setitik noda - 2

1549 Words
Pemakaman Ama berlangsung khidmat. Tidak ada siapa pun yang menunggu setelahnya selain Bianca. Menundukkan kepala dengan pakaian serba hitam yang mencolok. Berduka bukan lagi menjadi mimpi buruk. Seakan suka memang tidak ditakdirkan untuk mendekat, membiarkan berkabung terus mendekap. Setidaknya Bianca beruntung ia tidak lagi menangis. Kalimat terakhir Ama terngiang dalam benaknya. Perempuan malang itu meminta Bianca untuk tidak menangisinya. Ini sudah takdir. Semesta memintanya untuk kembali ke tanah. Raganya harus beristirahat. Dunia tidak lagi membutuhkannya. "Kau baik-baik saja?" Sahabatnya bertanya dalam nada lirih. Aisha membiarkan Bianca libur untuk hari ini demi menghadiri pemakaman Ama untuk terakhir kalinya. Mengantar perempuan renta itu ke alam kubur untuk selamanya. Setidaknya, Ama tidak lagi menderita. "Surga adalah tempat bagi mereka yang baik hati. Ama tidak hanya baik, dia murah hati. Dia tahu dirinya tidak akan hidup lebih lama lagi. Tetapi sama sekali tidak mengeluh. Ini mengingatkanku pada ibu." Suara Aisha tiba-tiba bergetar. Bianca menarik napas, mendongak menatap mendung yang menggantung langit di atas kepala. Matahari terlalu segan untuk membiarkan semburatnya mengintip. Mata biru Aisha berkaca-kaca. Saat dia merunduk, mengamati nisan yang tertancap. Semilir angin berembus. Menerbangkan lembut anak rambut mereka yang terikat. Raut pucat, bersama sorot hampa menemani. "Apa yang Ama bicarakan padamu terakhir kali?" "Aku tidak pantas bersedih untuknya," kata Bianca lirih. Menyembunyikan getir dalam nada suaranya. "Aku layak mendapat kehidupan baru yang lebih baik." "Dia bicara kebenaran." Aisha berkata pelan, mengambil napas dengan senyum tipis. Meski kedua matanya masih berair, siap tumpah. "Ama benar. Kau pantas bahagia." Bianca tidak akan lupa kalimat terakhir yang terkenang dalam kepalanya sebelum ia pergi untuk mencari jati diri. Tidak, dia tidak akan menyalahkan apa pun lagi mulai saat itu. "Namamu Bianca. Kau terbentuk dari harapan dan kejaiban." Bibir bawahnya bergetar. Di sebelah gundukan makam Ama, ada makam lain yang jauh lebih lama dan nisan yang termakan waktu. Lima tahun, dan rasanya masih basah seperti kemarin. "Mereka berdua sudah tenang. Apa yang harus kita lakukan sekarang? Selain meneruskan hidup dan berpikir kesempatan tidak akan datang dua kali." Aisha benar. Baik Ama mau pun kekasihnya tidak menginginkan mimpi buruk itu terus berlanjut. Bumi terus berputar, tidak peduli manusia mulai tergantikan. Yang pergi akan tergantikan dengan yang baru. Kematian berganti kelahiran. Masa lalu akan menetap. Tidak seperti masa depan yang menanti dalam kepastian. "Lima tahun bukan waktu yang sebentar. Apa aku harus memberi diriku apresiasi karena sudah bertahan sejauh ini?" Saat mata mereka bertemu, Aisha memberi sahabatnya seulas senyum. Raut pucatnya bersama kedua mata yang membengkak membuat Bianca menyadari satu hal; sahabatnya pun berhak bahagia. Aisha memberikan desahan panjang sebagai penutup percakapan. "Mungkin. Kau harus memulainya dengan tidak mendengarkan lagu sedih." "Aku dan separuh lagu sendu adalah satu. Kami tidak terpisahkan." Kedua mata Aisha menyipit, memandang Bianca dengan gelengan singkat. "Aku tidak akan merusakmu dengan mengajakmu minum-minum. Jadi kita harus memutar lagu santai di kafe dan itu bisa membuat suasana hati berubah. Kau setuju? Aku hanya tidak ingin mendapat komplain karena mendengarkan Ending Scene terus-menerus." Bianca hanya tersenyum. Perasaannya mencair lebih baik. *** Ia tidak bisa mendengarkan satu kata pun yang terucap dari bibir kepala yayasan rumah sakit sekarang. Semua kalimatnya terdengar bagaikan omong kosong di telinga Abe. Karin hanya diam. Saat matanya melirik, wanita itu termenung. Melamun memandang guci antik kesayangan ibunya sebagai hadiah atas penobatan suaminya dua tahun lalu. Saat itu Karin masih terlihat ceria dan hidup. Sebelum sebuah kecelakaan tunggal. Merenggut nyawa ibu dan supir pribadinya dalam sekejap. Nyawa ibunya tidak selamat si tempat kejadian karena benturan keras dan kondisi mobil yang hancur karena menabrak pembatas jalan. "Bagaimana menurutmu, Abe?" "Papa, aku rasa—," "Sssh, nak. Biarkan ayahmu bicara pada calon suamimu," kata Tuan Kato. Kepala yayasan rumah sakit tempat Abe bekerja. "Abe seperti punya masalah. Apa sesuatu terjadi? Bagaimana kabar ayah dan kakakmu?" "Mereka baik," balas Abe singkat. Seakan sama sekali tidak menaruh minat pada obrolan basa-basi yang memuakkan. "Aku kurang tidur. Maafkan aku." "Tidak apa. Aku paham sebagai dokter muda, kau mudah terkena setres dan rentan di usiamu," balas Kato ramah. "Karin mungkin menyepelekan pernikahan kalian. Tetapi aku tidak ingin adanya penundaan dalam bentuk apa pun. Aku meminta pendapatmu sebagai calon mempelai pria, Abe." Ketika mata mereka bertemu, Karin tercenung. Sorot matanya berubah hampa. Abe menarik napas berat, menyugar rambut gelapnya. "Untuk saat ini, aku tidak punya ide apa pun. Prioritasku menyelamatkan pasien sekarang." "Pasien yang mana?" Karin menghela napas. "Jangan memaksanya. Abe tertekan dengan keluhan pasien, Papa. Bagaimana bisa kau mendesaknya seperti tadi?" Kato tercenung. Menghela napas berat dan mengangguk. "Kau benar. Aku hanya sudah tidak sabar. Begitu pula dengan Conan. Kami hanya ingin yang terbaik. Sebagai wali dari calon mempelai, aku ingin orang-orang mendengar kabar bahagia ini juga." Abe diam. Kebisuan telah membius sampai ke pembuluh darahnya. Selagi ia punya kesempatan untuk melarikan diri, dia akan melakukannya sejak tadi. "Oh, ya. Kemarin Karin berkunjung ke makam ibumu. Aku rasa dia belum bicara, kan? Dia bertemu Daffa di sana." Abe mendongak. Matanya bertemu dengan mata Karin yang berbinar tanpa arti. "Kau pergi ke makam ibuku?" "Aku pergi ke makam ibuku. Dan sekalian pergi berkunjung ke makam ibumu. Aku bertemu Daffa sebentar. Kami mengobrol dan dia pergi lebih dulu." "Pertemuan yang mengejutkan," balas Kato datar. "Conan bercerita padaku kalau putra pertamanya sama sekali tidak peduli soal ibu kandungnya sendiri." Karin mengangkat alis. Menegur sang ayah dengan matanya. Sedangkan Kato meringis, meneleng penuh sesal. Mencoba menelaah arti dari ekspresi Abe yang terlampau datar. "Abe, aku—," "Tidak apa. Jangan buat ini menjadi beban." Kemudian bangun dari sofa dengan bungkukan singkat. "Aku harus pergi. Jam istirahatku selesai lima menit yang lalu. Aku harus menjalankan tugasku tanpa terkecuali. Selamat siang." Saat pintu ruangan besar kepala yayasan tertutup, Abe mencari tempat untuk bersandar. Menyandarkan kepalanya pada permukaan tembok yang dingin, menghirup napas dalam-dalam. Perasaannya bergejolak. Sensasi tidak nyaman itu kembali muncul. Memaksa menyeruak keluar karena terlalu lama terpendam. Kedua tangannya terkepal, sampai buku-bukunya memutih. Sengatan sesal kembali memenuhi isi kepalanya. Abe terguncang dengan keadaannya yang baru. Merasa terpukul dari banyak sisi berlawanan. Ketika ia mencoba menguatkan diri, pikirannya kembali berkecamuk. Sedangkan pasien tidak lagi mau menunggu di luar sana. Dengan langkah terhuyung, ia berjalan. Membelah koridor yang sepi dalam diam. *** "Putriku tidak suka kopi. Bagaimana dengan menu lain?" "Oh, tentu saja. Kami juga menyediakan es krim dengan empat varian dan topping berbeda. Lalu ada orange squash. Kebanyakan anak-anak menyukai rasa asam yang segar. Dan kue-kue manis sebagai pelengkap camilan." "Bagaimana dengan segelas lemon tea dingin?" "Kau mau mencobanya?" Senyum sang ibu merekah. "Berikan satu untuk putriku. Tolong tidak terlalu banyak es batu. Ah, berikan dua potong tiramisu juga. Aku ingin segelas caramel machiato dingin." Bianca memberi totalan dengan senyum. Melayani pembeli dengan ramah saat pasangan ibu dan anak itu duduk sembari menunggu. Aisha membantu memindahkan tiramisu ke piring dan Bianca dengan cekatan membuat dua minuman. Gelas dan piring berisi kue telah berpindah. Suasana kafenya tidak terlalu ramai. Beberapa orang memilih untuk membungkus dan tidak menikmati hari dengan duduk menatap jalan. "Pukul berapa petugas sampah datang?" "Sepuluh menit lagi," kata Aisha dengan dengusan. "Ya Tuhan. Aku belum membuang sampah di depan." "Biar aku saja." Bianca bergegas untuk mencari sarung tangan baru di laci. Saat Aisha menyelesaikan pekerjaannya dengan menukar tempat-tempat kue yang kosong dan membuka kulkas untuk mengeluarkan kue baru. Seiring bertambahnya maju kafe mereka, variasi kue pun bertambah. Dulu mereka hanya mampu menjual tiga varian. Dan sekarang mereka bisa menjual lebih dari sepuluh varian. Dengan rata-rata enam sampai tujuh habis. Kemajuan yang luar biasa. Bianca memindahkan semua sampah ke satu tempat yang sama. Saat samar-samar ia mendengar suara mesin truk sampah yang mendekat, ia bergegas untuk menunggu dan membiarkan petugas membuang semua sampah di dalam kafe ke dalam badan truk. Namun sebelum kakinya bisa beranjak, sebuah Mercedes hitam mampir ke dalam parkiran kafe. Bianca terpaku, menunggu siapa si pemilik mobil mewah dengan tatapan penasaran. Dokter Abe muncul setelahnya. Bianca terburu-buru berpaling. Mendengar suara mesin yang semakin dekat, ia berjalan menuruni tangga di sebelah bangunan kafe, melambai ketika petugas ramah itu menyapanya. "Kau menggabungkan semua sampahnya?" Bianca tersenyum. "Tentu saja. Aku pastikan semua sampah telah bersih," serunya riang. Dan si petugas membuang semua kantung itu secara cekatan, mengembalikan tempat sampah besar pada Bianca dan melambai sebagai tanda terima kasih. Saat Bianca berbalik, ia melihat Dokter Abe baru saja keluar dari dalam kafe dengan segelas kopi panas di tangan. Kedua kakinya seolah menancap di aspal. Bianca tidak bisa mengalihkan perhatiannya secara utuh kala otaknya meresapi setiap detail yang ada pada diri sang dokter dalam diam. Dokter muda itu tidak melihatnya. Bianca segera menaruh wadah tempat sampahnya ke tempat semula. Menatap mobil mewah itu dalam diam setelah melepas sarung tangan dan membuangnya ke tempat sampah. Seketika pikirannya berkecamuk. Sedangkan logikanya meneriakkan peringatan untuk mundur. Bianca terpaku, mengamati sang dokter yang tengah berbicara dengan seseorang melalui telepon, sebelum akhirnya membuka kunci mobil. "Dokter." Kepala sang dokter menoleh ke arahnya. Bianca dilanda perasaan cemas luar biasa. Ketika mata mereka bertemu, ia pikir baru saja kembali ke masa lalu. "Apa?" Lidahnya terasa kaku. Dalam waktu kurang dari sepuluh detik, tatapan tajam sang dokter berhasil menembus d**a dan membuat tulangnya gemetar. Bianca terlanjur kepalang basah, ia akan menceburkan diri. "Apa Anda dokter yang sama lima tahun lalu? Saat menangani laki-laki muda yang menjadi korban tabrak lari?" Bianca membisu. Sama halnya dengan Abe yang membeku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD