"Ini aku ke kamar duluan? Sendirian?"
Setelah diperintah para saudara dan sepupu untuk segera beristirahat, Aslan langsung mengajak Aisha untuk pergi menuju kamarnya. Dari pada terus-terusan jadi bahan olokan, lebih baik ia menghindar saja. Kalau tidak, pasti godaan serta ejekan yang para sepupunya layangkan bisa lebih parah dari pada sebelumnya.
Namun, saat hendak menaiki tangga menuju lantai dua, pria berpostur tinggi semampai itu berhenti melangkah. Lagi-lagi, namanya terdengar dipanggil dan kali ini berasal dari sang ayah yang memintanya untuk menyapa saudara jauh yang hendak pamit pulang.
"Iya. Kenapa? Kamu nggak berani?" Aslan menoleh. Matanya menatap dingin sosok perempuan yang padahal kini sudah menyandang status sebagai istrinya tersebut. "Kamu dengar sendiri kan kalau barusan aku dipanggil sama Abi?"
"Nggak, bukan gitu." Aisha buru-buru menggelengkan kepala. Padahal dirinya hanya bertanya saja. Kenapa Aslan malah sensi begini, sih?
"Ya terus? Yang jadi masalah apa? Atau kamu mau aku gendong ke kamar?"
Aisha mengerjapkan mata. Sempat terkejut dengan sikap ketus yang suaminya tunjukkan. Ini kenapa Aslan makin nyolot. Memangnya ada yang salah dengan pertanyaannya? Padahal, cukup dijawab 'iya' dengan baik-baik saja sudah beres. Bukannya ngoceh panjang lebar macam kereta seperti sekarang.
"M-maaf, Kak Aslan. Aku cuma memastikan aja Nggak ada maksud apa-apa."
Aslan diam saja. Alih-alih menyahut atau memberi tanggapan, pria itu memilih pergi. Meninggalkan Aisha yang kemudian melanjutkan langkah sendiri menuju kamar.
Sesampainya di kamar Aslan, Aisha melangkah pelan masuk ke ruangan. Mengedarkan pandangan ke seluruh arah, memerhatikan isi dari kamar sosok pria yang kini menjadi suaminya tersebut.
Rapi.
Sangat rapi untuk ukuran seorang pria. Aisha tahu kalau suaminya itu dulu menikah dengan sang kakak. Bisa jadi, yang 'beberes' di dalam kamar ini sebelumnya adalah mendiang Amira.
Hanya saja, ia juga tahu kalau Amira sudah lumayan lama dirawat di rumah sakit. Terlebih sudah seminggu juga sang kakak pergi. Jadi, pasti yang merapikan kamar yaa si pemilik kamar yang ditinggalkan.
Setelah sempat terlena beberapa saat melihat-lihat seisi kamar, Aisha ingat tujuan awalnya. Pun karena hari juga sudah mulai larut malam, ia gegas mengambil baju tidur lalu masuk kamar mandi untuk segera membersihkan diri.
Seingat Aisha, mungkin ada sekitar tiga puluh menit lebih dirinya di kamar mandi. Ya mau bagaimana lagi, bagian membersihkan riasan pengantin memang butuh waktu yang sangat ekstra. Belum lagi ada beberapa pernak pernik serta aksesories yang harus ia lepas dengan hati-hati. Mana pakaiannya agak susah juga kalau dilepas sendiri tanpa bantuan orang lain. Jadilah, habis 30 menit sendiri waktu yang ia butuhkan untuk menyelesaikan bagian ini.
Kemudian Aisha gegas mandi dan berganti pakaian. Mengenakan piyama berwarna salem dengan hijab instan warna senada, gadis mungil itu memutuskan untuk segera keluar.
Namun, ketika dirinya membuka pintu, Aisha sempat dibuat terkejut beberapa saat. Sudah ada sosok Aslan yang tengah berdiri bersandar di dinding sambil bersedekap d**a. Terlebih suaminya itu menatap tajam ke arahnya seolah-olah hendak memakannya hidup-hidup. Sebenarnya, ini Aisha masuk kamar manusia atau kandang singa?
"Kamu pingsan?"
"Hah?"
Aisha kembali mengerjap. Bibirnya sampai ternganga beberapa centi demi memahami ucapan Aslan barusan.
"Pingsan?" cicit Aisha dengan nada terdengar gugup.
"Iya. Kamu di kamar mandi lagi bersihin badan atau pingsan? Lama banget! Disangka aku nggak gerah nungguin kamu hampir satu jam di dalam sana?"
"Maaf, Kak. Aisha nggak maksud buat kak Aslan nunggu begini. Kebetulan tadi di dalam harus bersihin make up dulu. Terus, kaitan baju pengantinnya lumayan susah dilepas. Jadi, mesti pelan-pelan."
"Alasan!" ucap Aslan dengan nada tinggi. Malahan terdengar seperti orang yang sedang membentak. "Besok-besok, kalau kamu mau lama atau sekalian tidur, mending pakai kamar mandi di luar aja biar nggak buat orang lain nunggu lama. Lagian, udah tau ini larut malam."
Aisha mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Rasanya, ingin sekali menangis keras saat itu juga. Mana pernah sebelumnya ia dimarahi atau diomeli seperti ini.
Sedang Aslan, setelah mengomel lantas berlalu begitu saja menuju kamar mandi. Tidak ada sedikit pun rasa bersalah atas sikap berlebihan yang sudah pria itu lakukan sebelumnya.
"Sabar, Aisha. Pokoknya kamu harus sabar. Nggak boleh ngeluh apalagi nyerah. Baru juga resmi menikah."
Aisha mengembuskan napas panjang sambil terus menyemangati diri sendiri. Tanpa perlu berlama-lama, dirinya lantas berjalan menuju tempat tidur lalu merangkak naik, bersiap untuk beristirahat. Bodo amat setelah ini Aslan mau marah. Disangka dirinya juga tidak merasa lelah atau letih setelah melewati serangkaian acara pernikahan mereka.
Namun, sebelum benar-benar tidur, Aisha dengan jelas mendengar suara pintu kamar mandi terbuka. Tidak lama berselang, Aisha mendapati sosok Aslan yang sudah berdiri tak jauh dari sisi ranjang. Tanpa berucap sepatah kata, pria berdarah Turki tersebut meraih bantal dan guling. Sepertinya kedua benda tersebut ingin dibawa ke tempat lain.
"Kak Aslan mau kemana?" tanya Aisha dengan polosnya. Padahal, kalau tidak ingin kena masalah, kenapa dirinya tidak diam saja memerhatikan apa yang akan suaminya lakukan.
"Mau tidur. Memangnya apalagi?" Tuh, kan. Apa dikata. Ditanya begitu saja, Aslan menjawabnya dengan nada ketus. Agak lain memang pria ini.
"Tapi kok bantal gulingnya dibawa pergi?"
"Hmm," deham Aslan sembari mengangguk, menatap ke arah Aisha. "Aku mau tidur di sofa."
"Tidur di sofa?"
"Iya. Memangnya kamu pikir aku mau tidur seranjang sama perempuan yang nggak aku suka?"
Aisha menarik napas panjang. Bingung bercampur kesal mendengar jawaban yang baru saja Aslan sampaikan kepadanya. Kalau memang tidak merasa nyaman, kenapa memaksakan diri untuk menikah?
"Udah, nggak usah banyak tanya. Mending kamu buruan tidur sana Besok ada kuliah pagi, kan?"
Aisha mengangguk saja. Lagi-lagi membiarkan Aslan pergi melangkah menuju sofa. Dari tempat tidur dirinya memerhatikan bagaimana suaminya itu membaringkan diri lalu tak lama mulai terlelap tidur.
"Sialan ini cowok," gumam Aisha pelan. Sangat pelan dan nyaris berbisik. "Cakep-cakep tapi mulutnya pedas banget. Disangka hatiku pakai antigores, apa? Yang tahan banting dan nggak gampang rapuh dengerin ocehannya yang pakai boncabe level 30 itu? Awas aja! Aku bakal balas nanti."
Selesai bersungut-sungut, Aisha kemudian menggelengkan kepala berulang kali. Sungguh, malam pertama macam apa ini. Bukannya romantis layaknya drama-drama yang sering ia tonton, dirinya malah menerima omelan bertubi-tubi dari pria yang sudah sah menjadi suaminya beberapa jam yang lalu. Entah, ia tidak bisa membayangkan apakah bisa bertahan lama menerima semua perlakuan ini.
***
Aisha membuka mata. Dengan mata sayu-sayu, dirinya memastikan pukul berapa saat ini. Ketika sadar kalau waktu sudah menunjukkan jam lima subuh, Aisha gegas memaksakan diri untuk menegakkan tubuh, lalu duduk beberapa saat di atas tempat tidur. Kalau kembali memejam, sudah dipastikan ia pasti akan terlewat waktu untuk sholat subuh.
Sambil meregangkan tubuh, Aisha menoleh ke sebelah kanan. Menyipitkan mata, dirinya tidak mendapati sosok Aslan di atas sofa. Kemana suaminya itu? Apakah semalam tidak jadi tidur di sana. Atau jangan-jangan malah tidur di kamar lain tanpa sepengetahuannya.
"Ah, bodo amat. Terserah aja dia mau tidur di mana. Toh rumahnya ini. Mau tidur di dapur sekali pun, suka-suka dia ajalah. Ketimbang tanya, nanti malah kena semprot lagi."
Mengabaikan sosok Aslan yang tidak berada di kamar, Aisha memilih untuk segera ke kamar mandi. Membersihkan diri, lalu bersiap untuk sholat subuh.
Menyelesaikan semua kegiatannya tepat pukul enam pagi, tadinya Aisha ingin keluar kamar dan pergi menuju dapur. Biasanya, jam segini dirinya memang menyiapkan sarapan sebelum benar-benar berangkat ke kampus.
Namun, saat hendak keluar. Langkahnya terhenti. Dari ekor matanya, Aisha menangkap kumpulan koleksi parfum dengan berbagai merk yang tersusun rapi dalam sebuah lemari kaca.
Cantik.
Sangat cantik dan juga banyak. Kalau diperhatikan baik-baik, ada berbagai merek dari yang paling murah hingga yang harga puluhan jutaan rupiah. Baru tahu juga dirinya kalau mendiang sang kakak memiliki koleksi seperti ini.
Melihat dengan amat sangat takjub, Aisha bermaksud untuk mencoba salah satu. Dirinya tahu benar ada parfum Caron Poivre yang merupakan Parfum legendaris dan diciptakan sejak tahun 1954 dan dihargai sekitar US$1.000 atau setara dengan Rp14 juta.
Setelah berhasil meraihnya, Aisha membuka sedikit penutupnya demi dapat mencium aroma parfum tersebut. Rasa penasaran yang tadi sempat hinggap, akhirnya terbayarkan sudah.
Dengan hati-hati Aisha kembali menutup parfum di tangannya. Namun, saat hendak memasukkan kembali dalam lemari kaca, seseorang terdengar menegur dan berhasil membuatnya terkejut.
"Kamu ngapain?"
Aisha refleks menoleh ke arah pintu kamar. Nahas, karena kaget, ia malah menjatuhkan parfum yang sebelumnya ia pegang.
"Astagfirullhhaladzim."
Aisha langsung berseru. Terkejut bukan main saat menyadari dirinya baru saja menjatuhkan salah satu parfum ke lantai hingga pecah berantakan dan tidak berbentuk.
Aslan sendiri langsung mendekat. Menarik lengan Aisha yang kala itu langsung duduk, berusaha merapikan apa yang baru saja ia jatuhkan.
"Bangun!" perintah Aslan. Setelah Aisha bangkit, Aslan kembali menarik Aisha, membawanya untuk segera keluar kamar. Setelahnya, membawa gadis itu untuk masuk ke kamar yang posisinya berada tepat di depan kamar Aslan.
"Siapa yang izinin kamu sentuh barang-barang koleksi Amira?"
"M-maaf, Kak. Aku nggak sengaja. Tadinya, aku ---"
"Aisha! Kamu udah lancang, ya! Kita emang udah nikah. Tapi, bukan berarti kamu bisa seenaknya menyentuh apalagi memakai barang milik Amira. Kamu itu udah lancang."
"Demi Allah, aku minta maaf, Kak."
"Oh, tentu," sahut Aslan tampak murka. "Kamu memang harus minta maaf. Tadinya, aku pikir nggak masalah biarin kamu tidur di kamarku. Tapi, baru sehari aja, kamu udah buat ulah dan bahkan sampai pecahkan barang koleksi mendiang Amira. Sikap kamu itu udah lancang dan kurang ajar, Aisha. Beraninya sentuh barang orang tanpa izin! Mulai hari ini, detik ini, kamu bakal tidur sendiri di sini. Dan jangan pernah sekali-kali sentuh barang yang bukan milik kamu."
"Tapi, Kak ---"
Aslan tidak perduli. Ditinggalkannya begitu saja Aisha yang sekarang tidak kuasa menahan diri untuk tidak menangis. Sakit sekali hatinya dibentak dan dicaci maki terlebih oleh suami sendiri.