Kok, Dia Sih?

1241 Words
Natla: Kok Dia, Sih? "Safa! Udah dong nangisnya!" "Make up kamu bisa rusah nih!" "Baru mau dilamar udah drama. Gimana kalau mau ijab nanti?" Kakak sepupu gue teriak, "Bunda! Oma ngomelin Safa terus, ih!" Jangan kaget. Jangan ikutan heboh cuma karena mendengar suara teriakan di sana-sini, karena emang beginilah orang-orang dari keluarga besar gue. Oma, Mami, dan Tante Langen, adalah para tetua yang kalau ngomong, bisa satu kampung yang dengar! Omong-omong, malam ini ada acara di rumah Oma. Safa, Kakak sepupu gue mau dilamar orang sebentar lagi. Ya, kira-kira kurang dari setengah jam lagi keluarga calon suaminya datang ke rumah. Sebenarnya, Kak Safa nggak mau dinikahkan. Dengan berbagai cara udah Kak Safa lakukan untuk membatalkan acara lamaran malam ini. Dari mulai sakit gigi lah, mules lah, nyeri karena PMS lah, padahal belum tanggalnya. Berhubung Tante Langen selalu tahu tanggal berapa anak tertuanya datang bulan, ya nggak percaya dong! Jelas, ketahuan banget kalau Kak Safa cuma bohongan. Kalau kalian kira Kak Sofa dijodohkan, nyatanya nggak! Gimana nyebutnya ya. Jadi kayak gini loh, ada orang yang suka sama Kak Safa, dan orang itu langsung ke rumah buat ketemu Oma, Tante Langen sama Om Lando tanpa sepengetahuan Kak Safa. Siang itu, Kak Safa lagi di tempat kerja. Makanya dia nggak tahu ada orang datang ke rumah buat melamar Kak Safa. Nggak dijelaskan bagaimana sosok laki-laki yang melamar Kak Safa. Oma Sandra cuma bilang, kalau Kak Safa nggak perlu khawatir soal rupa. Dijamin, laki-laki yang melamarnya bukanlah laki-laki tua berbadan gendut, kumisan, dan perutnya buncit! Nggak, dong! Kak Safa termasuk cucu kesayangan Om sebelum Davian. Jadi bisa dipastikan kalau laki-laki ini masuk dalam kategori almost perfect, versinya Om Sandra. "Kenapa Om sama Om Lando setuju nerima lamaran orang itu?" tanya gue, lebih kepada diri sendiri. Di samping gue, Rindu mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju atas pertanyaan gue. Ya aneh dong, Oma sama yang lain belum pernah ketemu sama laki-laki ini. Orang itu datang ke rumah dan minta izin pengin menikahi Kak Safa. "Kata Oma sih, nggak baik nolak lamaran pertama yang dateng." Saudara kembar gue, Davian, menyahut di sofa seberang. "Maksudnya gimana sih?" sahut Rindu nggak kalah penasaran. "Iya, gimana?" tambah gue. "Ya, Oma bilang ke gue. Menurut orang zaman dulu. Kalau ada anak gadis yang dilamar pertama kali sama laki-laki, nggak boleh ditolak!" Davian menatap gue sama Rindu bergantian. "Kenapa gitu?" tanya Rindu, memasang tampang polos. Davian menyahut, "Pamali katanya!" Gue melengos, memandang ke arah lain. Ada-ada ajalah orang zaman dulu. Masa sama begituan percaya sih? Ya kalau orang yang melamar itu orang baik-baik. Kalau ada niatan jahat, gimana? "Oma nggak mungkin sembarangan setuju." Davian melirik gue, seolah tahu apa yang sedang gue pikirin. "Buat cucu kesayangannya, Oma nggak bakalan coba-coba!" Dih, ngiklan dia! "Rindu! Davian!" panggil Tante Langen sambil wara-wiri. "Ke sini bentar dong!" Davian beranjak dari tempat duduknya. "Iya, Tante. Bentar." Rindu menaruh bantalan sofa. "Iya, Bunda." Davian sama Rindu udah jalan ke arah Tante Langen. Tinggal gue sendirian di sofa, memandangi orang-orang yang wara-wiri. Heran deh ya, tadi ngapain aja sih, sampai sekarang masih sibuk. Gue harus ngapain ini? Yang lain sibuk, gue malah bengong kayak anak kucing lagi kelaperan. "Natla!" Om memanggil gue. Yes! Gue ada kerjaan juga. Jadi nggak perlu pelanga-pelongo dong. "Heh, cepetan! Itu bel udah bunyi tang ting tung! Aduh, kalian ngapain aja sih?" omel Oma, gue berdiri di belakang sembari menggelengkan kepala. "La, tolong bukain pintunya ya. Oma mau ke kamar atas, manggil Safa dulu!" Gue cuma kebagian buka pintu dong! Oma lari-lari dari anak tangga menuju ke kamar atas. Yakin deh, pas sampai ke kamar dan melihat Kak Safa masih nangis-nangis, Kak Safa bakalan diomeli abis-abisan sama Oma. Kadang gue heran sih, kenapa Oma gue masih aja kuat buat teriak-teriak. Apa nggak sesak napas, ya? Gue jalan ke pintu utama. Jalan santai aja sih. Nggak perlu ikutan buru-buru kayak lainnya. Toh, yang mau lamaran Kak Safa kok! Sampai di pintu, gue nggak langsung membukanya. Bisa-bisanya gue membayangkan bagaimana rupa calon suaminya Kak Safa. Ganteng, nggak? Jangan-jangan Oma cuma bohongan aja bilang ganteng supaya Kak Safa mau dinikahin, nih! "Selamat mal—" Serius, tadinya gue cuma mau basa-basi pas buka pintu. Akan tetapi, gue dikejutkan sama sosok laki-laki tinggi, berkemeja batik, sedang balas menatap gue. "Natla." Jangan harap orang itu ikutan kaget kayak gue. Karena nyatanya nggak. Laki-laki itu berdiri tegak, menatap gue dengan tatapan risi. Dih, situ siapa emang? "Oh, jadi Pak Raja calon suaminya Kak Safa?" Gue menunjuknya tanpa takut. "Wah, sebentar lagi kita bakal jadi saudara ya!" Darizki Raja, guru BK zaman SMA gue dulu kelihatan bingung. Dahinya sampai berkerut-kerut saking bingungnya. Halah, sok bloon! Bloon beneran, mampus lau! "Raja!" seru seorang wanita dari belakang laki-laki itu. "Kamu udah telepon Levi belum? Aduh! Levi ke mana, sih!" "Levi lagi di jalan, Ma." Raja menolehkan kepalanya. "Bentar lagi pasti sampai kok." Gue memerhatikan Raja dan wanita tersebut. Apa wanita di depan gue ini mamanya Darizki Raja? Oh, berarti calon mertua Kak Safa dong ya. "Papa kamu lama banget sih! Di mobil ngapain aja?" omel si wanita. Kayaknya sih, beneran mamanya Raja nih. Nggak sopan banget ini mantan guru, berdiri di pintu dan membiarkan gue mendengarkan obrolannya sama si Mama. Pegel dong kaki gue. Mau gue tegur, tapi ada orang tua. Ntar gue dikatain nggak sopan lagi. Udahlah, dulu gue diejek bodoh, abis itu dilabeli sebagai orang yang nggak punya sopan! "Loh, ini siapa? Bukan Safa kan, ya?" Mamanya Raja akhirnya menyadari keberadaan gue. "Bukan. Dia, Natla." Raja menyahut, tapi tatapannya jelas kayak orang yang nggak sudi. Wanita di samping Raja mengangguk-angguk. "Adiknya Safa?" Gue menggeleng. "Bukan Tante. Saya sepupunya Kak Safa." "Oh." Mamanya Raja tersenyum ramah sembari mengelus rambut panjang gue. "Cantik ya. Cocok kayaknya sama anak saya." "Ya, Tante?" Mendadak gue blank dong. "Sama anak saya satunya, mau?" tawarnya santai, seolah sedang menawari gue makanan enak. Anaknya yang mana lagi nih? Di depan gue cuma ada Raja doang. Apa si Tante punya anak lagi, ya? Wah! Kayaknya ide bagus, nih! Kali-kali aja si Tante punya anak ganteng selain Raja. Bisa gue jadiin alat balas dendam kayaknya. Gue pura-pura ketawa sok asyik di depan Tante. "Anak Tante, ganteng nggak?" Si Tante ikut tertawa. Menepuk bahu gue, "Ganteng dong! Calon suaminya Safa aja ganteng! Apa lagi anak Tante yang lainnya." Gue melirik Raja, dia pun melirik ke gue dong. Kayaknya si Raja bakalan tambah stress kalau lihat gue jadi iparnya juga. Oh, haha. Bagus. Acara balas dendam gue bakal berjalan mulus. "Mau deh, Tante," jawab gue, setengah tertawa, setengah pengin muntah sama kelakuan sendiri. Kedua mata si Tante langsung berbinar. Dan si Raja, tampak melotot ke arah gue. Dih, bodo amat! Gue mah udah nggak peduli, hih! "Ja, dia mau nih!" Raja disenggol lengannya sama si Tante. "Gimana? Kamu mau barengan aja lamarannya?" "Ma." Raja menatap mamanya kesal. "Berhenti jodoh-jodohin aku. Apa lagi sama anak kecil kayak Natla." Sebentar. Kan, gue mau dijadiin sama saudaranya Raja. Kenapa yang ditanya si Raja? Terus, kenapa juga laki-laki itu marah karena dijodoh-jodohkan sama mamanya, seolah merujuk ke gue. "Tante," Sebelum gue mati penasaran, gue basa-basi nih. "Mana anaknya Tante yang mau dikenalin sama aku, nih?" Jijik, sialan. Agresif banget lah kesannya. "Loh, ini! Di depan kamu!" Si Tante nggak pake aba-aba, main dorong-dorong bahunya Raja. "Ini Raja, anak saya. Adiknya Levi, calon suaminya Safa." Gue mendelikkan mata nggak percaya. "Gimana, Tan?" Raja menatap gue tajam. Sedangkan yang gue lakukan cuma menatap laki-laki jangkung itu sesekali mengerjapkan mata mirip orang linglung. Loh, kok, jadi Raja sih?!  To be continue--- 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD