5. Hari Pernikahan

2352 Words
Aslan nampak sesekali tertunduk. Menarik napas berulang kali, pria itu berusaha mengusir rasa gugup yang kini tengah hinggap, memenuhi dirinya. Walaupun ini bukan pengalaman pertamanya untuk menikah. Dan lagi, meski dengan embel-embel tidak cinta sekali pun, dirinya tidak bisa membohongi diri sendiri kalau rasa gugup itu tetap saja menghantui dirinya. Sementara itu, tepat di sebelahnya, duduk pula sosok El Rumi. Pria berhidung mancung tersebut sesekali mengajak Aslan berbicara. Sengaja menggoda. Maksud hati agar sang kakak tidak terlalu tegang melewati satu per satu prosesi pernikahan yang akan dilangsungkan malam ini. "Santai aja, Kak. Mukanya nggak usah tegang terus gugup gitu dong. Ngalah-ngalahin kanebo kering aja. Bukannya udah Pro, alias udah pengalaman sama yang namanya menikah?" Aslan langsung mendongak, kemudian menoleh. Menatap tajam, kemudian memasang tampang sedikit kesal. Enak saja adiknya itu menyebutnya pro soal menikah. Disangka dirinya ini sudah berulang kali menikah atau bagaimana, sih? "Siapa yang tegang?" "Tetangga sebelah. Ya Kak Aslan lah. Siapa lagi." "Nggak," sanggah Aslan jumawa. "Aku nggak tegang. Biasa aja." "Gengsi banget buat ngaku. Lagian, kalau mau mundur, masih ada waktu, Kak. Mumpung Aisha belum keluar dari kamar. Kalau mau aku gantiin, juga masih bisa, kok. Tenang aja, dari kecil aku udah biasa juga jadi stuntman terus gantikan peran kak Aslan buat dimarahi Abi dan Umi." Kalimat El Rumi syarat akan sindiran. Teringat saat masih kecil, Aslan memang anak yang sangat aktif, terlalu kreatif, namun pintar. Sangking seringnya membuat masalah dan tidak ingin dihukum, El Rumi yang sering kali pria itu jadikan kambing hitam untuk menutupi kesalahannya. Karena tahu Aslan anak yang pintar, kedua orang tua mereka percaya saja kalau El Rumi lah yang sedari kecil suka berbuat onar. Padahal, El Rumi aslinya anak yang manis dan penurut. Dan, karena sikapnya ini lah, dirinya mau saja saat Aslan memintanya untuk berganti peran. "Demi Allah, ya! Kalau bisa tukar peran, aku emang maunya kamu aja yang nikah sama Aisha." "Ya udah, minggir sana. Biar aku gantikan," sahut El Rumi dengan mimik wajah serius. Entah pria itu aslinya bercanda atau benar-benar serius dengan ucapannya. Tapi, kalau diperhatikan dari gelagatnya, Rumi seperti benar-benar menawarkan diri. "Tenang aja, Kak. Aku ikhlas lahir batin kok gantikan. Seperti kata aku diawal, Aisha itu cantik. Nggak rugi nikah sama dia. Lagian, apa yang kak Alsan lakukan ini, udah mengancam keberadaan para jomlo." Aslan detik itu juga menarik wajahnya. Alis matanya terangkat tinggi. Dirinya berusaha mencerna maksud ucapan sang adik. "Mengancam gimana?" "Ya serakah banget. Sampai nikah dua kali. Mana istrinya cantik-cantik semua. Gantian kek atau kasih kesempatan sama aku yang nggak punya pasangan ini." "Itu sih derita kamu. Makanya, cari calon istri jangan pilih-pilih. Tapi, kakak serius juga. Kalau bisa tukar posisi, mending kamu aja yang nikah sama Aisha." "Kalau emang nggak siap, kenapa maksa diri? Itu yang dinikahi manusia, kak. Punya perasaan." "Tau," sahut Alsan seraya mengangguk. "Mau gimana lagi. Kakak udah terlanjur janji sama almarhum Amira. Dari awal kalak juga nggak minat nikah sama Aisha. Tapi, ini janji yang harus ditepati. Kakak bukan tipe cowok yang suka ingkar janji. Walaupun sebenarnya nggak yakin pernikahan ini nantinya bisa bertahan lama atau nggak." El Rumi geleng-geleng kepala. Bingung sendiri dengan sikap sang kakak yang menurutnya amat sangat plin plan. Lagi pula, kalau tidak siap, kenapa harus memaksakan diri untuk menikah? Memangnya Aslan tidak memikirkan perasaan Aisha? Dasar egois. "Kalau emang nggak bisa mengingkari janji, mending kakak belajar membuka hati. Gimana mau saling kenal apalagi saling cinta, kalau Kak Alsan nggak mau coba? Lagi pula, nanti bakal tinggal serumah. Aku yakin, paling juga lama kelamaan bakal terbiasa." Aslan tersenyum remeh. Pria itu juga menggelengkan kepalanya. "Nggak segampang itu membuka hati buat orang baru. Di hati kakak, sampai detik ini cuma ada Amira." "Kata siapa sulit? Belum juga dicoba. Jangan pernah menarik kesimpulan untuk sesuatu yang belum pernah kita lakukan," tutur El Rumi panjang lebar. Aslinya makin gemas dengan apa yang sudah sang kakak utarakan. "Yang pasti, aku doakan aja setelah menikah, kakak bisa jadi suami yang bertanggung jawab. Jangan semata-mata cuma menepati janji, tapi setelahnya malah abai dengan kewajiban sebagai suami. Ingat, kak. Menelantarkan istri itu hukumnya dosa." Selesai mengatakan kalimat syarat makna tersebut, El Rumi menepuk lembut pundak Aslan. Detik kemudian, pria itu memberi kode kepada sang kakak untuk bersiap-siap. Terlebih, penghulu yang sedari tadi ditunggu, pada akhirnya datang dan mulai bersiap. "Aslan ... kamu udah siap melakukan ijab kabul?" Khalid meminta kepastian. Dari tempat duduknya, pria paruh baya itu menatap wajah sang putra. Menunggu, jawaban apa yang akan diberikan putra sulungnya tersebut. "Aslan udah siap, Bi." Khalid mengangguk. Melambai, meminta Aslan berpindah posisi duduk, mendekati sang penghulu. Karena keberadaan Ayah dan wali Aisha tidak diketahui, maka disepakati proses ijab kabul malam ini diwakilkan oleh wali hakim yang disediakan kantor urusan agama. Sama seperti pernikahan pertamanya, terdengar jelas penghulu memberi wejangan sebelum memulai rangkaian acaran. Kemudian, melantunkan ayat-ayat suci Al Quran. Membacakan doa, barulah memulai prosesi ijab kabul. "Saya terima nikah dan kawinnya, Aisha Shadiqa binti Rauf Alfarezi dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan perhiasan seberat lima belas gram dibayar tunai." *** Aisha harap-harap cemas. Dari dalam kamar, dirinya bersama Ibunda Aslan tampak menunggu prosesi ijab kabul yang tengah berlangsung. Walaupun prosesi akad nikah ini hanya dihadiri keluarga dekat dan beberapa kerabat, tetap saja membuat Aisha gugup. Bagaimana tidak. Dalam hitungan menit saja, statusnya akan segera berganti. Yang tadinya single, akan menjadi seorang istri. "Alhamdulilah. Akhirnya kamu dan Aslan sah juga menjadi suami istri." Helena mengucapkan syukur berkali-kali. Setelah mendengar dengan jelas kalau putra sulungnya baru saja menyelesaikan prosesi ijab kabul tanpa sedikit pun masalah, Helena buru-buru menghampiri Aisha. Mengulurkan tangan, bermaksud untuk mengajak menantu barunya tersebut agar segera keluar dari kamar. "Kamu udah siap, Aisha?" tanya Helena meyakinkan. Aisha mengangguk kecil. Bangkit dari duduknya. Bersiap untuk mengekor Helena yang memberi aba-aba agar mereka segera keluar dari kamar. "Ayo! Biar Umi antar kamu ke Aslan." Aisha mengangguk lagi. Melangkah keluar kamar, mengikuti Helena untuk menghampiri Aslan yang baru saja selesai membaca doa. Dengan kepala tertunduk, Aisha mendekati Aslan. Sebelum duduk, pria yang kini berstatus sebagai suaminya tersebut mendekat. Tanpa berkata apa-apa langsung mengulurkan tangan. Menyentuh puncak kepala Aisha, kemudian terdengar pria tersebut membacakan doa. "Allahumma inni as-aluka khaira-ha wa khaira ma jabaltaha ‘alaihi wa a-‘udzu bika min syarriha wa min syarri ma jabaltaha ‘alaihi. Ya Allah, aku memohon darimu kebaikan istriku dan kebaikan dari tabiat yang kau simpankan pada dirinya. Dan aku berlindung kepadamu dari keburukan istriku, dan keburukan dari tabiat yang Kau simpankan pada dirinya.” Selesai membaca doa, tanpa perlu disuruh lagi, Aisha langsung meraih pergelangan tangan Aslan. Untuk pertama kalinya, gadis cantik tersebut mencium punggung tangan Aslan dengan khidmat dan takzim. Yang mana hal ini malah sempat membuat pria keturunan Turki tersebut terdiam canggung beberapa saat. Entah merasa bingung, atau kaget, karena sebelumnya, saat menikahi Amira, istri pertamanya tersebut tidak melakukan apa yang Aisha lakukan saat ini. "Kak Aslan!" panggil El Rumi sambil menyenggol punggung Aslan saat melihat sang kakak yang malah terbengong. Tentu saja, panggilannya tersebut langsung menarik perhatian Aslan. Begitu pria itu menoleh ke arahnya, El Rumi buru-buru berkata kembali. "Jangan bengong. Udahan salimnya. Emangnya mau berapa lama lagi? Itu cincin nikah, buruan pake." "Hah?" "Itu cincin nikahnya!" tunjuk El Rumi ke arah kotak beludru berisi cincin nikah yang ibu mereka pegang sedari tadi. "Buruan pakein ke Aisha. Kenapa malah kayak orang bingung nggak jelas gitu?" "Ah, iya." Aslan manggut-manggut. Tanpa melepas tangan Aisha, ia kemudian meraih sodoran cincin yang ibunya berikan. Memasangkannya dengan hati-hati lalu bergantian dengan Aisha. Selepas bertukar cincin, keduanya lantas menyapa para sanak saudara serta beberapa kerabat dekat yang hadir dalam acara pernikahan sederhana tersebut. Walau seminggu sebelumnya sempat dirundung sedih atas kematian Amira, semuanya tampak kompak. Berusaha menghibur Aslan agar tidak terus larut dalam kesedihan. Toh, bagi mereka Aslan masih harus tetap melanjutkan hidup, kan? Tidak salah juga kalau pria itu menikah lagi. Terlebih keputusan ini terlaksana atas permintaan mendiang Amira sendiri. "Kalau kakak perhatikan, Aisha ini cantik banget, As. Sepertinya dia perempuan yang lembut dan penurut. Bisa dibilang, kamu beruntung karena setelah kehilangan Amira, malah dapat pengganti yang nggak kalah baik dari sebelumnya." Salah satu sepupu Aslan tampak mendekat. Menghampiri Aslan yang saat itu tengah sendiri dan sedang bergabung, berbincang dengan sepupu lainnya. "Kak Hanna ..." tegur Aslan seraya menggeleng. Seolah tidak terima kakak sepupunya tersebut membandingkan mendiang Amira dengan sosok gadis yang baru saja menjadi istrinya. "Jangan ngomong gitu." "Tapi, yang diomongin Kak Hanna emang benar, As," sahut Haikal, sepupu Aslan lainnya. "Kalo boleh memuji, istri kamu yang sekarang ini emang jauh lebih cantik." "Tuhh! Bener kan kata aku." Seolah tidak ingin ketinggalan obrolan. El Rumi langsung nimbrung dan ikut berbicara. Dasarnya banyak omong dan dari awal senang menggoda, dirinya puas saja ketika sepupu-sepupu yang lain ikut berpikiran yang sama dengan dirinya. "Dari awal, aku juga udah ngomong gini ke kak Aslan. Dibilang istrinya cantik malah nggak percaya." "Udah deh, Rumi. Nggak usah kompor." El Rumi cekikikan. Senang sekali melihat Aslan kalau sudah kesal seperti sekarang. Dengan sengaja dirinya bahkan melambai ke arah Aisha yang saat itu tengah bersama sang ibu. Meminta kakak iparnya tersebut untuk bergabung. "Selamat ya, Aisha atas pernikahannya. Selamat bergabung di keluarga besar Ahmad. Kakak doakan rumah tanggamu dan Aslan langgeng sampai maut memisahkan. Kakak harap, kamu betah di keluarga ini. Kalau butuh apa-apa, nggak usah sungkan buat ngomong." Hanna langsung menyambut dengan hangat. Memberi pelukan. Bahkan tindakannya yang sangat akrab ini langsung ingin ditiru oleh El Rumi. "Heh, kamu mau ngapain?" tegur Hanna saat melihat El Rumi merentangkan kedua tangannya. "Aku mau kasih pelukan selamat datang juga seperti kak Hanna." "Nggak perlu!" kata Hanna sambil melotot. "Main sosor istri orang aja." Dilara dan sepupu lainnya lantas menertawakan El Rumi, sedang Aslan nampak diam saja memerhatikan. Tidak sedikit pun kata-kata keluar dari mulut pria itu. Padahal, sebelumnya Aslan banyak berbicara sebelum Aisha bergabung dengan para sepupunya. "Ah, hampir lupa," kata Hanna lagi. Wanita berumur hampir 40 tahun itu lantas mengeluarkan satu amplop putih dari dalam clutch yang ia bawa. Kemudian, menyerahkan apa yang ia pegang kepada Aslan. "Hadiah pernikahan buat kamu dan Aisha." Aslan detik itu juga menarik wajahnya. Dengan raut bingung dan penuh tanya langsung mengklarifikasi hadiah apa yang sebenarnya Hanna berikan kali ini. Dari dulu, sejak kecil. Hanna yang anak tunggal memang begitu dekat dengan Aslan. Tidak hanya sering memberi barang atau hadiah, Hanna juga banyak tahu kisah hidup Aslan karena adik sepupunya itu sering kali bercerita dan meminta pendapat kepadanya. "Ini apa, Kak?" tanya Aslan ingin tahu. Wajahnya nampak sangat penasaran. "Biasa. Paket honeymoon full akomodasi ke Turki." "Apa? Paket Honeymoon?" Hanna mengangguk penuh yakin. "Iya, Aslan. Ini hadiah dari Kak Hanna dan Kak Rasyid." Hanna lantas maju selangkah untuk mendekat. Detik kemudian berbicara lagi dengan suara sedikit lebih pelan. "Kan, di pernikahan sebelumnya, kamu juga nggak sempat buat honeymoon. Jadi, kakak pikir, ini waktu yang tepat untuk merayakan pernikahan." "T-tapi, Kak ---" "Udah, terima aja, Kak. Lumayan loh itu bisa ke Turki. Gratis pula. Hitung-hitung pulang kampung." El Rumi ngoceh lagi. Memang nggak bisa pria berhidung mancung itu tidak menganggu atau menggoda sang kakak. "Kalau kak Aslan nggak mau, sini aku yang gantiin buat temenin Aisha ke Turki," kata El Rumi lagi. Lalu pria itu menoleh ke arah Aisha. "Aisha, kamu pernah ke Turki?" Aisha menggeleng. Jangankan Turki yang jauh di sana. Bepergian dalam kota saja dirinya jarang. Kasian memang. "Belum pernah." "Nahh! Aku temenin jalan-jalan ke Turki mau?" Hanna yang gemas langsung menarik kuping El Rumi hingga pria itu mengaduh sakit. Sudah di kata jangan menggoda Aslan, tapi masih saja melakukan hal tersebut. "Terima aja hadiahnya, Aslan. Kan perginya nggak mesti besok. Itu paketnya bisa digunakan kapan aja yang penting tahun ini. Se-senggangnya kamu sama Aisha aja kapan." Aslan mengangguk. Pun Aisha juga melakukan hal yang sama. Entah kebetulan atau tidak, keduanya sama-sama membatin dalam hati. Apakah hadiah yang diberikan Hanna tersebut bisa mereka pergunakan. Mengingat pernikahan yang keduanya jalani tanpa rasa cinta sedikit pun. Jadi, bagaimana bisa melakukan honeymoon segala. "Mumpung lagi pada kasih kado, aku juga mau kasih hadiah buat kakak ipar." El Rumi rupanya tidak pernah kapok membuat ulah. Berjalan sebentar ke arah kursi. Kemudian kembali dengan membawa satu kotak berwarna maroon lengkap dengan pita emas di atasnya. "Aisha, ini hadiah pernikahan dari aku khusus buat kamu. Jangan nggak dipergunakan, ya." Aisha sempat terbengong. Belum sempat berucap apa-apa, Aslan sudah lebih dulu berbicara kepada El Rumi. "Kamu ngasih apaan?" "Ra-ha-si-A," kata El Rumi sembari mengeja kata dengan sengaja. "Nanti kalau udah di dalam kamar Kak Aslan juga bakal tau." "Paling juga baju haram," tebak Hanna dan langsung mengundang gelak tawa dari para sepupu lainnya. Dillara yang tadi diam lantas ikut maju, mendekati Aslan dan Aisha, perempuan itu kemudian memberikan sesuatu. "Ini hadiah dari aku juga. Semoga bermanfaat untuk kalian berdua. Kalau ditanya apa, isinya cuma vitamin kok." "Pasti vitamin penyubur sama obat kuat, kan? Mentang-mentang dokter," celoteh El Rumi lagi. Aisha sampai tersedak mendengar ucapan El Rumi. Bisa-bisanya para sepupu dan saudara Aslan memberi mereka berdua hadiah pernikahan yang sangat ajaib dan tidak biasa. "Udah ... udah. Nggak usah digoda lagi pengantin barunya," ungkap Hanna menyudahi tawa di antara para sepupunya. "Aslan, ini udah jam sepuluh. Mending kamu sama Aisha siap-siap buat istirahat." "Iya. Jangan cape-cape." Dillara pun ikut bersuara. "Ya udah, Kak. Bawa Aisha ke kamar. Emangnya kak Aslan nggak mau siap-siap malam pertama sama istri baru?" Wajah Aslan dan Aisha sontak sama-sama memerah. Malu bukan main mendengar apa yang baru saja El Rumi katakan. Walaupun malam pertama dengan istri sendiri bukan hal yang luar biasa. Tetap saja memalukan kalau dibahas dengan para sepupu seperti ini. "Rumi!" "Loh bener, kan? Bukannya pengantin baru emang begitu?" "Rumi," tegur Hanna kembali. "Udah, deh. Nggak usah digodain mulu." Hanna kemudian beralih pada Aslan dan Aisha. Lalu mengajak keduanya kembali berbicara. "Aslan, cepat bawa istrimu ke kamar. Kalian berdua langsung istirahat aja." "Iya, Kak," sahut Aslan seraya mengangguk. Kemudian mengajak Aisha untuk pergi menuju kamar. "Kami berdua pamit dulu." Hanna mengangguk lalu mempersilakan sepupunya untuk pergi. Namun, sebelum keduanya benar-benar jauh, terdengar ia memanggil kembali. "Aslan." Yang punya nama langsung menoleh. Pun Aisha juga refleks melakukan hal yang sama. "Iya?" Hanna mengulum senyum. Detik kemudian berucap dengan mimik wajah seolah menggoda. "Jangan lupa, sebelum malam pertama, baca doa dulu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD