Dua Lamaran

1286 Words
Natla: Dua Lamaran Ah, sial. Gue nggak berhenti mengumpat dalam hati. Gue malu banget, sumpah! Karena kemakan sama nafsu sendiri pengin balas dendam ke Raja, gue berakhir mempermalukan diri sendiri di depan laki-laki itu dan mamanya. Tadinya gue pikir Pak Raja calon suaminya Kak Safa. Ya gimana nggak kepikiran gitu, sih. Yang datang ke rumah cuma Pak Raja sama mamanya. Pakaiannya rapi, pake baju batik, ganteng sekaligus wangi. Gimana gue nggak mikir kalau orang yang mau melamar Kak Safa itu dia. Dari segi umur pun, emang udah saatnya Pak Raja menikah. Sehabis mempermalukan diri sendiri di depan pasangan Ibu dan anak tersebut, gue baru tahu kalau calon suami Kak Safa, itu kakaknya si Raja. Namanya Levi. Dan sialnya, laki-laki itu datang belakangan, padahal yang lamaran si Levi-Levi itu. Udahlah, gue melipir aja. Memberi jalan kepada keluar Raja masuk ke dalam sembari menyengir sebagai pengalihan rasa malu akibat ulah gue sendiri. Lima belas menit Raja dan kedua orang tuanya duduk di ruang tamu bersama Oma, Om Lando dan Tante Langen, yang namanya Levi baru datang. Masih memakai pakaian kantor, lengan bajunya digulung sampai ke siku, dan rambut yang agak berantakan. Akan tetapi, masih ganteng banget, ya Tuhan. Kak Safa yang tadinya ogah-ogahan dilamar, sekarang lagi mangap seolah nggak percaya ternyata laki-laki yang melamarnya seganteng itu. "Maaf Tante, Om, Oma," Levi menyalami para orang tua. "Ganteng banget." Rindu menjawil lengan gue. "Lebih ganteng dari Pak Raja." Tanpa sadar gue mengangguk. Gue setuju sama apa yang dibilang Rindu bukan karena pernah ditolak sama Raja ya. Calon suami Kak Safa emang lebih ganteng dari Raja, lebih sopan, lebih manusiawi ketimbang Darizki Raja yang kelakuannya kayak dajal! "Jangan berisik," tegur Davian di tengah-tengah gue dan Rindu. Kami duduk bertiga di kursi seberang, mendengarkan para orang tua mengobrol sekaligus membahas acara pernikahan Kak Safa dan Levi. Gue melirik Kak Safa, kemudian mendengus, setengah nyinyir dalam hati. Kakak sepupu gue nih, nggak ingat kemarin nangis-nangis ya? Bikin orang-orang rumah b***k karena rengekkannya ke Tante Langen. Begitu lihat orangnya, mangap deh, untung air liurnya nggak netes. Hih! "Gimana, Fa? Udah inget belum siapa Levi?" Oma menyenggol lengan Kak Safa. Kak Safa mengusap tengkuknya sembari tersenyum malu-malu. "Kak Levi, kan?" tanya Kak Safa, suaranya terdengar ragu-ragu. Orang-orang di sekitar jadi memfokuskan diri menatap Kak Safa. Termasuk gue juga. "Mereka saling kenal kayaknya, ya?" bisik Rindu di telinga gue. "Kayaknya gitu," sahut gue. Gue mendengar cerita dari versi Levi di tengah-tengah acara lamaran. Laki-laki itu mengangguk setelah Kak Safa mengenali siapa. Levi mengatakan, kalau dia dulunya adalah dosen di kampus Kak Safa. Udah lama memerhatikan Kakak sepupu gue tapi belum pernah mengatakan secara langsung kalau Levi tertarik ke Kak Safa dikarenakan status mereka. Levi dosennya, sedangkan Kak Safa adalah mahasiswinya. Jelas aja kalau terdengar ke telinga orang-orang kampus akan menimbulian gosip serta asumsi-asumsi kurang enak nantinya. Maka dari itu, Levi memilih memendamnya dulu sampai Kak Safa lulus. Kadang gue heran, kenapa kisah cinta orang pada uwu-uwu ya? Sedangkan gue, belum apa-apa udah tertolak! Uwu nggak, makan hati iya. "Apa?" Secara kurang ajar, bibir gue bergerak tanpa suara. Dagu yang terangkat, dan balas menatap Raja yang ternyata sedang melirik gue. Laki-laki itu menautkan kedua alis tebalnya. Memandangi gue selama beberapa detik lalu melengos seolah nggak sudi melihat wajah gue. Sampai detik ini gue nggak pernah lupa kejadian sewaktu masih SMA. Saat gue masih jadi muridnya, dan Raja itu guru di sekolah. Nggak tahu kesurupan apa, tanpa gue sadari, gue menaruh perasaan ke laki-laki itu. Padahal sebelumnya gue benci sama si guru BK ini. Mulutnya selalu nyinyir, hobi mengeluarkan kata-kata pedas. Nggak peduli yang lagi diajak ngomong ini anak perempuan. "Saya nggak suka orang bodoh." Walaupun Raja nggak menyertakan nama gue pada kalimatnya, tapi dari sana udah menjelaskan dia menghina gue. Sumpah ya, gue sakit hati banget saat itu! "Jadi gimana? Setuju untuk tanggal pernikahan Safa dan Levi?" papanya Levi menanyai orang-orang di sana. Om