Lamaran Dadakan

1300 Words
Natla: Lamaran Dadakan "Gue paling males disuguhi wajah cemberut kayak gini." Fano mengoceh dari atas motor bebeknya. Cowok itu mengangsurkan sebuah helm ke gue. "Nggak usah bacot," Gue membalasnya sambil memukul bahu Fano. "Lo kalau nggak mau jadi tempe, mending diem!" Fano menyengir lebar, kemudian membungkam bibirnya menggunakan tangan kanannya. Gue naik ke atas motor Fano, kembali menepuk bahunya sebagai isyarat bahwa gue udah duduk manis di belakangnya dan nggak lupa memakai helm butut yang warnanya aja udah nggak jelas. Entah item, entah abu-abu. "Helm lo pengin gue buang, sumpah!" Gue mengoceh di belakang Fano. "Helm lo yang biasa dipake Alenta mana sih? Kenapa bawa ini?" omel gue sambil mengetuk-ngetuk helm yang gue pakai. "Itu mah helm khusus buat Alenta!" sungut Fano, menolehkan kepalanya ke belakang sekilas. "Lo emang definisi temen nggak punya ahlak, La! Udah maksa minta dijemput, masih aja protes perkara helm!" Motor Fano berhenti saat lampu berubah menjadi merah. Cuacanya panas, jalanan juga penuh sama kendaraan di kanan di kiri sampai ke belakang. Kebanyakan sih pengendara ojek online. "Helm-nya bau, tahu!" Gue masih nggak mau berhenti mengoceh. "Lepas aja anjir," balas Fano kesal. "Tapi kalau sampai kena tilang di jalan, gue kasih lo ke Pak Polisi." Gue mendengus sebal. Fano ini emang teman yang mulutnya paling kurang ajar! Kecuali sama Alenta, Fano selalu ngomong ceplas-ceplos sama gue, entah Davian mau pun Rindu. "Fan, gue laper." "Ya makan, La!" "Makan dulu lah! Mampir warung atau tempat makan di mana gitu. Bakso deh, bakso!" Fano lagi-lagi menoleh. "Lo yang traktir?" "Lo lah!" Fano berdecak, "Lo yang laper, gue yang bayar! Gimana ceritanya?" Gue menepuk-nepuk bahunya lumayan kencang. "Ya udah! Ya udah buruan! Gue yang traktir hari ini!" Bersamaan gue mengiakan permintaan Fano supaya gue meneraktir cowok itu, lampu berubah warna menjadi hijau. Gue melirik Fano dari kaca spion, cowok pecinta warna merah muda tersebut cekikikan, merasa menang, karena biasanya dia yang selalu berakhir meneraktir gue. *** Acara lamaran semalam benar-benar menghantui hidup gue dimulai dari sekarang. Gini loh, gue nggak habis pikir aja kenapa Raja menganggukkan kepalanya sewaktu diminta pendapatnya soal melamar gue semalam. Mengingat betapa buruknya kenangan di masa lalu, gue pikir si Raja bakalan menolak lamaran dadakan mamanya yang ditunjukkan ke gue. Dia menolak gue mati-matian, sampai mengolok gue sebagai orang bodoh. Dia nggak ingat kata-kata nyelekitnya hah? Gue sebagai korban dari mulut jahanamnya, nggak bisa lupa sampai sekarang. "Saya nggak suka orang bodoh." Akh! Kalimat itu nggak pernah mau pergi! Percaya nggak percaya, sampai pernah kebawa ke mimpi saking sakit hatinya gue! Berani-beraninya dia mengolok gue sebagai orang bodoh! Mami sama Papi gue aja nggak pernah bilang gue bodoh, biarpun emang fakta. Sebodoh apa pun gue, sejelek apa pun nilai yang pernah gue dapat selama sekolah, Mami sama Papi nggak pernah marahin gue, nggak pernah menekan gue untuk jadi anak yang pintar macam Davian! Dan satu lagi, Mami dan Papi gue nggak pernah mengolok gue bodoh! "Acara lamaran Kak Safa semalam gimana?" tanya Fano, menarik kursi plastik di seberang gue. Si curut! Malah membahas acara lamaran lagi! Suasana hati gue sekarang campur aduk bangetlah. Tapi paling dominan perasaan jengkel, sebal, gondok setengah mampus! Masih kebayang banget sama jawaban 'terserah', setelah itu menganggukkan kepala seolah dia setuju, dia suka, tapi faktanya, laki-laki itu pernah menolak gue! "Nggak usah bahas-bahas acara lamaranlah!" sahut gue, membuka tutup wadah sambal lalu mengaduk-aduknya. Dua gelas es teh diletakkan di atas meja sama si penjual. Nggak lama, kurang dari lima menit setelanya si penjual datang membawa dua mangkuk bakso. "Emang kenapa?" tanya Fano, menarik mangkuk baksonya mendekat. "Wajar gue tanya. Kan, gue kenal sama Kak Safa. Lo nggak tahu seberapa penasarannya yang melamar Kak Safa hah?" "Banyak bacot ah lo." Gue melirik Fano sengit. Tujuan gue mengajaknya makan bakso, dalam rangka menghilangkan stress. Setiap kali gue sedang kesal, gue butuh penyegaran lewat makanan. Apa aja deh, asal yang berkuah dan pedas, ditambah segelas besar es teh paling manis! Fano menuang saus tomat dan kecap ke dalam baksonya. "Serius. Gimana tampang calon suami Kak Safa? Ganteng beneran kayak kata Oma, nggak?" "Ganteng." Gue menjawab pendek. "Kerjanya apaan?" tanya Fano lagi. "Kepo!" sahut gue geram. Fano mendengus sebelum menyuapkan potongan tahu goreng beserta kuahnya ke dalam mulut. Tadinya suasana hati gue nggak seburuk ini setelah melihat Fano menganggukkan kepalanya. Saat sampai di warung bakso pun, apa lagi mencium aroma wangi kuahnya, udah lumayan mendinganlah, bakal jadi obat banget semangkuk bakso pedas, ditambah saus tomat, kecap, perasan jeruk nipis dan sambal bersendok-sendok. Tapi sayangnya, suasana hati gue jauh lebih buruk karena mulut keponya Fano! Harus banget dia membahas acara lamaran Kak Safa—dan—akh! Nggak! Orang tua Raja nggak akan serius dong? "Semalem gue udah tanya ke Davian sih." "Soal?" Gue menyuap sebiji bakso ukuran sedang ke dalam mulut malas-malasan. Fano menambahkan kecap ke baksonya, menyeruput kuahnya langsung dari mangkuk. "Lamaran Kak Safa. Abis, gue penasaran banget." Fano meletakkan mangkuknya ke meja. "Davian bilang, bukan cuma Kak Safa yang dilamar semalem." Nyaris aja gue mati kesedak karena sebiji bakso yang mau gue telan. Buru-buru gue menyambar gelas es teh dan meneguknya kayak orang kehausan. Fano tertawa sambil mengunyah bakso di dalam mulutnya. Pada detik itu juga, dia ikut kesedak kuah bakso dan batuk-batuk. Saatnya bilang, mampus! "Tapi seriusan, La." Fano menatap gue sangat serius. "Davian bilang lo juga dilamar orang. Haha! Ya nggak mungkinlah! Gue mikirnya Davian yang melamar Rindu! Tapi kayaknya nggak, deh! Kan, Mami sama Papi lo masih di Semarang." Davian emang sialan! Nggak ada beruntung-beruntungnya gue punya saudara kembar kayak dia! Fano tertawa keras, dia bilang, nggak mungkin banget gue dilamar orang. Di mata Fano sama Davian, gue ini cowok! Bukan cewek, cuma karena dari dulu gue tomboy! Gue punya hobi kayak anak laki-laki. Tingkahnya pun lebih macho-an gue daripada Fano! Bentar, tunggu aja cong. Gue biarin dulu aja Fano ketawa sampai puas. Kalau perlu sampai kencing-kencing. Gue melihat Fano mengangkat mangkuknya, bersiap menyeruput kuah yang tersisa di mangkuknya. "Emang bener kok." "Hmm?" Fano menjauhkan mangkuknya. Bibir Fano sampai ke pinggiran mangkuk. "Gue juga dilamar semalem. Dadakan sih, tapi masih nunggu Mami sama Papi pulang." "Halu!" "Halu mata lo," umpat gue. "Coba lo tanya Pak Raja." "Hah? Kok, jadi Pak Raja?" Gue mengangkat kedua bahu. "Pak Raja yang semalem melamar gue!" BYUUUUR! "Nggak usah b*****t ya, Fano! Bau jigong lo anjir!" Yah, senjata makan tuan dong! Maunya bikin Fano kesedak sampai batuk-batuk. Tapi yang ada, gue malah disembur sama es teh dari dalam mulutnya. Kena muka gue, anjir! "Lo bilang apa tadi?" Wajah Fano kelihatan kayak orang b**o. Bersamaan pertanyaan Fano, ponsel gue berdering dalam tas. Gue menarik tisu dari tempatnya lalu merogoh tas asal-asalan. "Halo, Mi?" Ternyata Mami gue yang telepon dong! "Mami kapan pulang?" "Beneran kamu dilamar orang semalem, La?" Mi, ya ampun. Hampir dua minggu nggak ketemu. Tanya dulu kabar anaknya kek. Ini telepon gue cuma mau nanya lamaran semalam? Orang-orang kenapa sih. Tadi Fano, sekarang Mami. Nggak sekalian Papi juga? "Oma udah cerita. Orang tuanya Raja bahkan telepon Papi kamu." Ya Tuhan, jahat banget sama gue, sih, ah! "Hoax, Mi!" seru gue. Mami berdecak di telepon. "Hoax gimana? Kalau sampai orang tua laki-lakinya telepon Mami sama Papi, itu tandanya serius, La! Kamu gimana sih?" "Mi..." Beneran deh ya, gue mau nangis aja rasanya. "Papi kamu sama papanya Raja udah ngatur waktu kapan mau ketemuan." Gue memijat kening. "Buat apa sih, Mi? Nggak ah! Ngapain!" "Ya buat ngomong lamaran resminya dong. Kan, semalem baru ngomong ke Oma doang. Ke Mami sama Papi belum! Emang kamu anak kambing apa? Main lamar-lamar nggak minta izin sama orang tua sendiri!" Lemas gue sekarang. Beneran nangis nih gue sebentar lagi. "Mami nggak mau kamu jadi perawan tua gara-gara nolak lamaran pertama yang dateng ya, La." Ajaran Oma pasti, nih. "Mungkin lusa Mami sama Papi pulang. Terus besoknya siap-siap ketemu keluarganya Raja. Pas hari itu, kamu dilarang keluyuran ya!"  To be continue--- 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD