Part 1

1090 Words
                                                                    PERNIKAHAN ITU SAKRAL “Yakin mau ngelanjutin perjodohan ini?” Kiara bertanya pada sosok yang kini masih tersenyum lebar di hadapannnya. Mereka baru saja berkenalan. Sejujurnya, Kiara dan lelaki itu sudah mengenal saat mereka duduk di bangku sekolah dasar. Kata papa lelaki itu adalah adik kelasnya dulu. berbeda tiga tahun. Saat sekolah menengah pertama, Kiara pindah dari Jakarta dan menetap di Bandung. Kini, di usia ketiga puluh, Kiara dipertemukan lagi dengan lelaki yang dikenalkan kembali oleh papa-nya itu. Kembali bertemu di Jakarta. Mereka bertemu secara sukarela, ya jelas memang pada dasarnya kedua orang tua lah yang merencanakan itu. Bahkan kedua keluarga besar ingin segera bertemu secara resmi. Namun, kedua orang yang akan di jodohkan ini menolak. Mereka harus bertemu secara intens. Hanya berdua. Kiara meminta lelaki itu bertemu di toko bunga yang ia kelola secara bersama dengan sahabat baiknya. Tentu saja, tidak bertemu di tempat bunga-bunga itu di jual. Mereka bertemu di sebuah ruangan pribadi di lantai atas. Ya ruangan bawah digunakan sebagai ruang penjualan aneka bunga. Sementara, di lantai atas, Kiara dan sahabtnya menjadikan ruangan itu sebagai ruang tempat pertemuan. Kadang dijadikan tempat mereka beristirahat. Ada sebuah ranjang, untuk melengkapi ruangan itu. Kiara memilih untuk duduk di sofa dekat pintu dan diahadapannya, lelaki dengan kemeja kerja itu tengah menyeruput kopi yang tadi di seduhkan Kiara. Lelaki asia itu sangat paham dnegan penampilannya. Wajah lelaki itu juga bersih. Gaya rambut yang tidak aneh, ya seperti lelaki kantoran. Tubuhnya  juga wangi. Kiara tahu, jika lelaki ini sangat pandai dalam merawat tubunya. Lelaki itu memang terlihat menarik dari segi fisik. Namun, itu tidak bisa dijadikan patokan dalam sebuah pernikahan. Lagipula, lelaki itu lebih muda tiga tahun darinya. Kiara belum yakin, apakah lelaki itu mampu menjadi kepala rumah tangga yang pas untuknya. Kiara tidak ingin menikah dengan sembarangan orang.  “Ya liat ntar, emang kamu mau nerima saya gitu aja, ya meskipun saya memang lumayan ganteng lah,” lelaki itu mulai bersuara. Ia sangat percaya diri akan apa yang dikatakannya itu.  “Nggak lah, emang saya anak SMA yang mau-maunya aja dijodohkan sama berondong kaya kamu,“ Kiara juga memperlihatkan keberaniannya. Ia bukan perempuan lemah atau perempuan yang mudah terbuai rayuan busuk para budaya.  “Good. Kamu perempuan cerdas, ya setidaknya pikiranmu tidak kuno, tapi pemikiran soal umur masih saja kuno,” lelaki ini sepemikiran dengan Kiara. Baguslah, jika dia tidak langsung menerima perjodohan ini.  “Ya saya memang menganggap perjodohan ini tidak harus dilaksanakan. Saya tidak berpikiran, jika saya tidak menyetujui ini maka akan durhaka karena saya menentang orang tua. Saya tidak berpikiran sempit, tetapi saya mau kamu dan saya sama-sama saling mengenal dulu, dan lihat nanti kita satu visi misi atau tidak, keputusan tetap ada di tangan kita,” jelas Kiara membuat lelaki itu kagum. Benar-benar perempuan yang di luar dugaannya.  “Sori soal ngomongin umur tadi, ya habis nggak nyangka kenapa papa bisa jodohin kita sih, padahal kamu lebih muda, dan ya dari segi tampang kamu oke, nggak tahu kalau dalemnya gimana,” lelaki itu masih terkejut dengan setiap kata yang keluar dari mulut perempuan di hadapannya. Benar-benar to the point banget.  “Oke tetapi saya emang ganteng, dan berarti kamu harus tahu luar dan dalamnya diri saya, oh iya please jangan bahas perbedaan umur, kuno banget, ” Kiara mengangguk. Lelaki itu ada benarnya juga. Ia harus mengenal lelaki ini secara intens. Matahari sudah tidak ada sejak tadi sore. Kini sudah pukul delapan malam. Lelaki itu datang pukul setengah delapan. Sepertinya habis pulang dari kantor dan langsung ke tempat Kiara. Ia datang membawa sebuket bunga. Ia tidak tahu saja bahwa Kiara adalah penjual aneka bunga. Lelaki itu datang saat Anna akan pulang. Ia sahabat Kiara sejak kuliah. Mereka memutuskan membuka toko bunga ini sejak lulus. Merintis toko bunga sekaligus menjadi seorang freelance.  “Oke sori, by the way kamu lulusan Melbourne?” Kiara mulai mengganti topik. Ia menyeruput kopi miliknya setelah mengutarakan pertanyaan itu. Lelaki itu terdiam saat Kiara menanyakan tentang Melbourne. Ia hanya mengangguk sebagai jawaban. Lelaki itu mengganti topik. Ia mulai membicarakan tentang toko bunga Kiara. Membicarakan aneka bunga yang di jual di toko. Membicarakan apa saja asal tidak berhubungan dengan Melbourne. Kiara bisa melihat dengan jelas, bahwa lelaki itu tidak suka membicarakan kehidupannya di Melbourne. “Kamu suka nonton film-film gemesin, ya soalnya kamu suka bunga dan pastinya suka liat film-film romansa bucin nan gemesin, kan?” spekulasi konyol keluar dari lelaki itu. Kiara hanya menyeringai.  “Lucu ya kamu, suka banget menilai hal-hal dengan sembarangan, ya saya memang suka nonton drama korea, bukan berarti saya b***k cinta dong,” lelaki itu mengangguk mendengar jawaban dari Kiara.  “Tetapi mudah baper ya?” goda lelaki itu. Ia menyeringai lebar. Membuat senyumnya terlihat begitu manis.  “Yang namanya perempuan, kebanyakan memang suka baper, ya bukan menilai secara gender sih, cuma faktanya kan kebanykan gitu,” Kiara menerangkan lagi, dan lelaki itu masihs saja tersenyum.  “Kamu senyum-senyum terus, naksir sama saya?” Kiara membuat lelaki itu sedikit tersenyum lebar.  “Ya untuk kesan pertama, saya suka,” lelaki itu mulai menggoda. Kiara tidak mudah digoda begitu saja. Mereka perlahan mulai membahas topik lain. Mereka membicarakan tentang kegemaran masing-masing. Kiara dengan mudahnya bercerita perihal ia yang suka menanam bunga sejak kecil. Kiara juga menyukai warna merah jambu. Tetapi, Kiara bukan perempuan yang mudah di rayu oleh buaya darat. Lelaki itu tertawa setelah mendengarkan cerita Kiara. Kini gilirannya yang bercerita. Ia mengatakan suka sekali dengan pantai. Artinya, bisa saja lelaki itu pandai berenang. Iya, karena tidak semua orang yang suka pantai pandai berenang, bukan? Kiara dan lelaki itu cukup nyambung dalam membicarakan sesuatu hal. Mereka saling mendengarkan dengan saksama secara serius. Melontarkan pertanyaan ketika yang lain sudah berhenti bicara. Meskipun, lelaki itu telihat sekali memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Tetapi, ternyata ia juga mampu mendengarkan ucapan Kiara dengan baik. Iya, lelaki itu tidak menyela kala Kiara berbicara. Atau berkata jujur perihal sikap lelaki itu, yang tidak Kiara sukai.  “Nih saya tanya sekali lagi, perjodohan ini mau dibatalkan atau bagaimana?” Kiara mulai memancing obrolan awal.  “Saya rasa, kita tidak bisa menyimpulkan hanya dalam waktu sehari, saya mau jalan dulu sama kamu, dan lihat apakah kita cocok atau tidak,” Kiara mengangguk. Pertanda ia setuju.  “Nah, sekarang ayo ikut ke rumah pribadi saya, biar lebih paham tentang saya,” gila. Ini sudah malam, dan mengapa lelaki itu memintanya datang ke rumahnya.  “Jangan berpikiran negatif, kalau saya jahatin kamu, tinggal lapor saja ke papa saya,” gurau lelaki itu. Kiara mengangguk pada akhirnya. Baiklah, lagi pula ia malas jika harus pulang ke rumah. Papa pasti banyak bertanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD