekolah. Di jalan, Kalla ngambek dengan Aksa karena sudah ikut campur urusan Kalla. Kalla tidak suka dengan sikap Aksa yang sok jagoan itu. Sikap Aksa juga akan membuat Kalla sulit mendapatkan teman di sekolah. Aksa terlalu posesif menjadi sahabat. Kalla marah dengan Aksa.
"Kal,kamu kenapa sih kok diem aja dari tadi? Kenapa jalannya di depan aku? Cepet banget lagi," tanya Aksa yang sudah tidak nyaman dengan Kalla yang diam saja.
Kalla masih tidak mau menjawab pertanyaan Aksa. Kalla masih diam dan terus berjalan lebih cepat dari biasanya. Kalla juga meninggalkan Aksa di belakangnya.
"Kal, Kalla! Tungguin dong!" Pinta Aksa.
Aksa berlari lalu memberhentikan Kalla yang berjalan sangat cepat.
"Kamu kenapa sih, Kal? Kamu marah? Kenapa jalannya buru-buru dan ninggalin aku daritadi? Aku kan udah nungguin kamu berjam-jam. Sekarang kamu malah ninggalin aku," ujar Aksa yang bete.
"Aku nggak minta kamu nungguin aku di sekolah. Aku bisa pulang sendiri," jawab Kalla dengan nada bete dan kesal namun tetap lembut.
"Kok kamu gitu sih, Kal? Memangnya salah kalau sahabat itu mau selalu ada buat sahabatnya?"
"Aksa, aku nggak suka kamu terlalu ikut campur dengan semua masalah aku. Aku bisa kok selesaikan masalah aku sendiri. Tadi kamu itu udah bikin aku malu di depan teman-teman aku. Semua pasti bakal ngejauhin aku. Aku akan lebih susah mendapatkan teman lagi," jawab Kalla menahan tangisnya.
"Kal, aku cuma mau jagain kamu aja. Kalau kamu mau cari teman, jangan yang kaya gitu dong. Teman kok malah ngeledekin begitu. Cari teman tang baik, kaya aku. Hehehe," Aksa berusaha menghibur Kalla.
"Aksaaaaaaaa."
"Iya iya. Maafin aku ya. Aku nggak maksud bikin kamu malu di depan teman-teman kamu, Kal. Aku cuma mau jagain kamu doang kok. Aku kasian lihat sahabat aku diledekin sama anak-anak tadi. Ya aku bantuin dong, aku jagain, abisnya mereka ngeselin."
"Yang ngeselin itu kamu, bukan mereka," Kalla marah dengan Aksa, namun bentakan Kalla masih terdengar sangat lembut.
"Kamu marah, Kal?" ledek Aksa kepada Kalla.
"Iyaa dong aku marah, jelas-jelas aku teriak Aksa," jelas Kalla kepada Aksa.
"Oh marah. Coba ulangi lagi, soalnya tadi aku nggak sadar kalo kamu marah," ledek Aksa kembali.
"Aksaaaaaaa...," Kalla malu dan tidak bisa menahan senyumnya.
Aksa membujuk Kalla agar tidak marah lagi kepadanya. Aksa berjanji tidak akan terlalu ikut campur dengan semua urusan Kalla. Kalla hanya ingin memiliki teman perempuan, memiliki teman lain selain Aksa. Kalla ingin seperti anak-anak lainnya. Bahkan Aksa pun memiliki banyak teman, selain Kalla. Aksa memahami lalu Kalla pun memaafkan Aksa. Kali pertama Kalla marah dengan Aksa, namun, ini semua membuat persahabatan mereka semakin erat.
~
Ayudia Kalla, di bangku SMP nya, selain tidak memiliki siapa-siapa di rumah, ternyata juga sulit menemukan seorang teman di sekolah. Bagi seumuran Kalla, hal ini salah satu hal yang menyedihkan. Sebab, siapa lagi yang bisa membuat Kalla sejenak melupakan kepedihan di rumahnya selain teman? Hanya Aksa yang selalu dan ingin terus berusaha untuk selalu ada untuk Kalla. Bahkan Mama dan Papanya kalah dengan Aksa. Dalam hidup Kalla, hanya ada Aksa. Pemberi kasih sayang sebagai sahabat, kakak, dan juga orang terdekat.
Dipaksa diam, karena tidak ingin menambah beban. Dipaksa mengerti, karena tidak ada pilihan lain yang dimiliki. Dipaksa mengalah, karena tidak bisa memberi solusi dari setiap masalah. Sulit, tapi, harus tetap dijalani. Pedih, tapi, harus tetap melanjutkan hidup ini.
Kesedihan Kalla bertambah satu. Sampai beberapa semester di SMP, Kalla masih belum bisa menemukan teman perempuan. Padahal, Kalla sangat membutuhkan teman perempuan. Untuk lebih mengerti keadaannya. Sampai suatu hari, Kalla tidak tahu harus berbuat apa.
Ayudia Kalla, di bangku SMP nya, selain tidak memiliki siapa-siapa di rumah, ternyata juga sulit menemukan seorang teman di sekolah. Bagi seumuran Kalla, hal ini salah satu hal yang menyedihkan. Sebab, siapa lagi yang bisa membuat Kalla sejenak melupakan kepedihan di rumahnya selain teman? Hanya Aksa yang selalu dan ingin terus berusaha untuk selalu ada untuk Kalla. Bahkan Mama dan Papanya kalah dengan Aksa. Dalam hidup Kalla, hanya ada Aksa. Pemberi kasih sayang sebagai sahabat, kakak, dan juga orang terdekat.
Dipaksa diam, karena tidak ingin menambah beban. Dipaksa mengerti, karena tidak ada pilihan lain yang dimiliki. Dipaksa mengalah, karena tidak bisa memberi solusi dari setiap masalah. Sulit, tapi, harus tetap dijalani. Pedih, tapi, harus tetap melanjutkan hidup ini.
Kesedihan Kalla bertambah satu. Sampai beberapa semester di SMP, Kalla masih belum bisa menemukan teman perempuan. Padahal, Kalla sangat membutuhkan teman perempuan. Untuk lebih mengerti keadaannya. Sampai suatu hari, Kalla tidak tahu harus berbuat apa.
“Aku kenapa ini? Perasaan aku nggak jatuh. Aku juga nggak terpeleset dimana-mana. Aku baru bangun tidur, kenapa ini semua ada dikamar dan di tempat tidur?” tanya Kalla kepada dirinya sendiri dengan wajah dan suara yang sangat panik.
“Ada apa ya dengan aku? Ini apa?” Kalla semakin panik, akhirnya menangis karena tidak tahu apa yang terjadi dengannya saat itu.
Kalla mencoba mengambil telepon di kamarnya. Mencoba menghubungi Mamanya untuk sekedar meminta ketenangan.
“Maaaa, angkat. Kalla mohon angkat, Kalla butuh Mama sekarang,” ucap Kalla sambil mendengarkan telepon yang berdering.
Kalla semakin panik saat melihat ke lantai.
“Kalla haru bagaimana ini?” Kalla semakin panik.
“Maaaa, Maaa tolong Kalla. Bantu Kalla,” ucap Kalla saat tahu teleponnya diangkat oleh Mamanya.
“Kalla, kamu kenapa? Ada apa?” tanya Mamanya.
Belum sempat menjelaskan tentang apa yang terjadi, Mama Kalla menutup teleponnya karena dipanggil oleh atasannya. Mama Kalla hanya berpesan, akan segera menghubungi Kalla lagi. Kalla hanya terdiam, menunduk di bawah, sambil memeluk kakinya seperti yang Kalla lakukan saat sedang bersedih.
Kalla akhirnya mendapatkan ide, untuk menelepon Mama Aksa.
“Halo,” terdengar suara Aksa yang mengangkat telepon Kalla.
“Aksa, bisa aku bicara sama Mama kamu?”
“Kalla, ada apa, Kal? Kamu butuh bantuan?” Tanya Aksa khawatir sekaligus kepo.
“Eeeeee,” Kalla tidak bisa menjawab.
“Kamu kenapa, Kal? Kok suara kamu seperti habis menangsis?”
“Enggak, kok. Aku ada perlu sama Mama kamu sebentar, plissss,” Kalla memohon kepada Aksa.
Aksa memberikan teleponnya kepada Mamanya. Mama Aksa hanya tersenyum saat mendengar obrolan Kalla dengannya.
“Kalla, Kalla tenang, ya. Jangan panik. Itu wajar untuk kita sebagai perempuan, Kal.”
Kalla mendengarkan dengan saksama apapun penjelasan dari Mama Aksa. Setelah mendapat penjelasan dari Mama Aksa, Kalla lebih tenang dan tidak panik lagi.
"Mama... Andai perhatian Mama ada, Kalla tidak akan memiliki kekhawatiran seperti ini. Sampai Kalla harus mencari orang lain untuk meminta sebuah ketenangan," ucap Kalla sembari membereskan semua kekacauan.