Lando dan Tante Langen mengangguk-angguk. "Iya, kami setuju." Mama dan Papa Levi mengucap syukur sembari menepuk paha anak sulungnya. Dari wajah Levi dan kedua orang tuanya kayak lega banget lamarannya diterima dan tanggal pernikahan yang diajukan disetujui sama Om Lando dan Tante Langen sebagai orang tua calon menantu mereka. Oma dan Tante Langen mempersilakan calon besannya mencicipi jamuan di atas meja dengan ramah dan hangat. Kedua orang tua Levi pun nggak kalah semangat ketika diminta mencicipi jamuan yang udah disediakan. Gue melipat kedua tangan di depan d**a sembari melihat orang-orang menggigit kue mau pun menyesap tehnya. Saat pandangam gue terarah nggak sengaja ke Raja, laki-laki itu juga sedang menatap ke gue. Detik itu juga gue melengos, balas membuang wajah saat laki-laki itu lagi melirik gue. Dih, apaan, lirik-lirik ntar naksir gue, lagi! "Mereka cucu-cucunya Ibu juga, ya?" tanya mamanya Raja ke Oma. Mamanya Raja tersenyum ramah ke gue, Rindu sama Davian. Nggak tahu kenapa ya, gue jadi kikuk sendiri karena masalah tadi. Iya, waktu gue ditawari buat jadi menantunya juga. Dan gue bilang iya-iya aja karena nggak tahunya ternyata anak lain yang dimaksud Tante, itu Raja. Gue kesannya masih ngarep banget di mata Raja! "Iya," Oma tertawa sok jaim. Padahal biasanya ketawa paling kencang selama ini. "Yang ini Rindu, adiknya Safa." Satu jari Oma menunjuk Rindu. Lalu, ganti menunjuk gue sama Davian. "Ini si kembar. Davian sama Natla." "Ja, gimana? Mau sekalian nggak?" tanya si Tante, menjawil bahu Raja. Gue pura-pura lihat ke arah lain. Tiba-tiba perasaan gue nggak enak, nih. Masalahnya Mama sama papanya Raja sedang memerhatikan gue. Levi juga ikut memerhatikan setelah mamanya berbisik di telinga laki-laki itu. "Natla udah punya pacar?" Mamanya Raja tiba-tiba melemparkan pertanyaan ke gue. "Boro-boro pacar, gebetan aja nggak punya!" sahut Oma sambil cekikikan. Oma, ih! Padahal gue mau bilang udah! "Oh, bagus dong!" Mamanya Raja bereaksi menyebalkan. Orang jomlo malah dibilang bagus. Harusnya prihatin dong, Tante! "Oh ya, orang tuanya Natla yang mana ya, Bu? Saya lihat cuma ada Mas Lando sama Mbak Langen aja." Wanita itu meletakkan cangkir tehnya ke atas meja. "Mami sama papinya Natla lagi di Semarang. Itu, neneknya Natla yang di sana sakit. Jadi maaf, mereka nggak bisa ikut hadir di sini." Acara lamarannya kapan selesai sih? Gue udah nggak betah, seriusan! Mau cabut, tapi ntar dibilang nggak sopan. "Natla sekarang umurnya berapa?" Sekarang, gantian papanya Raja yang nanya. Kok sialan jantung gue ya? Sekarang jantung gue kayak lagi diskoan. "Dua puluh tiga, Om," jawab gue. Apa-apaan pake nanya soal umur gue? Buat apa sih? "Kapan bisa ketemu sama Mami dan papinya Natla ya, Bu?" Oma yang mendapat pertanyaan dari mamanya Raja, jadi kelihatan bingung. Mungkin aja Oma merasa aneh karena orang tua Levi tahu-tahu menanyakan keberadaan orang tua gue. "Kenapa ya, Mbak?" sahut Tante Langen, seolah mewakili pertanyaan di kepala gue. "Bukan cuma Safa aja yang kami lamar malam ini sih," Mamanya ketawa-ketiwi kayak nggak punya beban. "Maunya melamar Natla juga." Kalimat ajaib si Tante sukses bikin orang-orang di sekitar gue melongo. Rindu yang tadinya sedang menelan rotinya tiba-tiba terbatuk lalu menyambar segelas minuman dari atas meja. Tante Langen sama Om Lando memasang ekspresi antara percaya sama nggak. Kalau Oma? Jangan ditanya, sekarang lagi mangap-mangap kayak ikan yang barusan dikeluarin dari akuarium. "Kata Oma, lamaran pertama yang dateng nggak boleh ditolak." Sialan! Kata-kata Davian terngiang-ngiang di telinga gue sekarang. Kalau gue dilamar beneran, pasti Oma nggak akan menolak! Oh, tapi, Raja nggak mungkin setuju dong! Iya, kan? Jadi gue nggak perlu panik. Haha. "Kamu mau kan, Ja?" tanya si Tante ke anak bungsunya. Yaitu, Raja. Raja melirik gue sekilas. Bilang nggak, ayo dong. Pasti jawabannya nggak, kan? Jelas-jelas dia nolak gue dulu. "Terserah." Jawabannya cuma, "Terserah." Jawaban macam apa itu? Berasa kayak di tengah-tengah nggak, sih? "Mau berarti ya?" Berbeda dari tanggapan gue, si Tante kelihatan dua kali sumringah sekarang. Tanpa gue duga-duga, Raja menganggukkan kepalanya. Sialan!   To be continue--- 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD