4. Wejangan Calon Mertua

1677 Words
Aisha nampak tertunduk gugup. Di depannya, ada Helena Syanaz yang tengah sibuk memilah dan memilih pakaian untuk nantinya ia pakai. Seperti ucapan Aslan sebelumnya, hari ini Ibu kandung pria tersebut datang menjemput Aisha dan bahkan sempat membantu untuk mengemasi barang-barang miliknya. Alih-alih membawa Aisha segera pulang menuju kediaman Aslan, Helena malah singgah terlebih dahulu ke salah satu butik ternama. Pikir Aisha, ibu mertua dari mendiang kakak tirinya tersebut sengaja singgah karena memang hendak membeli pakaian atau sedang mencari sesuatu. Namun, dugaan Aisha salah besar. Begitu memasuki butik, dirinya baru tahu kalau Helena ternyata punya maksud mencari pakaian untuk nantinya Aisha kenakan dalam prosesi ijab kabul. Ya, Aisha harus sadar diri. Sekali lagi, mengutip perkataan Aslan kemarin malam, suka tidak suka mereka berdua harus mempersiapkan diri karena lusa akan segera melangsungkan pernikahan, sesuai dengan apa yang dijanjikan kepada mendiang Amira. "Aisha." "Aisha Shadiqa." Suara bariton khas pria terdengar menyapa indra pendengaran Aisha yang sedari tadi larut dalam lamunan. Begitu tersadar dan mendongak, Aisha mendapati sosok pria muda dan tentu saja tampan tengah melempar senyum tepat ke arahnya. "Jangan kebanyakan melamun," tegur pria itu. "Ku perhatikan dari dalam mobil sampai turun sekali pun, kamu kayaknya melamun terus." Yang menegur dan protes barusan adalah sosok El Rumi. Pria yang Aisha kenal---ya walaupun nggak akrab-akrab banget ini adalah Adik bungsu Aslan yang umurnya terpaut dua atau tiga tahun lebih tua dari Aisha. Hari ini, pria bermata cokelat itu memang ikut menjemput dan bahkan menjadi supir pribadi Helena hari ini. Sebenarnya, bukan tanpa alasan juga Aisha jadi melamun. Otaknya terasa penuh. Banyak sekali yang sedang ia pikirkan, terutama soal nasibnya yang sebentar lagi akan menikah dengan pria yang jelas-jelas tidak ia cinta. "Memang kamu lagi mikirin apa, sih? Mikirin hutang negara apa gimana? Kayak yang tegang banget mukanya," cecar El Rumi sekali lagi. Penasaran benar rupanya. Malahan terkesan kepo karena sampai bertanya berulang kali. "A-aku?" tunjuk Aisha pada dirinya dengan nada tergugu. Lebih ke perasaan kaget sih sebenarnya, karena tiba-tiba aja disodori pertanyaan. "Nggak lagi mikir apa-apa, kok." "Bohong," tuduh El Rumi. Dasarnya pintar membedakan dan sekaligus membaca guratan yang tergambar pada wajah lawan bicaranya, pria berkulit putih tersebut langsung menampik jawaban Aisha. "Dari mukamu aja udah kebaca, kok. Kamu lagi mikir sesuatu." ElRumi lantas membawa telunjuknya. Detik kemudian menunjuk tempat ke arah wajah Aisha. "Tuh di kening kamu, ada tulisannya." Aisha tercengang. Menarik wajah heran, percaya saja dengan gurauan El Rumi. "Masa, sih? Emang ada tulisan apa di keningku?" tanya Aisha dengan polosnya. Ia bahkan sampai membawa tangannya, sengaja mengusap keningnya yang mulus seperti landasan pacu tersebut. Seolah tulisan yang El Rumi singgung barusan, benar-benar timbul di permukaan kulit keningnya. "Ada tulisan; siapa pun tolong culik aku, biar nggak jadi nikah." Aisha berdecak. Akhirnya sadar dari tadi hanya digoda oleh El Rumi. Masa yang beginian saja dirinya percaya. Dasar payah. "Ya Allah. Aku mikirnya udah serius. Ternyata lagi dibercandain. Dasar aku." El Rumi terbahak. Renyah sekali tawanya terdengar mengalun dari bibir berwarna merah jambu tersebut. Sedari awal bertemu dan kenal, ia sendiri bisa memprediksi, perempuan berumur 22 tahun tersebut memang rada polos. "Lagian, kamu serius banget. Tapi, emang lagi pusing, ya? Pusing karena tiba-tiba harus nikah sama kulkas dua pintu?" Kening Aisha refleks berkerut. "Kulkas dua pintu?" Ya bingung lah dirinya. Siapa pula yang dimaksud El Rumi ini sampai disebut kulkas dua pintu segala. "Iya. Itu calon suaminu. Aslan Fathir Ahmad. Kan dia terkenal kaku macam kanebo kering. Dan dingin macam kulkas dua pintu." Aisha ingin tertawa. Tapi karena menjaga image, ia tahan saja rasa lucu itu. "Baru tau kalau Kak Aslan punya julukan begitu." El Rumi kemudian memajukan wajah, lalu berbisik seolah hendak mengatakan sebuah rahasia kepada Aisha. "Tapi, beneran, deh. Kalau nggak minat nikah sama Kak Aslan yang macam kulkas dua pintu itu, mending kamu kabur aja. Ketimbang menyesal. Atau, kamu mau aku temani kabur?" Selesai mengucapkan kalimat ajakan tersebut, El Rumi terdengar memekik kesakitan. Rupanya sang ibu mendengar candaan yang baru saja pria itu lontarkan kepada Aisha. "Nggak usah ngaco kamu, Rumi. Senang banget godain orang." "Ya Allah, sakit. Lagian, Rumi becanda kali, Umi." Pria itu membela diri. Mencebik sambil mengusap-usap telinganya yang memerah karena sengaja ditarik oleh Helena. "Habisnya, dari tadi Aisha kayak yang tegang terus serius banget. El rasa dia stress karena mau dinikahi sama kak Aslan." "Hussh mulutmu!" "Ini fakta, Umi. Kalau El jadi Aisha pun rasa malas nikah sama cowok galak macam kak Aslan." Helena kembali mencubit. Setelahnya langsung menarik Aisha agar menjauh dari El Rumi. Bahaya memang kalau Aisha kelamaan dekat dengan putra bungsunya tersebut. Bisa-bisa jadi terpengaruh. "Nggak usah didengerin, Aisha. El memang begitu. Ini kamu fitting baju dulu, ya. Kalau cocok, biar Umi langsung bayar." Aisha mengangguk canggung. Tanpa banyak protes atau banyak bicara, menurut saja perintah Helena untuk mencoba baju yang sudah dipilihkan. Lagi pula, dirinya sudah tidak bisa menolak atau mengelak. Namanya sudah janji dan sepakat, ya mau tidak mau pasrah saja terima nasib yang sudah ada di depan mata. Kalau dipikir-pikir, gini amat hidupnya. Bayangkan saja, lahir dari orang tua yang bercerai. Besar dan tumbuh bersama ibu dan saudari tiri. Sedang ayah kandungnya? Lepas tanggung jawab dan pergi entah ke mana. Sekarang? Saat baru saja hendak merasakan kebahagiaan dan menggapai cita-cita, dirinya harus menerima kenyataan yang tidak terduga. Takdir Tuhan, benar-benar nggak bisa Aisha prediksi. "Gaunnya bagus, Umi," ungkap Aisha setelah mengenakan gaun pilihan Helena, lalu berjalan ke arah ibunda Aslan demi memastikan penampilannya. Helena lantas memerhatikan dengan amat sangat. Melempar tatapan memindai dari ujung rambut hingga kaki sembari mengangguk-anggukkan kepala seolah kagum dengan apa yang ia lihat. "Masya Allah. Kamu cantik Aisha. Umi suka lihatnya. Mana pas juga di badan kamu gaunnya." "Kalau dasarnya cantik, mau pakai karung sekali pun, pasti tetap keliatan cantik, Umi." El Rumi yang duduk menunggu pun ikut berkomentar. Menyetujui ucapan sang Ibu yang memuji penampilan Aisha. "Kalau kata aku pribadi sih 'yes' sama gaun yang kamu pakai sekarang. Terlihat sederhana, tapi tetap memberikan kesan elegan. Dan lagi pas juga di badan kamu, Aisha." "Umi setuju," angguk Helena. "Aisha jadi cantik banget pakai gaun ini." Aisha tersipu malu. Rasa melayang sekaligus tersanjung setelah dipuji sedemikian rupa oleh Ibu dan anak tersebut. "Tapi, ini nggak kemahalan?" cicit Aisha. Kan dipakainya cuma sekali." Helena tersenyum lalu menggeleng. Ini Aisha meremehkan dirinya karena khawatir nggak sanggup bayar atau gimana? "Nggak masalah biar mahal sekali pun. Yang penting pas dan kamu suka." "Kalau ditanya suka, Aisha suka kok." Gimana tidak suka, wong gaun pengantin yang ia pilihkan adalah rancangan terbaik di butik tersebut. Bagi Helena, walau Aisha bukan wanita pilihan sang putra, ia tetap harus memperlakukan dengan baik. Toh, sebentar lagi, hanya hitungan hari, wanita di depannya ini akan berubah status menjadi menantu yang insya Allah nantinya akan mendampingi sang putra seumur hidup. Sudah sepantasnya Helena memperlakukan layaknya anak sendiri. "Karena udah pas dan nggak ada masalah, biar Umi langsung bayar aja. Setelah itu, kita cari barang yang lain." Helena lantas langsung membayar gaun pengantin yang sudah selesai Aisha coba. Setelahnya, mereka bertiga sempat singgah sebentar ke toko perhiasan, barulah kemudian memutuskan untuk segera pulang. Lagi di perjalanan pulang, Aisha diam saja. Bingung juga harus berbicara apa. Pun ketika sampai dan masuk ke kamar yang sudah disiapkan asisten rumah tangga, ia tampak jelas terlihat canggung. "Mulai sekarang, Aisha bakal tinggal di sini, di rumah Aslan. Dan untuk sementara tidur di sini dulu," kata Helena yang saat itu sengaja mengantarkan Aisha ke kamar kosong yang tepat berhadapan dengan kamar utama. "Iya, makasih Umi udah repot-repot antar Aisha sampai kamar." Helena tersenyum. Tidak langsung pergi, tapi memilih untuk mengajak Aisha berbincang terlebih dahulu. Lagi pula, sebelum benar-benar menikah dan menyandang status sebagai menantu, Helena pikir ada beberapa hal yang harus dirinya sampaikan kepada Aisha. Itu sebabnya, Helena menarik lembut pergelangan tangan Aisha. Mengajak calon menantunya tersebut untuk ikut duduk bersamanya di sisi ranjang. "Sini dulu, Nak. Umi mau ngomong bentar." Aisha dengan sopan menurut. Pelan-pelan mendudukkan dirinya tepat di sebelah Helena. Dan tentu saja hal ini membuatnya kembali merasa gugup. Cape juga itu jantung dari tadi kerjanya nggak normal karena harus berdegub nggak karuan. "Umi mau ngomong apa?" tanya Aisha takut-takut. Feelingnya sih Ibunda Aslan ini pasti ingin membahas soal pernikahan. "Begini ..." ucap Helena memulai perbincangan. Memandangi wajah sang calon menantu, ia pun tampak jelas menampilkan raut serius. "Umi yakin dari awal Aisha pasti diliputi perasaan canggung, nggak enak, dan bingung karena tiba-tiba harus menepati janji untuk menikah dengan Aslan." Benar kan dugaan Aisha. Di hadapkan dengan situasi begitu serius, ia meyakini pasti ada hal penting yang akan Ibunda Aslan itu bahas. "Umi paham, pasti ada rasa terpaksa juga dalam pernikahan ini. Itu sebabnya, Umi mau meyakinkan Aisha untuk mengenyahkan dan membuang semua keraguan tersebut. Sama halnya dengan Aisha, Umi awalnya juga sempat merasa nggak yakin dengan keputusan Aslan untuk menikah atas dasar menepati janji. Apalagi nggak ada cinta dalam pernikahan ini. Bukannya apa, Umi khawatir juga nanti Aslan jadi sosok yang abai. Jeleknya karena merasa nggak cinta, lalu bertindak semena-mena sama Aisha." Sama halnya dengan apa yang Helena katakan barusan, Aisha sempat terpikirkan hal tersebut. Ada ketakutan juga dalam dirinya di kemudian hari diperlakukan tidak baik karena sedari awal tidak dicintai. "Tapi, setelah lihat sosok Aisha berapa hari ini, Umi berubah pikiran. Umi jadi yakin kalau Aisha sosok yang pas untuk mendampingi Aslan. Itu sebabnya, Umi harap di awal pernikahan nanti, tolong sabar-sabar menghadapi Aslan. Kalau pun Aisha butuh sesuatu, jangan pernah ragu untuk minta pertolongan Umi. Apa pun itu, Umi akan usaha buat bantu." Aisha mengangguk. Menanggapi dengan baik penawaran yang Helena sampaikan kepadanya. Terharu juga karena belum apa-apa dirinya sudah merasa diperhatikan. Tadinya, ia tidak sepenuhnya ikhlas menerima kenyataan kalau harus menikah sedini mungkin. Tapi, karena sudah tidak ada pilihan untuk menolak, pun melihat bagaimana sikap Ibunda Aslan yang mensupport dirinya, ia pasrahkan saja jalan hidupnya nanti kepada Tuhan. "Terima kasih atas bantuannya, Umi. Terima kasih juga sudah percaya dengan Aisha. Mohon bimbingannya. Kalau nanti ada yang salah, tolong tegur." Helena mengangguk. Tersenyum, lalu menghambur pelukan yang erat. Berusaha meyakinkan Aisha bahwa dirinya akan selalu berada di sisi wanita itu. "Sekarang, Aisha istirahat aja biar besok bisa fresh dan siap untuk mengikuti semua prosesi pernikahan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD