Aisha rasanya ingin kabur saja dari kampus. Ia ingat benar kalau hari ini ada jadwal di mana Aslan akan mengajar di kampusnya.
Sebelumnya, saat masih menjadi kakak ipar, Aisha santai saja. Walau jarang dan malahan hampir tidak pernah bertegur sapa di luar persoalan kuliah, ia tidak begitu perduli dengan kehadiran Aslan atau pun dengan segala sikap dingin yang pria itu tunjukkan kepada para mahasiswa.
Namun sekarang, terlebih setelah kejadian kemarin, Aisha merasa trauma. Malah takut kalau bertemu atau bertatap muka dengan suaminya tersebut.
Bayangkan saja. Setelah membentak dan membuatnya menangis, Aslan sama sekali tidak meminta maaf. Malah bersikap santai, seperti tidak terjadi sesuatu di antara mereka. Pria itu bahkan sempat-sempatnya memberi peringatan yang mana membuat Aisha kembali merasa gerah.
"Jangan pernah coba-coba buat sentuh sesuatu yang bukan milik kamu. Kalau sampai di kemudian hari aku dapati kamu ngerusakin barang lagi, nggak cuma pindah kamar, mungkin aku bakal pikirkan buat pindahin kamu dari rumah ini."
Aisha pikir, setelah menikah, suaminya itu paling tidak bisa berbasa basi untuk bersikap baik. Tapi, dugaannya salah. Salah besar malahan. Aslan tetap saja cuek. Bahkan seolah menganggap dirinya tidak ada.
Tadi pagi misalnya. Saat menyantap sarapan, di meja yang sama Aslan memilih menikmati makanannya tanpa sedikit pun mau mengajaknya berbicara. Alih-alih mengobrol, pria keturunan Turki tersebut malah memberi perintah bernada ancaman.
"Hari ini aku bakal ngisi materi di kelasmu seperti biasa. Aku harap, kamu nggak usah pamer kalau kita berdua udah nikah. Kalau perlu, nggak usah ada yang tau kalau status kita suami istri."
Aisha saat itu diam saja. Malas menanggapi apa yang baru saja Aslan sampaikan kepadanya. Toh, tanpa perlu disuruh atau diperingatkan sekali pun, dirinya juga malas mengakui kalau saat ini berstatus sebagai istri dari pria aneh macam Aslan.
Aisha tahu, dirinya sadar juga kalau di kampus, Aslan itu begitu diidolakan oleh para mahasiswi karena tampangnya yang memang sangat tampan. Tapi, tetap saja, dari awal tahu dan kenal, Aisha bahkan tidak sedikit pun tertarik. Terlebih sikap Aslan yang sok cool dan cuek, kerap kali membuatnya muak. Hal ini juga yang sempat menjadi salah satu alasan di awal-awal ia menolak Amira untuk menikahi suaminya tersebut.
"Aisha! Kamu punya telinga, kan?"
Mendengar namanya dipanggil sekali lagi, diikuti kata-kata bernada ketus, membuat Aisha tersadar lalu mengangguk.
"Iya," jawab Aisha singkat.
"Iya? Iya apa?"
Aisha memejamkan mata sejenak sembari menarik napas panjang. Demi apa pun, kenapa Aslan ini cerewet sekali.
"Iya, aku paham, Kak," kata Aisha menekankan.
"Bagus kalau kamu paham. Awas aja nanti dikampus sampai ada yang tau kalau kita suami istri. Nanti, kamu juga yang repot kalau dapat nilai bagus, dianggapnya aku pilih kasih."
Aisha lantas mengangguk berulang kali. Walau sadar perlakuan suaminya itu amat sangat menyebalkan, ia memilih untuk menurut saja.
Bukan hanya perbincangan di meja makan yang membuatnya kesal. Pun saat berangkat menuju kampus yang mana arah dan tujuan mereka sebenarnya sama, Aslan juga tidak sedikit pun menawarkan tumpangan kepada Aisha.
Alhasil, Aisha pergi ke kampus tetap seperti biasa seperti sebelum menikah. Menggunakan taksi. Padahal, jelas-jelas mobil di garasi sang suami berjumlah lebih dari dua. Pun supir pribadi juga nampaknya standby di pos security. Tapi, karena malas membuat ribut, Aisha terima saja nasibnya seperti ini. Sial memang!
"Ai ... Aisha!"
Aisha langsung menoleh. Tepat di sebelah kanannya, ada sosok Gladis. Perempuan yang satu-satunya menjadi sahabat Aisha selama ini. Sahabatnya itu melempar tatapan penuh tanya. Seolah ada sesuatu yang ingin ditanyakan.
"Ku perhatikan, kamu gelisah banget. Emangnya kenapa, sih? Ada masalah?" tanya gadis itu berbisik.
Aisha langsung menggeleng. Malas saja menceritakan apa yang tengah ia alami.
"Nggak apa-apa."
"Yakin nggak ada masalah? Tapi, kenapa gelisah banget, sih? Keliatan loh dari mukamu."
Aisha tersenyum. Bersusah payah sekali terlihat biasa agar tidak terus menimbulkan kecurigaan. Mau bagaimana lagi, Gladis itu teman yang memang rada kepo. Kalau diceritakan sekali, pasti nanti ujungnya banyak tanya. Aisha lelah kalau harus menjelaskan atau bercerita panjang lebar.
"Sebenarnya, aku lagi gugup aja karena hari ini pengumuman soal hasil tes akhir."
Untung saja Aisha bisa berpikir cepat. Tapi, kalau dipikir-pikir, ia memang khawatir dengan hasil tesnya hari ini. Kalau jelek, mana bisa ia melamar untuk praktik kerja magang di perusahaan-perusahaan besar yang memang menerapkan standar tinggi.
"Oh, Ya ampun. Kamu bener juga, sih. Mana tes kali ini hasilnya dibacain di depan mahasiswa lain. Malu banget kalau ada di urutan terakhir."
"Itu dia," sahut Aisha ssraya menjentikkan jarinya ke udara. "Makanya dari tadi aku gugup terus gelisah banget."
"Kalau soal magang gimana? Kamu udah punya daftar perusahaan mana aja yang mau dicoba buat lamar?"
Aisha mengangguk. Jauh-jauh hari, dirinya memang sudah membuat daftar perusahaan mana yang mau ia pilih untuk nantinya melakukan praktik magang selama tiga bulan ke depan. Kalau dilihat, ada tiga perusahaan besar yang sudah ia pilih dan jadikan kandidat.
"Udah dong. Aku pilih Intrament, Siku-siku, atau Wijaya Raya. Semoga aja bisa masuk di salah satunya."
"Gila!" Gladys berdecak. Merasa insecure mendengar apa yang baru saja Aisha sampaikan kepadanya. Semua perusahaan yang sahabatnya itu pilih memang perusahaan bonafit yang rasanya sulit untuk dirinya gapai. "Kalau aku, mana mungkin bisa masuk perusahaan itu. Secara, nilai pas-pasan."
"Belum dicoba, udah minder aja."
"Bukan minder, Ai. Aku ini sadar diri. Tapi, doaku sih nggak muluk-muluk. Bisa masuk peringkat sepuluh besar juga udah bersyukur banget. Kalau kamu sih enak. Kan pintar. Pasti masuk peringkat tiga besar atau lima besar."
Tepat pukul delapan, Aslan benar-benar memasuki kelas di mana Aisha berada. Seperti biasa, pria itu memberikan materi kuliah selama dua jam lamanya. Kemudian, dilanjut dengan pembacaan hasil tes dan pembagian kelompok magang.
"Seperti janji saya minggu lalu, hari ini saya akan bacakan hasil tes satu fakultas berikut peringkat yang kalian dapatkan. Karena waktunya terbatas, saya hanya bacakan sampai peringkat lima saja. Sisanya, kalian bisa baca di papan pengumuman kampus."
Para mahasiswa tampak bersorak antusias. Terlihat tidak sabar menunggu pengumuman yang akan Aslan bacakan.
"Untuk peringkat satu, atas nama Kalvin Gunawan. Peringkat dua Refal Abimana, peringkat tiga Miranda Atmaja, peringkat empat Aisha Shadiqa dan terakhir peringkat lima Ibrahim Alkatiri."
Aisha mengucap syukur beribu kali. Walau bukan menduduki peringkat satu untuk hasil tes kali ini, ia tetap merasa bangga karena masih masuk urutan lima besar. Paling tidak nilainya lebih tinggi dari pada teman-teman lainnya.
"Sesuai janji saya kemarin ..." lanjut Aslan sebelum mengakhiri pertemuan. "Peringat tiga teratas, silakan ajukan permohonan magang di tempat yang kalian inginkan dan saya akan bantu rekomendasikan agar kalian bisa diterima di perusahaan tersebut."
Aslan kemudian beralih pada mahasiswa peringkat satu bernama Kalvin. Sambil memegang pena, pria keturunan Turki tersebut tampak menyodorkan pertanyaan.
"Kalvin, silakan pilih perusahaan mana yang mau kamu coba untuk lamar dan lakukan praktik magang tiga bulan ke depan?"
"Saya pilih Wijaya Raya, Pak."
"Oke," sahut Aslan sembari mencatat, lalu beralih kepada mahasiswa berikutnya. "Kalau kamu, Refal? Sudah ada pilihan?"
Mahasiswa bernama Refal itu dengan antusias mengangguk.
"Saya pilih siku-siku, Pak."
"Baik. Dan yang terakhir Miranda, kamu pilih perusahaan apa?"
"Saya Intrament, Pak."
"Oke. Ketiganya sudah saya catat. Hari ini juga saya buatkan surat rekomendasi dan kirim via email ke tiga perusahaan yang kalian pilih."
Para mahasiswa kembali bertepuk tangan. Ada yang mengucap selamat atas pencapaian yang di dapat ketiga mahasiswa tersebut.
"Untuk yang lainnya, silakan segera ajukan lamaran ke perusahaan yang kalian pilih," tambah Aslan sebelum bangkit dari duduknya. "Dan perlu kalian ingat, untuk peringkat lima besar, kalian nggak boleh magang di tempat atau di perusahaan yang sama. Jadi, pastikan pilihan kalian berbeda."
Bahu Aisha detik itu juga langsung merosot jatuh. Harapan untuk dirinya masuk ke tiga perusahaan pilhan, kini tinggal angan-angan setelah mendengar perintah sang dosen kalau perusahaan yang dipilih tidak boleh sama dengan teman lainnya.
"Aslan, bisa nggak sih nggak nyebelin? Sehari aja!"
***
Demi menghilangkan suntuk, selepas kuliah, Aisha sengaja singgah terlebih dahulu di salah satu coffeshop. Kepalanya pusing sekali memikirkan soal pilihan perusahaan yang akan ia pilih untuk melakukan praktik magang yang waktunya terbilang sangat mepet.
Padahal, Aisha sudah percaya diri ingin mendaftarkan diri ke perusahaan yang masuk dalam 'wishlist' yang sudah jauh-jauh hari ia buat. Tapi, lagi-lagi impian itu sirna. Semuanya berantakan karena Aslan yang memberikan syarat untuk tidak memilih perusahaan yang sama dengan teman-teman lainnya.
Sekarang, Aisha jadi kebingungan. Ke mana ia harus mencari perusahaan untuk melakukan praktik magang.
"Aisha!"
Sibuk melamun, namanya terdengar dipanggil. Begitu tersadar, Aisha mendongak dan mendapati sosok El Rumi sudah berdiri tepat di hadapannya dengan menyunggingkan senyum begitu lebar.
"Kebetulan banget ketemu kamu di sini. Aku boleh ikut duduk? Kursi lain pada penuh."
Aisha mengangguk pelan. Kemudian memepersilakan El Rumi untuk duduk di kursi kosong yang ada di hadapannya.
"Kamu lagi ngapain di sini sendirian?" tanya El Rumi basa-basi.
"Lagi cuci baju."
"Apa?"
"Namanya di coffeshop, ya jelas lagi minum sambil nongkrong. Masa iya sambil jemuran."
El Rumi tertawa keras. Baru kali ini ia mendapati sikap Aisha yang begitu lepas dan tidak kaku seperti sebelumnya.
"Ya siapa tau aja kamu nunggu Aslan. Atau lagi ngerjain sesuatu di sini."
"Nggak," geleng Aisha. "Aku nggak lagi nungguin siapa-siapa, kok. Kamu sendiri ngapain di sini?"
"Mau samperin kamu lah. Rugi banget perempuan cantik nggak di sapa terus dibiarin duduk sendirian."
Aisha malah tersipu malu. Ini adiknya Aslan enteng banget ngatain dirinya cantik segala macam.
"Kamu lagi ngegombal?"
"Siapa? Aku?" tunjuk El Rumi ke dirinya sendiri. "Nggak dong. Kamu emang cantik kok. Serius. Lagian, semua perempuan emang kodratnya cantik, kan?"
"Masuk akal, sih. Tapi, serius, kamu kok bisa ada di sini juga?"
"Kebetulan aja. Tadi baru selesai ketemu klien yang lokasinya dekat sini. Jadi, sekalian singgah buat nyantai dan beli minuman. Eh, nggak taunya jodoh malah ketemu kamu."
Aisha kali ini berdecak. Beda memang kalau ngobrol sama pria yang rame macam El Rumi ini.
"Terus, itu kenapa muka kamu ditekuk macam orang lagi suntuk begitu," tanya pria itu kemudian.
Aisha mendesah kecil. Memangnya keliatan banget apa kalau dirinya saat ini lagi bete? Padahal, ia sudah memasang raut wajah sebiasa mungkin.
"Nggak kenapa-kenapa, kok."
"Beneran nggak kenapa-kenapa? Tapi, biasanya cewek kalau bilang nggak kenapa-kenapa, faktanya malah sebaliknya, kan? Aku tebak, kamu pasti lagi ada masalah. Cerita aja. Siapa tau aku bisa bantu."
Aisha tersenyum tipis. Agak takjub dengan sikap El Rumi yang menurutnya peka dengan keadaan sekitar. Jarang-jarang loh ada cowok yang peka dengan apa yang terjadi pada perempuan.
"Bukan masalah besar sih sebenarnya. Ini soal kuliah."
El Rumi manggut-manggut. Tampak serius mendengarkan apa yang Aisha sampaikan kepadanya.
"Emangnya kenapa dengan kuliah kamu? Ada kesulitan? Biasanya mahasiswi semester akhir memang banyak tugas dan deadline nya, sih. Makanya, kata aku. Kalau kamu butuh bantuan, atau pengen cerita, cerita aja. Biar aku dengerin. Mumpung aku lagi free juga sekarang."
Aisha mengangguk dengan senyum. Entah kenapa ia jadi tertarik menceritakan apa yang sedang dirinya alami kepada El Rumi. Sebut saja ini terlalu dini menyimpulkan, tapi dirinya memang merasa nyaman saja untuk bercerita. Berbeda jauh saat Gladys menginterogasinya tadi pagi. Sahabatnya itu suka sekali kepo dan memaksa ia untuk bercerita.
"Lagi pusing aja cari perusahaan untuk magang tiga bulan ke depan."
"Oh, kamu udah tugas akhir?"
Aisha mengangguk.
"Iya. Sebenarnya sih aku udah punya tiga pilihan perusahaan. Sialnya, tiga perusahaan ini udah dipilih sama teman yang lain."
El Rumi lantas mengerutkan keningnya.
"Ini maksudnya kalian nggak boleh pilih perusahaan yang sama?"
Aisha mengangguk berulang kali.
"Iya."
"Kok syaratnya aneh gitu?"
"Dosennya emang nyebelin."
"Siapa? Pasti suami kamu, kan?"
"Nah, itu tau."
Keduanya sama-sama tertawa. Terlebih Aisha merasa dapat sekutu karena dari awal dirinya melihat El Rumi memang sering kali menujukkan sikap kesal kepada Aslan.
"Ini semua jadi repot karena nggak boleh pilih perusahaan yang sama. Sedang semua kandidat yang udah aku siapkan, udah terpilih semua sama teman yang lain. Makanya aku pusing. Mana waktunya juga mepet. Takutnya kirim lamaran sekarang, malah dapat jawaban di bulan berikutnya."
El Rumi mengangguk. Paham benar dengan apa yang Aisha pusingkan saat ini.
"Kalau nggak salah, kamu kuliah jurusan Arsitektur, kan?"
"Iya. Bener banget," angguk Aisha.
"Ya udah kalau gitu. Kamu magang di perusahaan aku aja, gimana?"
Aisha terkesiap. Memang nggak salah Tuhan kirimkan El Rumi sore ini. Pria itu mampu memberikan angin segar setelah tadi Aisha sempat merasa pening dan kalut atas apa yang terjadi pada dirinya.
"Serius? Ini kamu mau tolongin aku?"
El Rumi mengangguk berulang kali.
"1000 rius. Aku pastikan kamu bisa langsung kerja kapan aja."