setitik noda - 1

1522 Words
Hujan mengguyur kota di pagi hari. Mendung yang menggantung semalaman baru memunculkan airmata sebelum pagi menjelang. Tidak memberi kesempatan matahari untuk singgah atau sekadar menyapa. Membiarkan penghuni bumi bermalas-malasan di ranjang, berguling sana-sini mencari posisi ternyaman. Sama halnya dengan Bianca. Ranjang mungilnya tidak lagi berbentuk rapi seperti ranjang seorang putri. Dirinya berputar, nyaris seratus delapan puluh derajat hanya untuk memeluk guling, mencari boneka, dan kembali tidur. Sampai suara alarm menyentaknya kasar, membangunkannya dari bunga tidur yang tak berbentuk nyata. Rasa malas memuncak layaknya bukit di ujung kota. Saat Bianca membuka mata, pemandangan langit yang gelap bersama temaramnya lampu tidur di kamar sebagai teman. Kemajuan kafe yang ia bangun bersama sahabatnya berhasil membawanya pada anak tangga lain. Dari semula gubuk penuh kecoa dan nyamuk yang tidak nyaman, berubah menjadi rumah sewa mungil dengan si pemilik perempuan renta yang menunggu waktu untuk pergi selamanya. Memberikan Bianca kemurahan hati karena mau mengurusnya di masa-masa sulit saat tidak ada satu pun yang mengulurkan tangan. Ia melakukannya tanpa pamrih. Tetapi perempuan itu sangat baik. Bianca tersanjung, terharu sekaligus nerasa berterima kasih. Ia mendapatkan tempat yang layak untuk berteduh dari panas dan hujan. Melenturkan seluruh badannya yang kaku, Bianca menghimpun semua tekadnya untuk bangun. Barangkali ia butuh waktu tidur satu jam lagi, dan jam-jam berikutnya akan terbuang sia-sia. Ia tidak boleh menjadi pemalas. Bergegas bangun untuk mandi setelah memasak nasi. Mencari kemeja yang pantas meski usianya tidak lagi muda. Warna abu-abunya telah memudar. Tapi apa pun itu, Bianca menyukai semua pakaian yang tertidur di lemari kecilnya. "Bibi Ama." Bianca mengetuk pintu, lekas membukanya saat tidak sambutan seperti biasa. Saat dia melihat ke dalam, menatap ruangan yang sepi dan lampu-lampu belum dimatikan. Apa pemilik rumahnya masih tertidur? Saat Bianca masuk, bunyi tikus menghantam panci membuatnya terlonjak. Ada bekas peralatan makan di wastafel yang belum tercuci. Bianca bergegas mencucinya, membereskan dapur dan menengok pemilik ramah yang berbaik hati memberikannya tempat tinggal tepat di sebelah rumah. "Bibi Ama?" "Bianca?" "Apa yang terjadi?" Bianca bergerak mendekat, rautnya pucat mendapati perempuan renta itu tersengal. Seakan tidak mampu bernapas lagi. "Kita harus ke rumah sakit sekarang. Aku akan memanggil taksi." "Bianca, tidak apa. Aku baik-baik saja." Kepala Bianca menggeleng. Tanpa suara ia meneleng cemas, terus menggenggam tangan perempuan malang itu dengan raut gundah. "Sebentar. Kau harus bertahan." "Obatku habis. Aku hanya perlu obatku." Bianca menunduk cemas. Saat supir taksi langganan Bibi Ama akan tiba dalam waktu kurang dari lima menit, Bianca baru bisa bernapas lega. Ia merunduk, meremas lengan yang hanya terbalut kulit dan tulang. "Bertahan sebentar lagi. Kau masih bisa hidup lebih lama," kata Bianca lirih, menunduk untuk mengusapkan jemari kurus Ama ke pipinya. "Sebentar lagi. Sebentar lagi kau akan ke rumah sakit." "Rasanya mustahil untuk bisa menghirup udara bebas lebih lama lagi." Suaranya berubah sakit. Bianca tidak menyadari kalau kedua matanya berkaca-kaca sekarang. "Tapi aku senang. Di detik terakhir kematianku, aku punya teman. Bianca, sayangku yang manis, aku menyayangimu." "Tolong berhenti katakan itu." Senyum Ama merekah miris. "Aku harus katakan itu. Kau gadis yang baik. Apa pun yang sempat terjadi padamu di masa lalu, percayalah kau hadir karena keajaiban. Untukku, untuk orang yang mencintaimu." Tangan Bianca gemetaran. Ia sebisa mungkin menahan diri untuk tidak menangis. Tetapi kondisi Ama lebih parah dari yang ia perkirakan. *** "Kau keluarganya?" "Ya. Aku keluarganya. Bagaimana kondisinya?" Kepala dokter umum itu menggeleng. Karena masih terlalu pagi bagi dokter spesialis membuka jam praktik di rumah sakit. Bianca hanya mencari jalur pintas agar menemukan solusi untuk Ama yang sekarat di luar sana. "Aku minta maaf. Tapi komplikasi rentan terhadap hal sekecil apa pun. Aku tidak bisa mempertahankan keluargamu untuk bernapas lebih lama." Bianca mundur dengan gemetar. Saat kedua matanya kembali basah, dokter itu membungkuk sebagai permohonan maaf. Bukan, ini bukan salahnya. Dokter itu tidak bersalah. Ia mencoba membantu, dan semesta berkata lain untuk Ama yang malang. "Biarkan perawat yang mengurus mayat pasiennya. Kau hanya perlu menunggu. Sekali lagi, aku turut berduka." Seakan mendung belum mau pergi dari langit kehidupannya. Bianca terduduk dalam ragu. Memandang lurus pada lantai rumah sakit yang dingin. Napasnya berhamburan, isaknya perlahan memudar karena rasa sakit. Ada tiga perawat yang berhamburan masuk. Memberi ruang bagi Bianca untuk berduka selagi ia menguatkan diri untuk melihat Ama dalam balutan kain sekali lagi. Airmatanya menyeruak kasar, tidak lagi terbendung. Ia membekap mulutnya rapat-rapat. Tidak membiarkan satu pun lolos untuk memancing perhatian orang lain. Saat Bianca melamun, menunggu dalam ketidakpastian yang menghimpit dadanya dalam sunyi, langkah seseorang membelah koridor yang sepi. Satu-satunya suara hanya dari alas sepatu mahal sosok itu. Bukan lagi isak tangisnya yang kini perlahan-lahan mereda. Ketika kepalanya terdongak, tampilan Dokter Abe muncul di depannya. Bianca terburu-buru mundur, mengusap wajahnya kasar dan duduk. Berpura-pura acuh. Ia berharap dokter satu itu tidak akan melihatnya di sini. "Selamat pagi, dokter." Seorang perawat muncul dari depan pintu, menyapa Abe dengan reaksi kecil berupa anggukan tipis. Bianca terbangun, bertanya apa jenazah bisa diantar pulang secepatnya. Kemudian menyadari kalau sang dokter terdiam, berpaling ke arahnya dengan tampang datar. "Biarkan aku yang mengurus biaya administrasinya kalau itu diperlukan," kata Bianca cemas. Ia hanya ingin Ama dikuburkan layak bersama orang yang menyayanginya. Meski hanya dirinya. Bianca akan menghubungi Aisha setelah membayar. "Silakan. Pergilah ke administrasi. Mereka akan membantumu." Bianca mengangguk dengan gemetar. "Terima kasih." Lalu melemparkan lirikan singkat pada sang dokter yang acuh, kembali memutar badan untuk pergi ke ruangannya sendiri. Yang ada di ujung koridor. Seakan menyendiri dan sengaja memberi sekat berlebih bagi privasi dan dunianya. "Atas nama siapa?" "Amata Dean." "Kami ikut berduka." Bianca memberi senyum samar yang tak sampai mata. "Terima kasih. Tolong totalkan dengan ambulansnya juga." "Tentu saja." Si petugas administrasi bergerak cepat. Menghubungi supir ambulans untuk menyiapkan diri setelah Bianca menerima bukti pembayaran secara resmi dari rumah sakit. Melangkah dengan getir. Kemudian mendapati dirinya tersudut, menunduk untuk meredam tangisnya sendiri. Kehilangan Ama seharusnya bukan sesuatu yang mengejutkan. Tetapi menyadari kalau ia terbiasa ditinggalkan, membuatnya terpukul. Bianca terduduk, mencoba mengambil napas panjang dan mengusir panas pada matanya untuk pergi sementara waktu. Ama berpesan padanya untuk tidak menangisi kepergiannya. Tetapi Bianca tidak bisa. Tidak bisa menahan diri. Kebaikan hatinya yang membuatnya tersadar akan banyak hal. Ama ditinggalkan, serupa dengan dirinya. Berjuang hidup untuk dirinya sendiri di tengah gerusan dunia yang kejam dan dunia kerja yang tajam. Bianca membayangkan Ama kesepian di masa muda. Sama seperti dirinya. Ama tidak punya teman, dan Bianca punya Aisha. Membayangkannya kembali membuat airmatanya tumpah. Bianca terisak, terdesak perasaan ingin mendekap Ama untuk terakhir kali dan berbisik kalau dia sudah bahagia. Tetapi rasanya sulit. Memeluk seseorang yang telah pergi hanya akan menambah luka baru. Yang tidak akan mudah terkikis oleh waktu. *** Karin menyesap teh mawarnya dalam diam. Semburat siluet oranye matahari mengintip malu dari lapisan awan pekat yang membentang memenuhi langit. Menyisakan genangan dan sisa air hujan yang membekas di permukaan aspal. Samar-samar instrumental yang berasal dari speaker di sudut ruangan menemani siangnya dalam diam. Orang-orang cenderung mencintai ketenangan, sama halnya dengan dirinya. Kemudian yang ia tunggu-tunggu telah datang. Karin pesimis kalau pria itu akan menemuinya setelah pesan singkat yang ia kirimkan pukul delapan pagi. Tanpa balasan, dan menyisakan kehampaan. Abe seperti bintang di langit. Tidak tergapai, sulit untuk diraih. Sudut bibirnya melengkung naik. Potret Abe remaja mungkin masih membekas dalam ingatannya. Karin tidak akan melupakan seberapa banyak mereka menghabiskan waktu sebagai teman akrab. Lalu waktu mengikis segalanya. Memudarkan harapan-harapan yang terbentuk di kala muda. Mata mereka bertemu. Dan Karin menyadari ia terlalu lama tenggelam. Sampai-sampai menyadari bahwa daratan tidak ada lagi. Satu-satunya yang ia miliki hanya rasa penasaran, sekaligus mendamba. "Kau tidak terlambat," ujarnya dengan nada bercanda. "Ingin pesan apa?" "Aku tidak sedang berselera terhadap apa pun." Karin membisu. Sangat tipikal Abe. "Bagaimana dengan minum? Aku lapar." Sorot tajam itu seakan membelahnya menjadi empat bagian besar. "Kau saja yang pesan, aku tidak." Bibir Karin terkatup. Saat pelayan bertanya menu makan siang yang akan mereka pesan, Abe berkamuflase menjadi patung. Barangkali Karin memesan acak pesanan untuk pria itu santap, Abe terlalu mengintimidasinya. "Aku tidak tahu apa yang membuatmu berubah." "Aku tidak berubah." Kepala itu menggeleng. "Kau berubah." "Bagus kalau kau sadar," kata Abe rendah. "Aku tidak perlu berpura-pura masih menjadi orang yang sama di depanmu." Jalinan tangannya di atas meja mengepal. Karin terpaku, merenung mengamati paras yang membuatnya terpukau sejak bertahun-tahun lalu. Seharusnya perjodohan ini membuatnya bahagia. Tetapi menyadari Abe semakin jauh dan tidak tergapai terus menggerus kepercayaan dirinya. Ia pesimis, rentan, dan merasa bersalah. "Kalau kau tidak menyukainya, mengapa kau hanya diam?" "Apa aku punya hak untuk bersuara?" Lidahnya kaku. Bahunya tegang. Abe memandangnya seakan ia objek yang pantas disalahkan. Semesta sedang bercanda padanya, Karin paham. "Kau memilikinya. Tetapi kau tidak berniat melakukannya," ucap Abe dingin. Sama sekali tidak terpengaruh akan sorot mata Karin yang terluka. "Kau pikir ini adalah kesempatan bagus." "Tidak sama sekali." Karin tersekat, tersendat dengan sesak yang menggantung di ujung tenggorokan. "Kau salah paham." Pelayan membungkam emosi di antara keduanya walau sesaat. Ketika menaruh nampan dengan kehatian-hatian. Memberikan Karin sepiring menu pesanan makan siang. Memberikan Abe secangkir teh panas atas permintaan Karin. Bahkan setelah pelayan itu pergi, tidak ada satu pun dari mereka yang berniat membuka mulut untuk bersuara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD