Pertemuan Tak Disengaja

1138 Words
Terik siang ini menemani langkah Kalla pulang dari sekolah. Sambil menggendong tas ransel berwarna pink kesayangannya di punggung, Kalla bersenandung kecil.  Tas berwarna pink favoritnya , yang sudah mulai buluk, sobek di beberapa bagian, namun, masih enggan Kalla mengganti tas tersebut karena itu adalah tas hadiah ulang tahun dari Mamanya beberapa tahun yang lalu. Meski pun sudah banyak bolong yang terlihat, sudah selayaknya diganti, Kalla masih tetap mempertahankan tas tersebut. Kalla masih enggan mengganti tasnya, jika bukan pemberian dari Mama atau Papanya. Setelah beberapa tahun berlalu, Mama atau Papanya belum memberikan kado ulang tahun lagi untuk Kalla. Mereka lebih memilih  memberikan hadiah untuk rekan kerjanya. Bahkan, beberapa tahun belakangan ini, Mama dan Papanya sudah tidak ingat lagi dengan ulang tahun Kalla. Meski begitu, kata Kalla dalam hati, masih banyak hal yang harus Kalla syukuri di hidup Kalla.  Papa dan Mama Kalla lebih sibuk bekerja akhir-akhir ini. Sampai apapun keperluan Kalla di sekolah, mereka tidak tahu menau. Kalla menguru dirinya sendiri setiap hari. Bangun pagi sendiri, sarapan sendiri, berangkat sekolah sendiri, sampai di rumah pun Kalla sering sendiri. Seakan Kalla adalah anak sebatang kara. Kaki Kalla sudah sampai di depan rumahnya, lalu, membuka pintu perlahan. Dalam hati, Kalla ingin ada yang menyapa, menyambut kepulangan Kalla dari sekolah. Tapi, ternyata hanya ada sepi di setiap sudut rumahnya. Kalla menuju ke lantai dua untuk berganti pakaian dan istirahat sejenak. Anak tangga yang Kalla lewati, menjadi saksi betapa Kalla masih sangat berharap ada yang menyambut Kalla pulang sekolah. Kalla ingin sekali ada yang bertanya tentang keadaannya hari itu, tentang bagaimana di sekolah, atau hanya sekedar menanyakan kepulangannya dari sekolah. Sayangnya, sampai di anak tangga terakhir harapan Kalla tidak terwujud sama sekali. Kalla hanya berteman dengan suara benturan sepatu dengan lantai. Kalla menengok ke arah kamar Mama dan Papanya, tidak ada gerak gerik di sana. Sepi dan  sunyi saja seperti biasa. Lalu, Kalla membuka pintu kamarnya.  Masuk ke kamar, meletakkan tasnya dengan snagat hati-hati, lalu mengelus tasnya sebentar, meninggalkan senyum setelah selesai mengelus seluruh badan tasnya. Selesai berganti pakaian, Kalla bersiap untuk turun ke bawah karena Kalla merasa lapar. Ini sudah waktunya makan siang. Kalla membuka pintu kamarnya, lalu, mendengar ada sedikit keributan di bawah. Kalla tersenyum dan semangat untuk turun ke bawah. Itu artinya Mama dan Papanya sudah pulang ke rumah, Kalla bisa makan siang bersama mereka. Kalla berlari kecil menuruni anak tangga, sampai di tengah-tengah, Kalla mendengar Mama dan Papanya sedang meributkan sesuatu. Kalla berhenti sejenak, lalu, memberanikan diri untuk menghampiri mereka untuk sekedar menyapa , memberitahu jika Kalla sudah ada di rumah.  "Kamu tuh jadi istri pembangkang, nggak pernah dengerin kata suaminya. Semua dibantah, semua disangkal. Bisanya apasih kamu tu jadi istri?" Ucap Papa Kalla terlihat emosi saat mengucapkannya.  "Apa? Aku pembangkang? Kamu yang nggak bisa jadi kepala keluarga yang baik. Kamu juga nggak bisa jadi Papa yang baik buat Kalla. Buktinya, siapa yang selama ini bantu kamu cari uang? Aku kan?" Mama Kalla berbalik emosi.  "Tapi kan aku udah bilang, aku nggak mau kamu kerja, urus aja anak kamu di rumah, urus rumah, masak, biar aku yang kerja. Kamu yang nggak pernah bersyukur!" Papa Kalla tambah marah dengan Mamanya.  "Enak aja nggak bersyukur, memang nggak ada yang bisa disyukuri dari yang kamu kasih ke aku dan Kalla. Apa aja yang udah kamu kasih ke aku sama Kalla? Apa aja? Nggak ada!" Mama Kalla tambah emosi.  Kalla masih berada di pertengahan tangga rumah, Kalla menangis karena takut melihat Mama dan Papanya bertengkar. Meski sudah sering Kalla melihat kejadian seperti ini, namun, ini tetap saja menyakitkan untuk Kalla. Kalla hanya bisa menahan suara tangisannya, meski air matanya sudah menetes entah berapa kali.  "Kamu!" Papa Kalla hampir menampar Mama Kalla, lalu, melihat Kalla turun dari tangga. Papa Kalla menarik tangannya tidak jadi menampar istrinya itu.  "Ma... Kalla mau makan," ucap Kalla saat suasana sudah mulai hening, Kalla memberanikan diri untuk bicara kepada Mamanya.  "Itu di kulkas masih ada telur, kamu goreng sendiri, ya!" ucap Mamanya kepada Kalla.  Papa Kalla membukan tudung saji yang ada di meja makan, lalu, di sana Papa Kalla tidak menemukan apapun. Papa Kalla membanting semua tudung saji yang dipegangnya.  "Mana makan siang buat aku? Kamu ini gimana sih jadi istri? Suami dan anak nggak pernah diurus, pergi terus kesana kemari nggak jelas!" Papa Kalla kembali emosi.  "Papa kan masih punya tangan, liat dong anakmu aja mandiri, kamu yang udah tua bangka kenapa masih minta diturutin ini itu?" jawab Mama Kalla sambil berdiri.  Papa Kalla terpaksa menampar Mama Kalla di depan Kalla. Papa Kalla sudah tidak tahan dengan semua ucapan Mamanya. Kalla sampai memecahkan telur yang dipegang, lalu menangis bersembunyi di bawah meja makan.  "Kurang ajar ya kamu berani nampar aku!" Mama Kalla berniat untuk membalas, namun Papa Kalla menahan. Papa Kalla terus marah-marah dengan Mama Kalla.  Di luar, ada seorang anak laki-laki yang tidak sengaja melewati rumah Kalla. Anak laki-laki itu mendengar suara keributan, keributan yang berasal dari dalam rumah Kalla. Keberadaan Kalla di bawah meja makan terlihat dari luar. Melihat itu, anak laki-laki ini menjadi kasihan dengan Kalla. Ingin rasanya memanggil Kalla, namun, masih takut karena Mama dan Papa Kalla masih saja bertengkar.  "Gimana nih, kasihan itu anak perempuan yang sembunyi di bawah meja makan. Mama dan Papanya kenapa berantemnya nggak selesai-selesai sih," ujar anak laki-laki yang sedang memperhatikan Kalla dari luar rumah. Dia berusaha untuk berkomunikasi dengan Kalla, namun, Kalla tidak menengok ke arahnya.  "Kamu ini bener-bener istri yang kurang ajar, ya!" Papa Kalla kembali mau menampar Mama Kalla. Kalla langsung bangkit dari sembunyinya di bawah meja makan. Lalu menarik tangan Papanya.  "Jangan, Pa! Jangan pukul Mama!" ucap Kalla sambil nangis sesenggukan.  "Kamu ini masih kecil ikut-ikutan, mau Papa pukul?"  Melihat Kalla yang mau dipukul, anak laki-laki yang masih berada di luar itu segera mencari cara agar Kalla bisa pergi dari Papa dan Mamanya.  "Kebakaran, kebakaran, kebakaran... Tolong kebakaran..." Anak laki-laki itu sengaja berteriak kebakaran agar Mama dan Papa Kalla panik dan berlari keluar. Benar dugaannya, Mama dan Papa Kalla lari ke luar rumah, namun membiarkan Kalla di dalam sendirian. Kalla hanya bisa menangis karena panik. Tangan Kalla ditarik, diajak berlari ke luar rumah. Setelah berhasil keluar rumah, anak laki-laki itu membawa Kalla di sebuah taman bermain dekat dengan rumah Kalla. Kalla dan anak laki-laki itu ngos-ngosan karena lari lumayan jauh.  Kalla melepaskan tangannya saat sadar, anak yang menarik tangannya tidak Kalla kenali.  ~ Kalla dan anak laki-laki itu berada di taman dekat rumah Kalla. Tempat Kalla bersembunyi sebentardari pertengkaran orang tuanya, yang tak seharusnya Kalla saksikan. Kalla mundur perlahan, menjauhi anak laki-laki yang menggandengnya sejak tadi. Kalla melihat sedikit sinis namun juga penuh ketakutan.  Kalla ingin berlari, tapi sayangnya Kalla sudah kelelahan, Kalla juga belum mengisi perutnya seperti yang dilakukan kebanyakan anak setelah pulang sekolah.  "Jangan takut," ucap anak laki-laki itu kepada Kalla dengan sangat lembut. Anak laki-laki itu paham jika Kalla takut dengan kehadirannya. Namun, tidak ada niat jahat seperti yang sedang Kalla pikirkan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD