Part 2

1033 Words
                                                                       PERNIKAHAN ITU SAKRAL Bagi kebanyakan orang, mempunyai rumah pribadi di usia yang masih dianggap muda adalah sebuah pencapaian yang hebat. Kiara mengakui hal itu. Zain yang sudah membangun rumahnya, bahkan sebelum ia berkeluarga adalah salah satu bukti bahwa Zain adalah lelaki mapan. Ya, mapan dari segi finansial. Meskipun begitu, belum tentu Zain siap menikah. Karena, bagi Kiara sudah memiliki rumah atau pun belum, tidak menjamin seorang lelaki sudah siap menjadi kepala rumah tangga.  “Kamu bukan mau nyombongin diri kan?” tanya Kiara saat mereka masuk dalam rumah bergaya modern minimalis itu. Kiara menatap diding bercat putih tulang dengan beberapa lukisan yang membuat dinding tapak lebih hidup.  “Ya nggak lah, saya cuma pengen kamu tahu rumah saya, dan kalau bisa kamu masakin saya gitu, laper nih, “ Zain memegangi perutnya yang sedang keroncongan.  “Dih, baru kenal juga udah minta dimasakin, kamu nggak sungkan gitu?” cibir Kiara yang tetap melangkahkan kakinya. Rumah Zain tidak terlalau banyak perabotan hanya barang-barang yang penting saja. Bisa dibilang rumah gaya minimalis, yang saat ini sedang tren di kalangan anak muda.  “Ya nggak papa dong, kamu kan calon istri saya, ya kalau jadi sih…, “ Zain tersenyum lebar. Ia mempersilakan Kiara untuk duduk di sofa ruang tamu. Sofa hitam yang sangat empuk saat diduduki. Rumah Zain adalah salah satu repersentasi rumah impian kalangan muda. Setidaknya, Kiara juga sempat menginginkan memiliki rumah yang nyaman seperti rumah milik Zain. Rumah yang tidak terlalu mewah, namun tetap estetik. Wajar saja memang jika Zain memiliki rumah seperti ini, dia merupakan anak seorang CEO di salah satu perusahaan pangan terbesar di Indonesia. Kiara juga bisa melihat, jika Zain merupakan pekerja keras. Entah jatuhnya ambisius ataupun penuh semangat. Yang Kiara nilai adalah Zain orang yang akan mengerjakan tugasnya dengan sebaik mungkin. Buktinya ia sampai bisa memiliki rumah sendiri. Ya meskipun, latar belakang keluarga Zain merupakan salah satu keluarga konglomerat di Jakarta. “Apa pendapatmu, tentang perempuan yang tidak bisa masak?” Zain sedang berjalan menuju dapur. Hendak mengambilkan segelas air putih untuk Kiara. Lelaki itu menoleh. Lalu mengambil air terlebih dahulu. Duduk di sofa, menatap Kiara sekilas. Saatnya ia menjawab pertanyaan dari perempuan di hadapanya, yang sepertinya cukup kritis. Begitulah pikir Zain sebelum ia mengeluarkan kata-kata.  “Perempuan nggak bisa masak, ya sebenarnya nggak masalah juga sih. Tetapi kalau udah berkeluarga, si perempuan minimal harus bisa masak nasi sih. Bukannya menuntut ya, namun gini;  jika suaminya sedang sakit, jika asisten rumah tangga sedang tidak ada, dan jika sedang tidak bisa memesan makanan via ponsel, ya salah satu caranya harus bisa masak, “ penjelasan secara rinci keluar dari mulut Zain membuat Kiara mengangguk. Ia memahami pemikiran lelaki itu. Masyarakat memang seringnya menuntut perempuan untuk mengerti urusan dapur. Untuk selalu menjadi b***k para lelaki. Kiara sedikit tidak setuju akan hal itu. Namun, yang dikatakan oleh Zain ada benarnya juga. Bagaimanapun perempuan itu akan menjadi seorang ibu. Ibaratnya, seorang makmum si lelaki. Perempuan dan lelaki harus bisa saling mendukung. Contohnya kasus yang dikatakan Zain tadi. “Berarti lelaki juga harus bisa masak dong?” Kiara mulai senang dengan topik ini. Setidaknya, mereka memang harus mulai memabahas hal-hal yang berkaitan dengan perihal rumah tangga. “Hmm, harus sih aslinya, “ Zain menjawabnya sedikit ragu. Seolah tidak ingin mengatakan hal itu.  “Kenapa? Kalau kita nikah, kamu maunya saya terus yang masak?” Kiara mulai bertanya kembali. Kali ini seolah lebih menyudutkan. Padahal daritadi, Zain yang sering kuat dalam hal beropini. “Ya mau aja sih, cuma ya harus dibimbing gitu, “ balas Zain masih dengan nada penuh keraguan. “Oke deal, untungnya saya bisa masak, “ kali ini Zain tersenyum lebar. Seolah baru saja menemukan harta karun yang terpendam ribuan tahun. Kiara tahu. Menjalin kehidupan rumah tangga tidak akan mudah. Banyak hal yang harus ia pelajari. Banyak hal yang harus ia pahami. Harus menerima segala hal yang akan terjadi. Untuk itu, ia tidak mau sembarangan menikah. Ia tidak ingin menikah dengan lelaki yang hanya menuntutnya untuk terampil di dapur, juga kasur. Ia ingin menikah dengan lelaki yang mau saling mengerti. Kiara mau, suaminya juga bisa memasak. Setidaknya, mereka akan bergantian memasak. Saling bantu. Tetapi, ia juga tidak mau menuntut, juga tidak ingin dituntut. Mungkin terlalu rumit. Intinya, ia akan menikah dengan lelaki yang memiliki visi misi yang sama dengan dirinya. Zain pun begitu. Ia ingin memiliki istri yang cerdas, istri yang tidak hanya mementingkan dandan. Seorang istri yang tahu kewajibannya. Seorang istri yang bisa saling memahami. “Yaudah masak bareng yuk, “ Kiara mengajak Zain. Lelaki itu lebih antusias. Mereka berjalan beriringan menuju dapur, setelah Kiara meminum air putih yang tadi dibawakan oleh Zain. Sayangnya, di dapur Zain tidak terlalu banyak bahan makanan. Maka, jadilah keduanya hanya memasak nasi goreng. Untungnya ada nasi yang cukup, yang masih hangat di mejikom milik Zain. Telur, dan sosis masih tersimpan di kulkas. Bisa digunakan untuk bahan membuat nasi goreng. Bumbu dapur lainnya masih cukup. Dugaan Kiara memang benar, Zain jarang sekali memasak. Atau mungkin saja, yang memasak adalah asisten rumah tangga, yang datang setiap pagi sampai siang. Hanya datang untuk bersih-bersih, dan sesekali memaskkan Zain makanan. “Udah pernah masak?” tanya Kiara saat Zain mulai mengeluarkan telur dan sosis. “Pernah sih, tapi kayaknya nggak seenak masakan kamu,” mulai lagi. Zain pintar sekali menggoda. Kiara hanya mengangguk saja. Seolah tidak memapan dengan godaan Zain. Ia mulai fokus meracik bumbu dapur untuk membuat nasi goreng. Ada cabai, bawang merah, garam, dan bumbu lainnya. Zain mulai menggoda lagi, kala aroma bumbu itu menyatu. Kala sudah dimasukan ke wajah, aromanya semakin membuat perut Zain berbunyi. Ia tidak sabar memakannya. Zain menatap Kiara dengan kagum. Perempuan elegan. Perempuan cerdas. Bisa masak. Teguh pendirian. Senang berdiskusi. Cantik pula. Perempuan dewasa yang sangat paket lengkap, istri-able sekali. Pikir Zain saat memandangi Kiara yang tengah memasak nasi goreng. “Sudah naksir saya?” Kini giliran Kiara yang menggoda Zain. Lelaki itu hanya tersenyum membalas ucapan Kiara. Nasi goreng ala Kiara, dengan aroma nikmat tengah terhidang di piring. Sayangnya, ponsel milik Zain berbunyi. Ia terpaksa meninggalkan Kiara. Membiarkan perempuan itu makan sendirian. Membirakan perempuan itu bertanya-tanya, kemanakah Zain pergi? Kiara tidak menyangka, jika Zain pergi begitu saja. Ia sempat berpikir, bahwa mereka akan berdiskusi sambil menikmati nasi goreng yang telai ia buat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD