Dasi Biru

1720 Words
   Ellaine menarik pembuka keran air di wastafel perlahan, tangannya gemetar hebat sejak tiga puluh menit yang lalu. Aliran air di depannya pun mengalir perlahan tanpa di sentuh oleh Ellaine, mata cantik lurus melihat cermin.    “Dasar lelaki biadab! Beraninya dia muncul di depanku di saat seperti ini!” gumam Ellaine kesal.    Tangannya menyentuh aliran air yang mengalir perlahan, dinginnya aliran air itu tak mampu melunturkan perasaan kesalnya sejak tadi. Wajah yang sangat ingin Ellaine lupakan kini makin berputar-putar di kepalanya.    Ellaine memandang wajah ayu miliknya di cermin besar yang tergantung sempurna di toilet wanita, tak ada satu pun orang yang terlihat di toilet wanita itu melainkan Ellaine seorang. Ellaine memandang wajah yang sama namun dengan penampilan yang jauh berbeda. Wajah yang dulunya hanya tersapu oleh bedak bayi namun mampu mengikat hati Andre, namun kini wajah ayunya tersentuh oleh make up mampu mengikat hati siapapun yang memandang. Akan tetapi mengapa hatinya masih terasa ngilu saat bertemu dengan wajah rupawan mantan pacarnya itu…    “Kau baik-baik saja?” tanya Hans yang sedari tadi menunggu Ellaine di samping mobil.    “Yaah, aku kebanyakan makan ice cream. Jadi banyak banget t*i yang harus aku keluarkan” jawab Ellaine ngawur sembari masuk ke dalam mobil.    “Haha, mukamu masih merah. Perutmu masih mules?” tanya Hans mencoba menggodanya.    “Begitulah, ayo cepetan jalan. Lama-lama b***k di mobil kalau aku kelamaan di tempat ini” pinta Ellaine sedikit kesal.    Dalam perjalanan menuju apartemen milik Ellaine, gadis itu tetap terdiam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Padahal biasanya Ellainelah satu-satunya orang yang paling berisik saat berkendara bersama Hans, entah menyetel musik keras-keras atau menceritakan lelucon dengan tawa khasnya yang keras.    “Kamu cukup pendiam hari ini” kata Hans memecah kesunyian di dalam mobil.    “Begitukah?” tanya Ellaine.    “Well, aku kurang mengerti tentang masa lalu kalian berdua tapi bukankah lebih baik kalau kamu lupakan perilaku buruknya? Ku rasa akan lebih baik bila kalian tetap menjalin pertemanan, hal itu akan mengurangi rasa sakitmu perlahan-lahan”    “Masa laluku dengannya seakan bumi dijatuhi ratusan hujan meteor, Hans. Kau tak akan memahami bagaimana brengseknya dia saat pergi” sahut Ellaine lemah.    “Hmm,.. aku penasaran bagaimana perasaanmu sekarang. Tentu sangat berat bertemu dengan orang yang pernah mematahkan hati sepatah-patahnya” ujar Hans dengan tetap fokus mengemudikan mobilnya.    “Hatiku? Bagaimana ya.. sepertinya hujan meteor itu telah lama terkikis oleh panas dan hujan namun bekas hantamannya tak pernah memudar” gumam Ellaine sembari menatap deretan gedung pencakar langit.    Langit hari ini memang sangat cerah, awan-awan pun bergerombol di sekitar gedung-gedung tinggi membuat pemandangan langit kian indah.    “Sampai jumpa besok, my dear Elly” pamit Hans sebelum pergi.    Ellaine melambaikan tangannya mengiringi kepergian Hans, mobilnya perlahan menjauh dari apartemen mewah tempat Ellaine tinggal. Apartemen tersebut memang terbilang mewah karena hanya orang-orang berduit saja yang mampu menginjakkan kaki di tempat tersebut.    Ellaine memasuki lift menuju lantai ke dua belas tempatnya tinggal, tepat di belakangnya tiba-tiba seorang lelaki bertubuh besar dan memakai pakaian serba hitam dengan syal berwarna senada menerobos masuk lift.    Lelaki itu diam tanpa bersuara dan tidak pula menekan tombol dimana tempat yang akan ia tuju namun matanya tak henti memandang lurus pada sosok Ellaine. Sebenarnya Ellaine mengabaikan orang yang sedari tadi memandangi wajahnya akan tetapi lama-lama dia sangat risih dengan pandangan menjijikkan dari lelaki c***l meskipun mereka tinggal dalam satu gedung.    Tapi hal mengejutkan terjadi, tepat sebelum Ellaine menegur lelaki tersebut pintu lift langsung terbuka di lantai yang Ellaine tuju. Ellaine reflek melangkahkan kaki jenjangnya tanpa menoleh ke arah lelaki menyebalkan itu.    “Sialan! Lihat saja kalau besok dia masih menguntitku” gumam Ellaine kesal. *****    Pagi yang terbilang amat cerah ini tak mampu membuat suasana hati Ellaine tenang, sudah hampir pukul delapan pagi namun lelaki yang di tunggunya tak kunjung datang. Berkali-kali Ellaine menghubunginya namun tak ada jawaban berarti.    “Kemana orang ini? Hpnya nggak aktif pula” gumam Ellaine sambil celingukan mencari sosok yang di tunggunya.    Beberapa orang dan pegawai sudah memasuki gedung yang besarnya dua kali gedung apartemen tempat Ellaine tinggal, orang-orang di sekeliling Ellaine mengenakan pakaian yang hampir sama dan beberapa pula memakai kemeja rapi.    “Hei, maaf banget aku terlambat lagi. Kamu sudah lama nunggu?” tanya Hans dengan napas terengah-engah.    “Kau dari mana saja? Ini sudah hampir pukul delapan, bodoh!” bentak Ellaine saat melihat Hans yang akhirnya muncul.    “Maaf banget, aku gugup sampe semalam nggak bisa tidur. Jadinya aku bangun kesiangan, hehe”    Ellaine yang sedari tadi memperhatikan pakaian Hans jadi tercengang di buatnya, ada sesuatu yang di lupa dikenakan oleh Hans.    “Kemana dasimu?” tanya Ellaine.    “Aaah, aku nggak sempat pakai jadi ku bawa saja. Ternyata aku nggak bisa pakai dasi sambil menyetir” sahut Hans sembar memperlihatkan dasi pemberian Ellaine yang masih tergulung rapi.    Ellaine meraih dasi berwarna biru dongker corak putih di tangan Hans dan melingkarkannya diantara kerah kemeja Hans.    “Seharusnya aku menjemputmu tadi, bisa-bisanya kau terlambat di hari pertamamu masuk kerja. Kau ini memang i***t atau bagaimana? Kau tahu kan pekerjaan ini sangat penting untukmu?” kata Ellaine tetap membenahi dasi Hans.    “Hehe, aku berasa diomeli pacar deh. Hei Elly, kenapa kita tidak coba pacaran aja? Aku sudah mengenalmu dan kamu tahu blo’onnya aku, keluarga kita pun sudah saling kenal. Bagaimana kalau,--“    Plak.. Ellaine memukul kepala Hans lumayan keras.    “Jangan bicara yang bukan-bukan, dasar homo! Seribu kali di lahirkan pun gak bakal sudi aku pacaran sama kamu” geram Ellaine.    “Hehe, nggak jadi dapet pacar cakep deh” gurau Hans.    “Baiklah, aku akan menunggumu di cafe biasanya dua hari ke depan. Jangan sampai terlambat lagi”    Hari pertama Hans masuk kerja sebagai training dokter pun di awali dengan drama yang mencengangkan, pekerjaan pertama ini memang sangat penting karena baik Hans maupun Ellaine ingin menunjukkan kemandirian mereka tanpa bantuan siapapun pada keluarga masing-masing.    “Bye, Elly” teriak Hans ceria dari kejauhan.    Ellaine memandang punggung Hans yang memasuki pintu masuk rumah sakit besar di hadapannya, sungguh membanggakan karena Hans bisa mendapatkan pekerjaan di tempat ini.    “Yap! Aku juga harus semangat!” gumam Elliane agak keras menyemangati dirinya. *****    Hari itu Ellaine kembali ke kampus dan menyelesaikan tugasnya sebelum kembali ke Indonesia, banyak sekali proposan dan dokumen-dokumen yang harus ia persiapkan sebelum menjalankan tugas sebagai training dokter di sebuah rumah sakit.    Tentunya hal ini tak membuat masa depan Ellaine langsung cerah, ia harus menuruti kemauan ayah Ellaine untuk kembali mengenyam pendidikan dokter lagi dan menjalankan tugas sebagai relawan selama beberapa tahun untuk mendapatkan banyak pengalaman hidup sebelum akhirnya mampu memimpin semua usaha di bidang kesehatan milik keluarganya.    Hari ini cukup melelahkan baginya, ia harus berkali-kali datang ke kantor dekan dan akademik kampus untuk mengurus semua dokumen yang ia butuhkan. Untuk sore hari dengan pemandangan langit oranye bersemu kemerahan ini, sangat di sayangkan apabila di lewatkannya begitu saja.    Ellaine datang ke café favoritnya di tengah kota dekat lokasi patung singa symbol Negara Singapura ini sendiri, ia memang memilih duduk di dekat jendela di temani oleh segelas tah manis hangat sembari tangannya menorehkan pensilnya ke atas buku sketsa.    Beberapa anak-anak terlihat bermain di dekat taman sembari memberikan biji-bijian pada banyaknya merpati yang berterbangan bebas disana. Suara tawa khas anak-anak membuat hati Ellaine terasa begitu damai, sungguh indah dunia anak-anak dengan melihat semua hal menakjubkan di sekitar mereka.    Ellaine berhenti menggores kertas itu dan memandang sketsa yang ia buat, sketsa gedung dengan tiga titik hilang terlihat begitu detail di tangan seoarng Ellaine. Gadis itu sangat puas melihat hasil karyanya tanpa melihat contoh dan mengkreasikannya sesuai kemauannya.    Andai ayahnya mengerti betapa bahagianya Ellaine mampu menghasilkan karya seindah ini, mungkin penghasilannya akan jauh lebih besar di bandingkan dengan menjadi seorang dokter. Aah.. andai saja kepala ayahnya tak sekeras batu, mungkin Ellaine bisa menjalani kehidupannya sesuai dengan kemauannya.    “Well,.. aku berharap bisa menjualmu pada pengusaha kaya yang butuh desain interior dan bangunan perusahaan, tapi semua cuma mimpi” gumam Ellaine sembari memandangi gambarannya.    Tanpa sengaja ia menoleh pada seorang lelaki berkacamata hitam dan memakai syal berwarna senada yang memandanginya sedari tadi. Lelaki itu duduk sendirian dengan segelas besar caramel machiato di depannya, Ellaine yakin dia adalah lelaki yang sama karena postur lelaki itu sangat mirip dengan orang yang telah membuntutinya semalam.    “Si berengsek itu lagi..” kata Ellaine dalam hati.    Mata kucingnya memandang lelaki yang kalang kabut menutupi wajahnya dari sorot tajam tatapan Ellaine, dia memandang lekat-lekat lelaki tersebut tanpa rasa takut sedikitpun.    “Apa maunya?”    Ellaine bergegas mengemasi barang-barangnya dan berjalan santai melewati lelaki yang kalang kabut menutupi wajahnya itu.    Ellaine masih menatap lelaki itu yang tak beranjak pergi dari tempat ia duduk tadi, Ellaine makin kesal karena lelaki misterius itu malah celingukan kearah parkiran mobil mencarinya.    “Astaga..” gumam Ellaine kesal.    Ellaine mengemudikan mobil sport berwara biru mengkilap sempurna itu menjauhi café, sekali lagi Ellaine menatap anak-anak yang masih setia member makan merpati dengan ceria. Senyumnya mengembang sempurna mengiringi tawa anak-anak disana.    Ellaine memasuki basemen di paartemennya, dan betapa terkejutnya ia melihat lelaki yang tadinya ada di café kini tiba-tiba muncul di depannya. Ellaine ternganga saat melihat tubuh besar lelaki itu menanti kedatangannya.    “Mari kita lihat seberapa besar nyalinya” gumam Ellaine sebelum keluar dari mobil.    Ellaine berjalan santai seakan ia tak mneyadari keberadaan lelaki misterius itu, Ellaine berjalan santai menuju lift gedung. Lelaki itu tak bergeming saat Ellaine sudah memasuki lift, ia tak terlihat berusaha mengejarnya.    “Huuh, cobalah mendekat wahai penguntit” gumam Ellaine ketika melewati lantai ke lima.    Tepat di lantai ke tujuh, lift berhenti dan terbuka, sang pria penguntitlah orang yang telah membuat mereka berdua bertemu kembali. Ellaine sudah menduga bahwa lelaki ini benar-benar mengikutinya. Lelaki itu masuk tanpa suara ke dalam lift bersama Ellaine.    Sama seperti sebelumnya, dia tak menekan lantai mana yang akan ia tuju namun Ellaine telah menanti saat-saat seperti ini. Ellaine menekan lantai ke enam belas, lantai paling atas yang ada di gedung apartemen. Dia sangat penasaran apa lelaki ini juga akan menuju lantai yang sama? Apa tempat tinggalnya disana?    Pikiran Ellaine makin kalut tatala lift makin mendekati lantai ke enam belas, entah apa yang akan di lakukannya dan apa rencana lelaki ini berdiam diri di samping Ellaine.    “Si berengsek ini…” ucap Ellaine dalam hati, matanya meirik lelaki itu.    Tangan kanan lelaki misterius itu tiba-tiba saja merogoh sesuatu yang terdapat di saku dalam jaket panjangnya.    “Apaa.. apa yang akan dia lakukan?” ucap Ellaine dalam hati. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD